Matahari bergegas menuju barat. Sudah jatahnya untuk tidak saja menerangi belahan bumi tempat aku berpijak. Ia harus beralih ke bagian bumi lain untuk tugas yang sama. Yah, itu memang tugasnya. Tidaklah perlu aku mengurusi soal itu.
Seharusnya memang demikian.

Tapi kali ini aku ada perlu dengan matahari. Dan parahnya, aku terlambat. Sudah menjadi tabiatku untuk menunda pekerjaan sebisa mungkin itu ditunda. Dan benarlah. Ketika aku sampai di tempat aku punya urusan dengan matahari, ia sudah bergegas pergi.
“Hai, tunggulah sebentar!” Aku mengejarnya dengan nafas yang semakin tidak teratur.
“Bukankah kita berjanji untuk bertemu 1 jam yang lalu? Aku masih banyak urusan sobat!” katanya sambil terus berjalan.
Aku terus berlari mengejar langkahnya yang besar. Sebenarnya, sudah nyaris tidak terkejar. Betapa tidak, sebuah langkahnya harus kukejar dengan ratusan langkah berlari. Tapi, sungguh, aku membutuhkannya sekarang.
“Tapi tolonglah! Aku betul-betul membutuhkanmu sekarang!” Aku berteriak semakin kencang. Nafas terengah itu aku konversi menjadi suara yang mendesah keras, berharap matahari bisa berubah pikiran untuk bertahan sejenak.
Langkahnya melambat, tapi tentu saja itu masih butuh dikejar. Aku melihatnya melambat perlahan, dan dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku berlari lebih kencang.
“Satu kali ini saja, Tuan!”
Dan ajaib! Ia kali ini benar-benar berhenti. Pada posisi yang sungguh tepat, sungguh baik, dan sungguh membentuk SENJA.
“Apa yang kamu perlu dariku, sobat?”
“Aku hanya hendak membungkus senjamu, Tuan. Apakah aku bisa melakukannya?”
“Hahahahaha…,” tawanya besar, tampak ia sungguh tergelak bukan main atas permintaanku, “Kau pikir aku bisa mengabulkan permintaanmu sobat?”
“Kau yang membuat senja, pastinya kau juga bisa membungkus sedikit untukku. Tolonglah Tuan!”
Matahari tampak berpikir. Mungkin ia baru kali ini mendapat permintaan yang aku ajukan.
“Mendekatlah, sobat!”
Aku berlari mendekat, tapi panas. Maka aku melambatkan laju lariku.
“Mendekatlah!” katanya lagi.
Panggilan kedua darinya membuatku mendekat lagi. Bukan hal yang mudah. Sungguh panas! Kulitku mulai terbakar dan sebagian menghitam. Aku tidak lagi tampan. Itulah keadaannya.
Tapi aku telah mengejar matahari ini sedari tadi, maka sungguh tanggung kalau aku melewatkan panggilannya.
“Ulurkan tanganmu, sobat!”
Panas semakin menderaku dan mataku bahkan tidak bisa lagi melihat keadaan sekitar karena hanya ada cahaya terang beredar di jangkauan mataku.
“Apa ini Tuan?”
Matahari mengulurkan tangannya dan sejurus kemudian sebuah bungkusan berada di tanganku.
“Terimalah, sobat. Baiklah kini aku pergi. Banyak yang menungguku di belahan lain. Selamat bersenang-senang.”
Panas itu perlahan hilang, pun dengan cahaya terang. Di tanganku ada sebuah bungkusan. Hanya sebuah bungkusan kecil yang tidak sempat kutanyakan isinya. Kuanggap saja itu pemberian dari matahari, dan seharusnya ia memberikannya sesuai permohonanku tadi.
Dengan badan melepuh, kulit terbakar, dan mata yang belum kembali pada daya akomodasinya aku berlari kembali. Aku menuju tempatmu. Aku tahu kamu pasti berada di atap rumahmu. Entah bagaimana caranya, kamu menyukai tempat itu.
Wajahmu sendu, aku yakin kamu pasti kehilangan sesuatu.
“Hei, mengapa kamu bersedih?” teriakku dari bawah.
“Aku kehilangan senjaku!”
Dan air matamu perlahan berlinang. Entahlah, apa pula hebatnya sang senja sampai kamu berlinang air mata karena kehilangannya.
Aku hanya berharap, senja yang hilang itulah yang ada di bungkusan dari matahari. Tentu saja hilang, karena senja itu pasti ada di tanganku sekarang!
“Aku punya kado buatmu! Janganlah bersedih lagi!” Aku masih berteriak dari bawah.
“Kecuali kamu menghadirkan senja kembali untukku, saat itulah aku tidak bersedih. Senja adalah hidupku!”
“Baiklah! Tapi kamu mau menerima hadiah ini kan?”
Dan kamu terdiam menghapus air mata, masih menerawang ke tempat seharusnya senja itu ada. Tanpa jawaban bukanlah hal yang baik. Maka dengan sisa tenagaku, kupanjat dinding rumahmu. Dengan hati-hati kubawakan bungkusan dari matahari sambil memanjat dinding merah jambu itu.
Kini, hanya ada aku dan kamu, di tempat semacam ini.
“Janganlah bersedih.”
“Senja adalah hidupku, tidak ada alasan untuk tidak bersedih,” katamu sendu.
“Mungkin ini bisa menghapus kesedihanmu,” kataku sambil menyerahkan bungkusan kepadamu.
Paras cantikmu masih sendu kala memegang bungkusan itu.
“Bukalah…”
Tangan mungilmu membuka bungkusan, yang aku pun tidak tahu isinya. Perlahan, tampak kilau sinar dari dalam sana.
Dan yang tampak lebih perlahan adalah sesungging senyum dari bibirmu.
“Inikah penghapus sedihmu?” tanyaku.
Kamu tidak menjawab, hanya tersenyum manis kepadaku. Wajahmu mulai tampak bersinar kembali.
“Ini untukku?” tanyamu ketika akhirnya membuka suara.
“Iya! Tentu saja!” jawabku bersemangat.
“Terima kasih. Terima kasih telah memberikan senja ini untukku.”
Sebuah metafora yang melankolis dan romantis, sedikit absurd tapi manis…semanis sepotong senja…
LikeLike
heeee romantisss
senjaaaaaaaaaaaaaaaa
keindahan yang tiada tara
apa lagi pas ma pacarr he
LikeLike