Belajar Bahasa Palembang (versi Sederhana)

Ini mungkin posting paling nekat sejagad ariesadhar.wordpress.com. Lha iya, wong saya itu cuma 2 tahun sekian hari di Palembang kok nekat ngajari bahasa Palembang?

Edan!

Nggak sih. Saya bersyukur diberi karunia agak mudah mempelajari bahasa ketika terjun langsung didalamnya. Setidaknya dalam 1-2 bulan pertama di Palembang, saya sudah bisa menawar harga sepatu di toko olahraga sepanjang sudirman, yang notabene isinya orang keturunan Hindustan semua.. hehehe..

Bahasa Palembang bagi saya adalah pertemuan antara Minang dan Jawa. Kenapa? Mungkin kaitan Sriwijaya juga kali ya. Yang pasti kecenderungan meng-o-kan suasana masih ada. Tapi ingat, itu kecenderungan saja lho. Dan beberapa vocab sangat Jawa sekali.

Beberapa huruf konsonan dari Bahasa Indonesia bisa hilang. Misal ari (hari) atau asil (hasil). Sebenarnya ini terkait ke pengucapan saja sih bahwa H dan A berurutan itu agak tidak terdengar. hehe..

Pertemuan Minang-Jawa ada di awak, karena kata ini bisa bermakna anda, bisa juga badan.

Untuk menyapa, ingatlah bahwa KAKAK itu mengacu kepada laki-laki yang lebih tua. Kalau di Jawa itu Mas. Sementara saudara perempuan lebih tua adalah AYUK. Jadi bukan Mas-Mbak tapi Kakak-Ayuk. Jadi jangan emosi dulu buat yang cowok, kalau di jalan dipanggil “Kak”. Kalau paman dan bibi, jadinya Mangcek dan Bicek. Gampang to? Mamang kecik dan Bibi kecik. Hehehehe..
Ada vocab yang bagus di Palembang buat saya yakni Baseng. Ini artinya semacam terserah. Bisa dipakai menangkal gosip. “Kamu mau kawin ya?” “Apo dio o? Baseng be..”. Ya kira-kira demikian. Atau begini, “nak milih yang mano?” “Basenglah..”
Kata lain yang oke adalah Beguyur. Ini bukan berarti diguyur air ya. hehe.. Beguyur bermakna mulai tapi pelan-pelan. Lalu kalau berusaha, namanya berejo.
Lalu kalau ada yang bilang kita BELAGAK, maka senanglah. Jangan malah emosi. BELAGAK ini bukan bermakna banyak lagak, tapi bermakna TAMPAN atau CAKEP. Mantap kan?

Tahu Benteng Kuto Besak? Nah, Besak tentunya bermakna Besar. Pola ini rutin dipakai di Palembang. Besak nean… Kalau kecil? Tentu saja KECIK. hehe..

Kemudian soal jenis kelamin. Janganlah marah kalau dipanggil Betino (buat yang cewek), karena memang panggilannya lanang dan betino untuk laki dan perempuan. Lalu kalau dibilang Budak, ya biasa saja, orang itu artinya adalah anak. Tahu kan kak Ros di Upin-Ipin, “budak ni….”

Waspada pada pengggunaan kata Lolo. Ini sepenuhnya bermakna tolol. Makanya heran dulu ada pemain SFC namanya Lenglolo. Gimana itu ya? Hehehe.. Lebih parah lagi ada yang namanya Buyan. Kalau pernah nonton Liga Champion Asia, seorang kiper SFC lama pernah diteriaki hal ini sama penonton saking seringnya blunder.

Dan pertanyaan standar biasa dimulai dengan Cakmano alias Bagaimana. Standar dong? Cakmano ni? Bagaimana ini?

Mau agak Jawa? Adalah beberapa kata misal Buri atau Dewean. Itu beneran bermakna belakang dan sendirian. Lalu kalau agak mirip ada namanya Galak. Ini kata Palembang pertama yang saya tahu. Galak itu artinya Gelem = Mau. Hehehe.. Masih ada juga Metu alias keluar.

Lalu, yang paling ternama tentu WONG KITO GALO. Artinya? Orang Kita Semua. Galo ini banyak dipakai di pasar. “Beli brapo?” “Galonyo.” “Kapan nak beli?” “Kagek..” Hehehe.. yang ini artinya nanti.

