Ini mungkin posting paling nekat sejagad ariesadhar.wordpress.com. Lha iya, wong saya itu cuma 2 tahun sekian hari di Palembang kok nekat ngajari bahasa Palembang?
Edan!
Nggak sih. Saya bersyukur diberi karunia agak mudah mempelajari bahasa ketika terjun langsung didalamnya. Setidaknya dalam 1-2 bulan pertama di Palembang, saya sudah bisa menawar harga sepatu di toko olahraga sepanjang sudirman, yang notabene isinya orang keturunan Hindustan semua.. hehehe..
Bahasa Palembang bagi saya adalah pertemuan antara Minang dan Jawa. Kenapa? Mungkin kaitan Sriwijaya juga kali ya. Yang pasti kecenderungan meng-o-kan suasana masih ada. Tapi ingat, itu kecenderungan saja lho. Dan beberapa vocab sangat Jawa sekali.
Beberapa huruf konsonan dari Bahasa Indonesia bisa hilang. Misal ari (hari) atau asil (hasil). Sebenarnya ini terkait ke pengucapan saja sih bahwa H dan A berurutan itu agak tidak terdengar. hehe..
Pertemuan Minang-Jawa ada di awak, karena kata ini bisa bermakna anda, bisa juga badan.
Tahu Benteng Kuto Besak? Nah, Besak tentunya bermakna Besar. Pola ini rutin dipakai di Palembang. Besak nean… Kalau kecil? Tentu saja KECIK. hehe..
Kemudian soal jenis kelamin. Janganlah marah kalau dipanggil Betino (buat yang cewek), karena memang panggilannya lanang dan betino untuk laki dan perempuan. Lalu kalau dibilang Budak, ya biasa saja, orang itu artinya adalah anak. Tahu kan kak Ros di Upin-Ipin, “budak ni….”
Dan pertanyaan standar biasa dimulai dengan Cakmano alias Bagaimana. Standar dong? Cakmano ni? Bagaimana ini?
Mau agak Jawa? Adalah beberapa kata misal Buri atau Dewean. Itu beneran bermakna belakang dan sendirian. Lalu kalau agak mirip ada namanya Galak. Ini kata Palembang pertama yang saya tahu. Galak itu artinya Gelem = Mau. Hehehe.. Masih ada juga Metu alias keluar.
Kalau mau berantem, ada istilah goco alias tonjok. “Goco kagek…” Selevel lebih tinggi adalah tujah alias tusuk pakai pisau. Ya inilah profil Palembang di halaman belakang koran daerah. Pasti ada itu tiap hari. Ngeri euy…