Tag Archives: travel

18 Alasan Kamu Harus Datang ke Bukittinggi

Well, well, well. Sudah berapa kali saya menulis tentang Bukittinggi di blog ini. Cukup banyaklah pokoknya. Cari saja sendiri, kalau nggak percaya. Memang, sih, saya lelaki, susah dipercaya. Tapi plis, tolong dipahami! Okesip. Bicara kota Bukittinggi tentu saja nggak akan ada habisnya. Sudah begitu, kamu belum pernah datang ke Bukittinggi? Ah, sayang sekali. Supaya semakin termotivasi, berikut ini saya beberkan secara gamblang bahwa ada DELAPAN BELAS alasan kamu harus datang ke Bukittinggi. Banyak, kan? Makanya. Terus apa saja 18 alasan itu? Ini, nih.

1. Malalak dan Lembah Anai

Anggap saja kamu datang ke Sumatera Barat via langit. Otomatis kamu akan mendarat di Bandar Udara Internasional Minangkabau (BIM). Setelah bergelut dengan serbuan tawaran travel yang dimulai dari sejengkal sejak pintu keluar. Yup, sebagaimana banyak jalan menuju Vatikan sambil selfie, eh, Roma, maka ada beberapa jalan juga menuju Bukittinggi dari BIM ini. Dua jalan yang paling umum boleh dibilang memiliki karakteristik tersendiri, sekaligus menjadi alasan bagi kamu untuk pergi ke Bukittinggi. Kenapa? Baru menuju Bukittinggi saja, sudah disuguhi pemandangan keren.

Via Malalak, boleh dibilang adalah jalan alternatif dari jalur utama Padang-Bukittinggi. Umumnya, travel tidak akan lewat Malalak kecuali ada penumpang yang turun di Balingka dan sekitarnya, atau jalur utama sedang macet parah. Menurut seorang Bapak yang turun di Balingka waktu saya mudik via Malalak kemaren, jalur Malalak ini adalah menyusuri pinggangnya gunung Singgalang. Begitu saya googling, katanya Tandikat. Yang bener yang mana? Heu. Jalur ini boleh dibilang rawan longsor dan penuh batu besar, plus ada beberapa cerita mistis soal batu besar. Plus, dari ketinggian tertentu, kita bisa melihat LAUT! Bayangkan betapa tingginya.

Sumber: 2persen.wordpress.com
Sumber: 2persen.wordpress.com

Terus kalau via jalur normal, sudah dipastikan kita akan menyaksikan pemandangan klasik benama Lembah Anai, dan air terjun yang legendaris. Saking legendarisnya, ketika musim liburan para pengunjung mampir dan, ya, lumayan bikin macet. Tapi, tetap saja, indah.

west-sumatra-trip-2013-0221
Sumber: terbanglayang.wordpress.com

Jadi nggak usah takut, lewat manapun, selalu ada alasan untuk pergi ke Bukittinggi.

Kumplit disini!

Melihat-Lihat Cibadak Culinary Night (CCN)

Terima kasih kepada Pak Ridwan Kamil dan upayanya untuk meningkatkan Index of Happiness dari warga Bandung. Dan salah satunya adalah memperbanyak jumlah event yang berbau happy-happy. Nah, salah satunya adalah Cibadak Culinary Night alias CCN. Ya begitulah, belakangan saya–si penulis Oom Alfa–memang jadi sering ke Bandung dan mulai lebih akrab dengan Primajasa alih-alih Mayasari, makanya bisa ikut-ikutan proyek Pak Ridwan untuk happy-happy.

Sesudah mencicipi Braga Culinary Night (BCN) yang kisahnya bisa dibaca secara lengkap disini, tentu saja saya penasaran dengan tipe serupa yang mestinya berbeda. Lha kok gitu? Sejauh saya dengar, Cibadak adalah salah satu area Pecinan di Bandung. Jadi, mestinya saya bisa memperoleh varian kuliner yang berbeda dengan yang saya temui di Braga sebelumnya. Dan baru ngeh juga, ternyata di tanggal 22 Februari silam, di Bandung ada 2 event yang sama-sama Culinary Night. Cikarang? Tetap setiap dengan Taman-Seribu-Janji-Culinary-Night-Yang-Bikin-Macet-Tiada-Tara.

IMG_4487

Nah, berbekal ekspektasi yang kadung tinggi gegara puas dengan BCN, maka berangkatlah saya ke Cibadak. Dan berhubung saya nggak akrab sama Bandung, tentu saja saya berangkat ke CCN  bareng mbak-mbak yang paham Bandung dan paham hati saya. #tsahhh

Mari jalan-jalan!