Kalau mau berantem, ada istilah goco alias tonjok. “Goco kagek…” Selevel lebih tinggi adalah tujah alias tusuk pakai pisau. Ya inilah profil Palembang di halaman belakang koran daerah. Pasti ada itu tiap hari. Ngeri euy…

Ada lokasi bernama Kambang Iwak alias kolam ikan. Ngerti kan? Memang sih karena kolamnya butek, jadi tidak kejingokan ikannya. Tapi kalau dimakan LEMAK nian. Nah, lemak itu bermakna sedap, wuenaakkk.. Memang lemak itu bikin sedap ya? hehehe.. Nak Melok idak? Mau ikut tidak. Itulah artinya.
Nah, ini agak riskan. Mau ngenjuk? Upps.. itu artinya memberi. Mau nyingok? itu artinya melihat. Ado pacak? Itu artinya apa bisa?
Kalau orang Palembang nyebut Pucuk akan jadi seolah-olah POCOK. Itu artinya di atas. Pas ngajak, ayo itu jadi Payo. Cak inilah, seperti inilah orang Palembang. Kalau lagi ramai disebut rami. Apalagi kalau lebaran, musimlah SANJO alias bertamu.
Sengsara dipotong menjadi SARO. Lalu tidur itu jadi tiduk. Kalau tabrak jadi tumbur.
Dan jangan kaget kalau di pasar ditanya, “nak beli berapo ikok?” bilang saja sikok, itu artinya satu.
Masih banyak informasi lain soal belajar bahasa Palembang, tapi semoga ini dapat membantu 🙂

Nama Itu, Senyum Itu, Kamu Itu

Kadang aku ingin bertanya pada Tuhan, mengapa Ia membiarkan udara mengantarkan gelombang yang isinya sebuah kata berisi namamu. Kadang aku berharap waktu itu aku sedang mendengarkan seseorang lain yang berbicara yang lain pula, bukan berbicara sebuah kata yang isinya adalah namamu.

Ya, sejak gendang telingaku menangkap dua patah kata yang adalah namamu, semuanya tak lagi sama. Namamu berlari menyusuri sistem sarafku, memenuhi cairan-cairan perantara neuron yang ada di otakku, bahkan ikut main-main dengan tekanan darahku. Entah mengapa semuanya soal kamu.

Mungkin sebenarnya aku harus jujur bahwa yang kusesali bukanlah saat aku mendengar namamu. Baiklah, aku memang harus jujur.

Satu hal yang kusesali adalah karena mendengar namamu aku telah memberikan cintaku kepadamu, yang tampaknya takkan pernah mencintaiku. Sebenarnya hanya itu. Sayangnya, cinta itu bertumpuk, terpendam, bahkan terbenam di dalam hatiku. Cinta itu telah mengendap bersama toksin-toksin kronis di dalam tubuhku.

Apakah mungkin karena kita cukup dekat?
Apakah mungkin karena aku seolah-olah mendekati kamu sebatas ingin berteman?
Apakah mungkin karena kamu memang tidak punya rasa padaku?
Sungguh aku tak tahu.

Kamu telah menjadi hemoglobin dalam darahku. Sungguh tanpa kamu, otakku seakan tidak pernah menerima oksigen. Dia hampa. Bahkan kalau bukan karena kamu, maka kata-kata ini tidak mengalir.

Hanya dari namamu yang tampak biasa tapi entah kenapa membuatku menggila. Lantas aku bertemu kamu yang juga entah kenapa malah membuat aku seperti perlu minum obat penenang. Dan terutama, ketika kamu tersenyum.

Sungguh dunia menjadi terang benderang. Aku hanya berharap sehabis melihat senyummu, aku tidak perlu memakai kaca mata, karena senyummu sungguh menyilaukan.

Satu hal yang kusesali, ya hanya satu saja. Sayang, yang satu itu berakar banyak.

Aku tidak tahu apakah selama ini kamu menyadari cintaku? Aku yakin kamu pasti menyadari tentang aku karena kita sering berinteraksi. Dan aku yakin kamu bukanlah orang aneh yang berinteraksi sendiri, karena itu memang tidak mungkin dilakukan.

Apakah kamu tidak sadar bahwa selama ini aku merindumu? Meskipun aku menulis kata-kata lewat pesan singkat yang seolah-olah bercanda, tapi sejatinya itu nyata.

Mungkin aku memang terlalu banyak bercanda.
Tapi sebenarnya itu lebih karena aku mencintaimu.
Dan yang terjadi kemudian adalah aku tidak punya daya untuk mengungkapkan cinta kepadamu.

Apakah kamu tidak peka sedikitpun tentang panggilan hatiku? Mungkin kini dia sedang sirosis, membatu, karena siapa? Karena kamu.

Kamu adalah senyuman paling indah.
Kamu adalah tawa paling menghangatkan.
Kamu adalah kerlingan yang paling menawan.
Kamu adalah binar paling cemerlang.

Sungguh itu kamu, dan memang hanya kamu.

Kala berulang usaha membuatku berhenti pada ketidakpedulianmu akan aku, maka aku akan selalu berlari.

Sayangnya, aku jatuh terlampau dalam di hatimu.
Aku tidak bisa memanjat lagi.
Bibir jurang hatimu sudah terlalu jauh karena aku terperosok sedemikian dalam di hatimu.

Aku menangis kala mendengarmu bersama seseorang yang kamu cintai.
Aku tertawa kala kemudian orang itu justru menyakitimu.

Aku tertawa, karena akhirnya aku punya ruang kembali untuk masuk ke sisi hatimu.  Tapi tetap saja, aku rasa kamu tidak tahu.

Pernahkah kamu menyepi sejenak?
Pernahkah kamu mendengarkan jeritanku dalam dasar jurang hatimu?
Pernahkah kamu sejenak melihat ke bawah, ketika aku menatap penuh harap bahwa kamu akan membantuku keluar dari jurang ini dan menaruhku di sisi hatimu?

Ketika kamu selalu menyebut hendak mencari sosok lain, aku selalu berharap bahwa kamu akan berpaling padaku.

Sayangnya tidak.

Hah..
Kamu ini memang bikin gila. Kamu sudah seperti Diazepam yang masuk secara intravena ke dalam pembuluhku. Aku tak berdaya karena kamu.

Lantas apa?
Aku harus berusaha untuk sadar sendiri, berupaya bangkit sendiri, dan berjuang untuk tegak kembali.

Aku tahu kamu sebenarnya tidak salah karena akulah yang memberikan cintaku kepadamu. Dan salahku juga tidak pernah meminta cintamu.

Sungguh, aku hanya tidak berani.

Kini aku baru mengerti sungguh bagaimana rasanya mencinta. Sayangnya rasa itu harus kudapatkan dengan mencintaimu, yang tidak akan pernah mencintaiku.

Yah, kini aku sudah tahu rasanya.
Terima kasih telah memberikanku pengalaman yang tidak akan terlupa soal rasa mencinta.
Ini sungguh berharga bagiku.

Dan pasti akan jauh lebih bermakna, kalau kamu pada akhirnya ada di sampingku.

* * *

Malam menjelang dan suasana laboratorium, seperti biasa, sepi. Seorang dalam balutan jas laboratorium tampak berbicara sendiri dengan memegang gelas ukur dan pipet.

Dan orang itu masih melontarkan kata-kata, kadang manis, tapi lebih banyak galaunya. Mungkin percobaannya sedang gagal, mungkin peak HPLC yang diharapkannya tidak muncul, mungkin ia harus mengulang preparasi, Tidak ada yang tahu.

Tidak ada yang tahu? Mungkin juga tidak.

Karena ada sosok lain di ujung ruangan yang mendengarkan dengan saksama racauan orang itu. Sangat saksama malah.

Satu hal saja yang perlu dipertanyakan, apakah sosok lain itu sadar bahwa orang itu meracau panjang tentangnya?

Tidak ada yang tahu. Sungguh.

* * *

Tulisan saya yang dimuat dalam buku Tahu Bagaimana Rasanya
Sebuah buku antologi yang diinspirasi dari lagu berjudul sama ciptaan Mbak Lala Purwono 🙂

 

Sebuah Langkah (Besar)

Yah, sudah tanggal 12. Malah pas jam 12:34 AM pas saya mengetik ini. Angka yang cantik. Hehehe.. Lewat sudah 11 Januari 2012. Maka, saya harus memulai kehidupan baru di usia 25 tahun dengan 11 cita-cita yang harus dipenuhi. Heh? 11? Banyak amat? Yah, tambah umur tambah ganas dong. Soalnya, sekadar sharing, pas usia 24 tahun kemarin, ada 4 cita-cita dan yang tercapai hanya 1. Semacam tidak konsisten. Yang dua statusnya hampir, dan yang satu gagal total.