Jobless Escape: Cisantana

Sesudah mengambil keputusan penting untuk resign dari pekerjaan yang saya tekuni selama 4 tahun 10 bulan, saya tentu saja menjadi jobless. Dalam terminologi yang lebih kejam, bisa disebut sebagai pengangguran. Nggak apa-apa deh, minggir sejenak demi kebaikan bersama. Lagipula, setidaknya untuk 1 bulan ke depan, tabungan masih cukup untuk sekadar makan indomie goreng.

IMG_4373

Dan persis sehari sebelum hari terakhir di kantor, saya dapat ajakan untuk makan cwi mie secara gratisan oleh Mas Didit, lulusan IT yang jadi juragan bahan kimia. Yah, namanya mau jobless saya sangat peka pada sesuatu yang bernama gratisan. Maka, berangkatlah saya ke tempat Oma untuk makan cwi mie.

Ngobrol-ngobrol lama, cwi mie-pun menjelang tutup. Eh, begitu saya, Bayu, Agung, Mas Didit, dan Mbak Metta keluar, tetiba ada Pak Paulus di luar. Obrolan santai kemudian berlanjut. Yup, manusia-manusia ini adalah orang-orang yang saya kenal karena sama-sama tergabung di bagian Pelayanan PITC. Sepelenya, orang-orang yang dipilih untuk melayani.

IMG_4435

Nah, sambil makan bakso, Pak Paulus lalu bilang, “Gue mau ke atas besok. Mau ikut nggak?”

Saya masih bingung. Tapi lantas Mas Didit menimpali, “Ke Cisantana? Ayo aja! Melu ora?

IMG_4433

Sebagai orang yang keesokan harinya akan jobless dan pasti bingung hendak melakukan apa, saya segera mengiyakan ajakan ini. Lagipula, saya sudah cukup lama nggak menginap di tempat peziarahan yang sesuai agama yang saya anut. Terakhir kali itu sekitar tahun 2008, bersama pacar, yang sekarang sudah menjelma menjadi mantan. Memang kemudian saya masih menyempatkan diri mampir ke Sri Ningsih, Ganjuran, Jati Ningsih, hingga Sendang Sono, tapi semuanya tidak menginap. Bayangan seru dinginnya Cisantana langsung memenuhi akal pikiran saya, hingga kemudian memutuskan ikut. Sudah kebayang juga membawa Eos karena sebelumnya dia baru sempat mengambil gambar di Sendang Sono.

IMG_1805

Dan Sri Ningsih.

IMG_3255

Serta Lembah Karmel.

IMG_4311

Perjalanan dimulai jam 11 malam karena saya belibet masukin si BG ke kamar, berhubung mau ditinggal beberapa hari. Eh, ternyata ada peserta tambahan selain EO Pak Paulus, Mas Didit, dan Mbak Metta. Pak Tri ternyata berhasil dirayu untuk ikutan juga. Kadang-kadang saya iri sama mereka-mereka yang kerjanya swasta begini, sehingga bebas soal waktu. Inipun kalau saya tidak jobless nggak bakal ikutan juga.

Profil perjalanannya kira-kira seperti ini:

Untitled

Selengkapnya

Turis Sehari di Bukittinggi

Jadi turis itu sebenarnya nggak susah. Bahkan di tanah kelahiran sendiri juga bisa jadi turis. Itu yang saya lakukan beberapa waktu silam, ketika mudik dalam rangka mengurus ini dan itu perihal masa depan. Ah, tenang saja, bukan soal kawin kok.

Namanya Bukittinggi, semuanya bisa berlangsung dengan mudah. Untuk sebuah surat yang di RSUD Kota Bekasi saya harus tunggu sana dan sini, di Bukittinggi semuanya lancar seperti jalan tol jam 3 pagi. Dengan kenyataan itu plus kebetulan memang jadwal orangtua saya mengajar penuh, ya sudah, saya dilepas sendirian untuk mengurus pembaharuan SIM C dan ganti kartu NPWP. Dan namanya Bukittinggi, semuanya bisa jadi dengan cepat. Saya lalu beranjak pada tujuan terakhir, Hotel Rocky, untuk city check in penerbangan saya kembali ke realita keesokan harinya.

Jam setengah 11, urusan sudah kelar. Enaknya kemana, nih?

Enaknya apa dong?

Braga, I’m In Love

Iya, ini nyontek judul salah satu novel teenlit pertama yang pernah saya beli. Nggak apa-apa, Braga kan bukan Eiffel dan Eiffel juga bukan Braga. Lagipula kan nggak ada Eiffel Culinary Night karena adanya Braga Culinary Night.

BCN1

Perihal nama Braga, saya justru teringat ketika saya masih hobi mendengarkan pertandingan sepakbola. Tenang, itu bukan typo. Saya benar-benar mendengarkan pertandingan sepakbola melalui Radio Republik Indonesia. Dan karena saya menghabiskan masa muda menjelang dewasa, maka pertandingan yang saya dengarkan adalah PSIM dan PSS. Kalau di RRI itu, pertandingan biasa aja bisa jadi seru banget.