Ibarat prinsip Balanced Scorecard, saya ingin membuat cita-cita dalam perspektif yang sama. Semoga bisa.

Terima kasih kepada seluruh teman-teman atas perhatian yang diberikan, via FB, via SMS, via Twitter, via Whatsapp, sampai salaman langsung. Itu berarti banyak buat saya. Dan asal tahu saja, kemarin saya menyelesaikan 5 request document. Hahahaha.. Kerja saya kemarin sudah cukup keras ternyata. Entah kenapa, pas pulang rasanya puas sekali bisa menyelesaikan dokumen-dokumen ini.

Baiklah..

11 cita-cita itu cukup menantang. Tapi untuk maju memang butuh tantangan. Saya perlu benar itu guna mencegah pemborosan waktu. Ingat, time is money. Memboroskan waktu, berarti juga memboroskan UANG. Haduh. Tapi lebih penting lagi, memboroskan kesempatan yang ada untuk memenuhi cita-cita.

Okelah.

Sudah pagi. Nanti mau kerja, seperti biasanya.

Semoga di usia yang baru, saya bisa lebih mantap dengan sebuah langkah yang tentunya BESAR!

Amin

😀

Dua Puluh Lima

Entahlah.. Saya itu orangnya terlalu ngeh sama angka-angka. Mungkin itu pula ya yang bikin saya kerjanya di area kotak dan angka. Sampai muka bentuknya sudah kotak dan angka. Hehe.. Tapi serius, dulu waktu mau usia 17 tahun, rasanya ngeri. Demikian pula pas mau usia 20 tahun, ngeri juga. Yang 17 nggak kebayang bagaimana rasanya jadi “dewasa”. Sedangkan 20 tahun relevan dengan kepalanya yang sudah 2, dan waktu itu saya belum pernah pacaran. Hahahaha..

Dan hari ini, 11 Januari 2012, saya sudah 25 tahun.

Astaga!

Saya sudah seperempat abad ada di dunia yang fana ini.

Apa yang sudah saya dapat, apa yang sudah saya punya, apa yang belum saya capai?

Ketiga pertanyaan itu jawabannya sama: BANYAK!

Terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan saya tubuh yang sehat. Sebagai Apoteker yang teregistrasi dan berkompeten (ditandai dengan STRA dan sertifikat kompetensi, asline yo mboh..) saya cukup paham bahwa tubuh yang sehat adalah sumber dari segala upaya di dunia. Untuk itu, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan.

Terima kasih juga pada orang tua saya yang sudah melahirkan (ini tentunya mamak saja) dan membesarkan saya sampai sejauh ini. Meskipun lama-lama persentase waktu saya hidup seorang diri dan di bawah naungan orang tua semakin berkurang, tapi itu kan bagian dari hidup. Saya merantau umur 14, artinya sudah sekitar 11 tahun saya merantau. Tiga tahun lagi, sudah imbang itu. Hehehe…

Terima kasih pula kepada adik-adik saya yang heboh minta ampun. Kalau tidak ribut maka itu pasti bukan kita. Meskipun saya tahu kalau mereka kurang sopan sama saya, tapi setidaknya hanya mereka yang dengan teguh dan konsisten memanggil saya dengan BANG ALEX. Hahahahaha.. Yo kudu kuwi..

Terima kasih kepada teman-teman, dimanapun, yang telah ikut membantu membentuk diri saya seperti sekarang ini. Mulai dari diri saya yang lumayan paham spreadsheet hingga saya yang lama-lama semakin fasih misuh ala Jawa Timur-an. Halah. Tapi serius, lingkungan tentunya memberi banyak pengaruh pada diri kita, dan di lingkungan itu ada kalian wahai teman-teman!

Yah, seperempat abad ada di dunia.  Banyak sekali riak-riaknya. Syukurlah saya dilahirkan sebagai melankolis sehingga setiap detail dari riak-riak itu terekam baik di otak saya. Mulai dari luka parah waktu lompat jauh pas SMP, ikut cerdas cermat filateli, juara lomba PBB di Ngarai Sianok, juara lomba gerak jalan se-Bukittinggi, nyasar di Kusumanegara waktu kelas 1 SMA, ikut workshop di Kanisius, juara lomba menulis, retret, membuat mading, nongkrong di perpus, Titrasi, angkringan tugu setiap malam minggu galau, berdoa minta jodoh di ganjuran dan sriningsih, wisuda, praktek kerja di ibukota, tugas di Nias, sumpahan apoteker, kerja di pabrik ternama, menggalau di simpang patal dengan bandreknya, jadi kiper di liga kantor, bolak-balik naik pesawat, bolak-balik nginap di hotel, pindah kerja, dan banyak lagi hal yang sudah saya peroleh di dunia ini.

Thanks a lot!

Sekarang saatnya bertindak. Yah, usia saya sudah berkurang 1 dari yang diberikan oleh Tuhan pada awalnya. Kalau memang Dia memberi 60, maka usia saya tinggal 35 tahun. Kalau diberi 70 maka usia saya tinggal 45 tahun. Yah, seperti itulah.

Artinya, jangan lama-lama berkutat untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan kata hati. Kata hati adalah mimpi. Maka, mulai hari ini, saya harus FOKUS pada semua mimpi-mimpi saya. Dan asal tahu saja, mimpi saya itu banyak (tidak termasuk mimpi basah ya..)

HAPPY BIRTHDAY TO ME.

I’m 25 Years Old Now.

🙂

Nenek Ini Nikahi Cinta Pertamanya Setelah Pisah 42 Tahun

Kakek dan nenek ini bisa bersatu lagi setelah 42 tahun lamanya terpisah. Kakek dan nenek yang pernah pacaran saat masih remaja itu bisa bertemu lagi berkat Facebook.

Maureen Wallace bertemu lagi dengan pacar remajanya, Hugh Forsythe setelah ia bercerai dari suaminya, Dugald Stewart. Maureen dan Hugh pernah menjalin asmara selama empat bulan pada tahun 1970. Saat itu mereka tinggal di kawasan Troon, Skotlandia.

Saat itu, Maureen yang memutuskan hubungan tersebut. Namun Hugh rupanya tidak pernah melupakan wanita yang jadi cinta pertamanya itu. Setelah lama berpisah dari istrinya, Hugh mulai mencari Maureen.

“Aku tidak pernah melupakan Maureen selama bertahun-tahun. Dia adalah cinta pertamaku dan tidak akan membiarkannya pergi lagi,” ujar Hugh (60 tahun) seperti dikutip dari Daily Mail.

Hugh kemudian mencoba mencari Maureen di Facebook, setelah puluhan tahun berlalu. Dia mengirimkan banyak pesan ke orang-orang bernama Maureen Stewarts yang ditemukannya di situs jejaring sosial itu.

Hingga akhirnya, Hugh mendapatkan balasan dari wanita impiannya. Apa balasan Maureen? “Apakah kamu Hugh Forsythe yang punya saudara laki-laki dari Barassie dan pernah kencan dengan gadis asal Barassie?” begitu isi pesannya.

Dengan senyum sumringah, Hugh pun membalas pesan tersebut. Sejak saat itulah mereka kembali berkomunikasi dan pergi ke tempat-tempat saat mereka berkencan dulu di 1970.

Pasangan yang terpisah selama 42 tahun itu, kemudian resmi menikah sebelum Natal. “Kami sangat beruntung diberikan kesempatan kedua. Tidak banyak orang mendapatkan itu,” ujar Maureen yang kini berusia 62 tahun.

Setelah menikah, keduanya memutuskan tinggal di daerah yang dulu membuat cinta mereka bersemi yaitu di Troon, Skotlandia. Mereka juga kini mengasuh cucu Hugh yang berusia 11 tahun, Dylan.

Dikutip asli dan langsung dari wolipop

F62

Awal tahun yang luar biasa ketika saya bisa berkumpul bersama keluarga di rumah.

Luar biasa?

Tentu saja! Terakhir ini terjadi adalah di awal tahun 2007 alias 5 tahun silam.

Yah, mengumpulkan 2 orang tua dan 4 anaknya di rumah milik keluarga ternyata bukan perkara yang mudah. Sempat nyaris terjadi, tahun 2008, tapi saya terpaksa tidak ikut karena ada pekerjaan di Nias waktu itu.

Memang, kami setahun sekali masih bertemu, di Jogja. Tahun 2008 masih bertemu ketika wisuda saya. 2009, masih bisa kumpul menjelang sumpahan saya. 2010? Ada momen ketika si bungsu masuk seminari, dan saya, dengan perjuangan keras bisa beroleh cuti guna menyusul ke Jogja. Di 2011 pun sebenarnya terjadi waktu Pak Guru wisuda. Jadi sebenarnya tidak ada masalah soal pertemuan.