“Yak, bola ditendang, melewati garis tengah… Berbahayaaaaa.. Dannnn… Mereka jadian saudara-saudara…”

Begitu kira-kira.

Selanjutnya!

5 Perjalanan Serba Pertama

Sudah cukup lama saya nggak nulis bab lain dari blog ini selain ‘hanya mau menulis’. Sekarang pengen meneruskan serial 5 perjalanan sesudah paling absurd dan jadi teman yang baik.

Kali ini saya mau menuliskan 5 perjalanan ketika saya cupu sangat jadi orang. Kecupuan itu tentu saja terjadi karena itu pertama kali saya melakukan perjalanan tersebut.

MarKiMul, mari kita mulai!

1. Batavia Air (medio 2004)

Saya pulang kampung naik ALS sesudah saya lulus SMA. Cuma, di perjalanan saya mengalami traveler diarrhea yang menyebabkan hidup saya semengenaskan jomblo ngenes sepanjang perjalanan Lampung-Bukittinggi. Walhasil sampai rumah saya jatuh kurus, yang mana daripada sebelumnya saya sudah kurus kering.

Nah, begitu kembali ke Jogja, emak saya nggak tega saya kena traveler diarrhea lagi, jadi dibeliin deh tiket pesawat ke Jogja. Dan itu adalah almarhum Batavia Air. Waktu itu berangkatnya masih dari Tabing. Dan itu adalah penerbangan koneksi.

Usia saya 17 tahun dan belum pernah naik pesawat setelah tahun 1989. Mana ngerti saya suasana bandara kayak apa? Dan lagi, saya sama sekali nggak pegang HP kala itu. Lengkap sudah.

Dengan ngenes saya sudah harus merelakan seat pinggir jendela saya kepada seorang kancut yang tega bilang kalau bangku saya yang di gang, padahal jelas-jelas A. Saya yang pengen melihat awan kan langsung garuk-garuk rok pramugari.

Bagian ngenesnya adalah waktu transit, bahwa saat itu saya asli ngenes tanpa alat komunikasi apapun di bandara itu. Waktu itu bandara Soekarno-Hatta belum digital. Ganti jadwalnya masih yang model kayak mesin ketik itu.

Ada sekitar 2 jam saya nunggu dengan gamang di ruang tunggu terminal 1, lupa A-B-C. Dan syukurlah pada akhirnya sampai juga ke Jogja dengan selamat.

2. Merpati (2008)

Bagian dari project 9 hari saya yang tahu-tahu mewarnai hidup saya dengan segera dan memusnahkan kemungkinan saya dapat penghargaan kelulusan apoteker, tapi tidak pernah saya sesali karena nilai pengalamannya LUAR BIASA.

Jadi waktu itu saya naik pesawat bareng Pak Lanto dan Pak siapa gitu saya lupa dari Jogja, transit Jakarta, lanjut Medan. Nah, sesudah dari Medan mau ke Gunungsitoli ini yang bikin deg-degan.

Ini adalah pertama kalinya saya naik pesawat kecil, isi 28 penumpang kalau nggak salah. Begitu lihat bahwa tangga naiknya itu dilipat jadi pintu, udah berasa kecilnya ini pesawat. Belum lagi lihat sepasang baling-baling di sayapnya yang tidak kalah mungil, semungil hatiku *uopoooo*

Mengingat saya cupu, jadi saya ikut saja Pak Lanto pilih di gang. Untungnya itu pilihan benar karena ternyata cukup ngenes juga di jendela. Semacam menakutkan gitu.

Tapi seru sih.

3. Taksi di Bandung (2008)

Ini sontoloyo-nya supir taksi di Bandung. Ncen asli sompret. *lah malah misuh-misuh*

Jadi kisahnya, dalam rangka liburan semester dan memberikan support penuh kepada dedek bungsu yang hendak meniup puluik pupuik dan menabuh tampelong talempong, saya dan dua adek langsung menuju Bandung Lautan Asmara.

Rencananya, mau menginap di rumah saudara yang memang ada di Bandung. Kontak kita waktu itu hanya si Petra, sepupu saya yang sepantaran sama si Cici, sekarang sudah jadi lawyer, sementara saya masih jadi officer *separuh curhat*

Terakhir kali ketemu Petra adalah tahun 1997, waktu itu dia masih SD. Dan di dalam perkembangan wanita tentu saja ada perbedaan besar.

Begitu taksi yang diorder sampai ke kompleks yang dituju, mulai deh itu supir kampret belagak nggak ngerti jalan. Berhubung saya juga nggak ngerti jalan, apalagi dua adek saya pun demikian, ya ikut manut patuh begitu supir bilang kagak ngarti. Jadilah taksi dibawa muter-muter nggak karuan.