Tapi, bertemu dan berkumpul di rumah, tempat kami benar-benar menjadi diri kami sendiri?

Susahnya minta ampun.

Maka, keajaiban sejak 24 Desember sampai 1 Januari kemarin tidak boleh saya lewatkan.

Yah, F62 adalah nomor rumah kami. Tempat yang dibangun dengan susah payah. Pun, saya ikut bersusah payah. Jadi ingat dulu ikut serta mengaduk semen, membelah bambu untuk bikin pagar, mengulur kabel ke tetangga waktu belum dapat listrik, memukul nyamuk dari pohon bambu belakang rumah, tidur di dipan beralas kardus kulkas, sampai mengecat rumah.

F62 adalah rumah, tempat impian dimulai. Dan saya berharap bahwa 6 orang yang nggak pernah kehabisan keributan itu bisa berkumpul lagi tanpa perlu menunggu hitungan 5 tahun lagi.

Amin.

Reach Your Dream…

Barusan membaca blog teman lama saya berinisial 122. Jiahh.. ya disebut demikian karena selama 7 semester kami bersama. Hal itu tentu saja karena NIM 122 dan 123 selalu dalam urutan nomor yang jelas dan lugas.

Kemarin tanggal 1 juga sempat ketemu di Jogja, dan baru tahu kalau dia sudah menyatakan resign dari kantornya, tepat 2 tahun.

Dari status2nya dan kekasihnya, saya cukup tahu bahwa mereka berkeinginan untuk segera wirausaha. Lagipula si 122 ini berasal dari keluarga yang berwirausaha, cocok sekali.

Dan sungguh sebuah keberanian besar bagi seseorang untuk melepaskan status pegawai sebuah perusahaan yang cukup ternama, yang notabene melepaskan pula segenap gaji, tunjangan, asuransi, dan fasilitas lain yang melindungi.

Saya hanya perlu memberikan jempol untuknya!

Sekilas membahas ini. Dalam salah satu perjalanan hidup saya berurusan dengan bank, saya merasakan betul bahwa seorang karyawan memiliki banyak kemudahan dalam berproses. Wawancara kredit misalnya, waktu untuk wawancara 1 wirausahawan bisa setara 5 karyawan. Kenapa? Bank hanya perlu memastikan bahwa karyawan ini gajinya sesuai dan statusnya tetap untuk memastikan keberlanjutan kredit, sementara wirausahawan? Senguping saya, sampai ditanya prospek segala.

Tapi bagaimanapun, setiap orang punya mimpi masing-masing. Namun tidak semua orang berani meninggalkan kenyamanan yang dia sudah punya, untuk menggapai mimpi-mimpi itu.

Saya pun demikian.

Kenapa? Karena setidaknya yang saya lakukan sekarang masih bersinggungan dengan mimpi-mimpi saya. Itu pasti. Dan yang terutama adalah karena saya berjuang banyak untuk bisa sampai pada posisi seperti yang saya punya sekarang.

Artinya? Saya tidak akan merealisasikan mimpi saya?

Tentu tidak! Ada suatu waktu ketika mimpi itu akan jadi nyata. Tidak sekarang, memang. Karena mimpi itu perlu dirintis perlahan, meski itu dengan noda-noda kegagalan, penolakan, ketidakpedulian, dan banyak lagi. Sampai detik ini pun saya masih belajar mengolah kegagalan dan penolakan sebagai bagian dari upaya saya menggapai mimpi itu.

Salut untukmu bro! Kalau sudah sukses, kabar-kabari ya.. hehehe…

Sebungkus Senja Untukmu

Matahari bergegas menuju barat. Sudah jatahnya untuk tidak saja menerangi belahan bumi tempat aku berpijak. Ia harus beralih ke bagian bumi lain untuk tugas yang sama. Yah, itu memang tugasnya. Tidaklah perlu aku mengurusi soal itu.

Seharusnya memang demikian.

sumber: bailaconmigo-jola.blogspot.com

Tapi kali ini aku ada perlu dengan matahari. Dan parahnya, aku terlambat. Sudah menjadi tabiatku untuk menunda pekerjaan sebisa mungkin itu ditunda. Dan benarlah. Ketika aku sampai di tempat aku punya urusan dengan matahari, ia sudah bergegas pergi.

“Hai, tunggulah sebentar!” Aku mengejarnya dengan nafas yang semakin tidak teratur.

“Bukankah kita berjanji untuk bertemu 1 jam yang lalu? Aku masih banyak urusan sobat!” katanya sambil terus berjalan.

Aku terus berlari mengejar langkahnya yang besar. Sebenarnya, sudah nyaris tidak terkejar. Betapa tidak, sebuah langkahnya harus kukejar dengan ratusan langkah berlari. Tapi, sungguh, aku membutuhkannya sekarang.

“Tapi tolonglah! Aku betul-betul membutuhkanmu sekarang!” Aku berteriak semakin kencang. Nafas terengah itu aku konversi menjadi suara yang mendesah keras, berharap matahari bisa berubah pikiran untuk bertahan sejenak.

Langkahnya melambat, tapi tentu saja itu masih butuh dikejar. Aku melihatnya melambat perlahan, dan dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku berlari lebih kencang.

“Satu kali ini saja, Tuan!”

Dan ajaib! Ia kali ini benar-benar berhenti. Pada posisi yang sungguh tepat, sungguh baik, dan sungguh membentuk SENJA.

“Apa yang kamu perlu dariku, sobat?”

“Aku hanya hendak membungkus senjamu, Tuan. Apakah aku bisa melakukannya?”

“Hahahahaha…,” tawanya besar, tampak ia sungguh tergelak bukan main atas permintaanku, “Kau pikir aku bisa mengabulkan permintaanmu sobat?”

“Kau yang membuat senja, pastinya kau juga bisa membungkus sedikit untukku. Tolonglah Tuan!”

Matahari tampak berpikir. Mungkin ia baru kali ini mendapat permintaan yang aku ajukan.

“Mendekatlah, sobat!”

Aku berlari mendekat, tapi panas. Maka aku melambatkan laju lariku.

“Mendekatlah!” katanya lagi.

Panggilan kedua darinya membuatku mendekat lagi. Bukan hal yang mudah. Sungguh panas! Kulitku mulai terbakar dan sebagian menghitam. Aku tidak lagi tampan. Itulah keadaannya.

Tapi aku telah mengejar matahari ini sedari tadi, maka sungguh tanggung kalau aku melewatkan panggilannya.

“Ulurkan tanganmu, sobat!”

Panas semakin menderaku dan mataku bahkan tidak bisa lagi melihat keadaan sekitar karena hanya ada cahaya terang beredar di jangkauan mataku.

“Apa ini Tuan?”

Matahari mengulurkan tangannya dan sejurus kemudian sebuah bungkusan berada di tanganku.

“Terimalah, sobat. Baiklah kini aku pergi. Banyak yang menungguku di belahan lain. Selamat bersenang-senang.”

Panas itu perlahan hilang, pun dengan cahaya terang. Di tanganku ada sebuah bungkusan. Hanya sebuah bungkusan kecil yang tidak sempat kutanyakan isinya. Kuanggap saja itu pemberian dari matahari, dan seharusnya ia memberikannya sesuai permohonanku tadi.

Dengan badan melepuh, kulit terbakar, dan mata yang belum kembali pada daya akomodasinya aku berlari kembali. Aku menuju tempatmu. Aku tahu kamu pasti berada di atap rumahmu. Entah bagaimana caranya, kamu menyukai tempat itu.

Wajahmu sendu, aku yakin kamu pasti kehilangan sesuatu.

“Hei, mengapa kamu bersedih?” teriakku dari bawah.

“Aku kehilangan senjaku!”

Dan air matamu perlahan berlinang. Entahlah, apa pula hebatnya sang senja sampai kamu berlinang air mata karena kehilangannya.

Aku hanya berharap, senja yang hilang itulah yang ada di bungkusan dari matahari. Tentu saja hilang, karena senja itu pasti ada di tanganku sekarang!

“Aku punya kado buatmu! Janganlah bersedih lagi!” Aku masih berteriak dari bawah.

“Kecuali kamu menghadirkan senja kembali untukku, saat itulah aku tidak bersedih. Senja adalah hidupku!”

“Baiklah! Tapi kamu mau menerima hadiah ini kan?”

Dan kamu terdiam menghapus air mata, masih menerawang ke tempat seharusnya senja itu ada. Tanpa jawaban bukanlah hal yang baik. Maka dengan sisa tenagaku, kupanjat dinding rumahmu. Dengan hati-hati kubawakan bungkusan dari matahari sambil memanjat dinding merah jambu itu.

Kini, hanya ada aku dan kamu, di tempat semacam ini.

“Janganlah bersedih.”

“Senja adalah hidupku, tidak ada alasan untuk tidak bersedih,” katamu sendu.

“Mungkin ini bisa menghapus kesedihanmu,” kataku sambil menyerahkan bungkusan kepadamu.

Paras cantikmu masih sendu kala memegang bungkusan itu.

“Bukalah…”

Tangan mungilmu membuka bungkusan, yang aku pun tidak tahu isinya. Perlahan, tampak kilau sinar dari dalam sana.

Dan yang tampak lebih perlahan adalah sesungging senyum dari bibirmu.

“Inikah penghapus sedihmu?” tanyaku.

Kamu tidak menjawab, hanya tersenyum manis kepadaku. Wajahmu mulai tampak bersinar kembali.

“Ini untukku?” tanyamu ketika akhirnya membuka suara.

“Iya! Tentu saja!” jawabku bersemangat.

“Terima kasih. Terima kasih telah memberikan senja ini untukku.”

My Holiday

Saya baru kembali dari sebuah perjalanan yang luar biasa panjang dan tentunya melelahkan.

Dimulai dari Jam 4.50 pagi dan diakhiri pada jam 09.15 pagi.

Secara garis besar adalah sbb:

1. Cikarang – Cengkareng (Damri)
2. Cengkareng – Padang (Lion Air)
3. Padang – Bukittinggi (Maestro)
4. Bukittinggi – Padangsidimpuan (Si Kijang)
5. Padangsidimpuan – Bonandolok (Si Kijang)
6. Bonandolok – Tarutung (Si Kijang)
7. Tarutung – Sibolga (Si Kijang)
8. Sibolga – Padangsidimpuan (Si Kijang)
9. Padangsidimpuan – Bukittinggi (Si Kijang)
10. Bukittinggi – Padang (Si Kijang)
11. Padang – Cengkareng (Garuda)
12. Cengkareng – Jogja (Garuda)
13. Jogja – Jakarta (Bima)
14. Jakarta – Cikarang (AO)

Dan syukur kepada Tuhan, bahwa perjalanan yang panjang minta ampun itu, bisa selesai dengan baik dan benar. Bahwa ada kejadian ban kempes dll, itu sebagian dari nada-nada perjalanan. Hehehe..

Yang penting tujuan tercapai, dan saya kembali dengan selamat.

Bekerja mencari uang lagi, untuk dipakai liburan lagi, entah kapan lagi.. 😀

 

2011: Sebuah Evaluasi

Gambar di atas saya capture dari laporan yang masih ke email saya tentang aktivitas blog ini. Yah, disebutkan serupa dengan 7 kali konser di Sydney Opera dengan kapasitas full. Hahahaha.. Itu kan bisa-bisanya wordpress saja. Katanya juga ada 131 posting. Yah baiklah.

Masih saya ingat ketika tawaran promosi mengalihkan dunia saya kembali ke tulis menulis. Entah ada hubungannya atau tidak. Tapi itulah keadaanya. Maka saya mulai menulis dan menulis. Di blog inilah semuanya dimulai kembali. Tidak lama sesudah kehadirannya, sebuah tulisan meluncur ke Majalah HIDUP dengan judul Generik dan Katolik, seakan pembuka jalan. Memang kegagalan demi kegagalan masih dan pasti akan terus ada. Buat saya sih tidak masalah, sepanjang kehidupan diberi pelajaran oleh kegagalan itu.

Tahun 2011 adalah tahun keempat blog ini, sebenarnya. Blog ini lahir mid 2008 dan tidak disentuh sampai 2011 awal.

Maka dengan berlangsungnya waktu dan kemudian banyaknya tanggung jawab di tempat lain, maka perlu evaluasi.

Banyak komen muncul dan memberikan itu, dan saya berterima kasih untuknya.

Terima kasih pula untuk teman-teman yang setia melihat blog ini. Ada yang kadang menagih tulisan karena beberapa waktu blog ini sepi. Malah ada gembel bangun lapak di dalamnya. Hehe..

Maka, di 2012 ini, saatnya semangat baru, jiwa baru, kreativitas baru, dan semuanya mesti diperbaharui.

Oiya, buat saya tahun baru tidaklah cukup penting. Mengingat ulang tahun saya tidaklah jauh dari tahun baru, maka yang namanya resolusi, saya kaitkan dengan pertambahan usia saya.

Okehhh.. Semakin tidak nyambung deh.. Gpp kan ya?

Selamat menikmati tahun yang baru!