Pada saat ini juga, Cici menelepon Petra, suruh keluar rumah. Permintaan absurd juga, lha emang kalau Petra keluar rumah kita ngerti bentuknya Petra di tahun 2008 kayak apa?

Ujungnya sih ketemu, dengan cost membengkak dan seringai jahanam ala David Luiz dari supir taksi. Yeah!

4. Solo (2005)

Ada 3 kali saya ke Solo. Eh, 4. Yang terakhir sendirian.

Nah ini yang pertama. Detailnya ada di sisi lain blog ini. Jadi kisahnya si Coco itu pengen naik sepur. Ndeso tenan nggak pernah naik sepur ya. Karena kita, teman-temannya, baik hati dan rajin menabung, maka kita temanilah dia ber-15 semata mau naik Pramex.

Kisahnya panjang banget, jadi monggo dihaturi mampir kesini ya.

5. Ngangin-Ngangin (2007)

Dari namanya saja sudah absurd, tapi itulah desa terpilih untuk melakoni skripsi. Pertama kali saya kesana adalah bonceng Pipin, dan dikasih tahu bahwa tempatnya lumayan nyelempit.

Dimulai dari melewati Kali Progo. Mengingat Ngangin-Ngangin ada di Kulonprogo, alias baratnya Progo. Terus sesudah lewat Progo dan sekian tikungan, masuklah kita ke kanan, dengan sawah membentang.

Sampai di ujung jalan ketika jalan aspal habis, dimulailah petualangan baru dengan jalan berbatu.

Demikianlah pada akhirnya saya sampai di sebuah desa, yang anehnya, jalannya mulus. *jangan-jangan ada akses lainnya ini?*

Pertama kali itu pula langsung ngider dusun, langsung ikut PKK sambil bernyanyi, “hidup gotong royong sehat sandang dan pangan…”

Ehm, begitulah, 5 perjalanan serba pertama saya yang penuh kecupuan dan kebingungan. Maaf kalau nggak lucu, kan cuma berniat ngelucu. 😀 😀

5 Perjalanan Paling Absurd

Hiyah, nggaya bener. Hidup belum lama, traveling belum kemana-mana, pake nggaya nulis beginian. Eh, tapi saya ini ya termasuk kadang-kadang jalan-jalan ya. Jadi, ada lah beberapa perjalanan yang buat saya lantas berlangsung absurd. Entah absurd jadinya, prosesnya, atau apapun itu. Tapi, meski absurd, saya harus BERSYUKUR pada Tuhan, bahwa saya masih selamat. Itu yang jauh lebih penting 🙂

1. Perjalanan Berangkat Merantau (29 Juni – 2 Juli 2001)

Ini bukan pertama kali saya melakoni perjalanan jarak jauh, tapi paket komplet perjalanan berangkat merantau ini otomatis menjadi salah satu perjalanan paling DIINGAT dalam hidup saya. Dimulai dari Jumat siang yang sedih, saya naik Gumarang Jaya dari Bukittinggi bareng Bapak. Mobil berlogo kuda ini akan membawa saya ke Jakarta. Nah, keesokan harinya sampailah di Pulau Jawa, dan hampir tengah malam ketika kemudian saya tiba di terminal Kampung Rambutan.

sumber: google maps

Dari terminal ini, saya dan Bapak naik bis entah-apa-namanya ke Cirebon, waktu itu mau mampir ke tempat Pakde sebelum lanjut ke Jogja. Bis dari Cirebon ini formasi 3-3, entah masih ada atau tidak di jaman sekarang ini. Udah kotor, buluk, banyak pengasong, banyak yang ngerokok pula. Lengkap deritanya.

Sampai Cirebon dini hari dan lantas menuju tempat Pakde.

Nah, sisi paling absurd dari perjalanan ini adalah waktu step terakhir hendak menuju Jogja. Saya dan Bapak naik kereta api entah-apa-namanya dari Stasiun Cirebon dengan tiket bisnis. Saya sih curiganya ini Senja Utama, tapi pastinya lupa.

Kelas boleh bisnis. Ketika itu kereta nyampe, sama sekali nggak ada tempat duduk! Dan inilah salah satu momen ter-ghoib dalam hidup saya. Seorang anak unyu-unyu yang hendak menempuh pendidikan, terjongkok manis di sambungan antar gerbong sambil bersandar pada tas yang berisi barang bawaan dari Cirebon sampai Jogja.

Apa saya bisa tidur kalau begitu? Nggak! Dan ini salah satu momen saya berasa kalau jam itu nggak berputar sama sekali, saking nggak nyampe-nyampe-nya. Ya memang waktu nyampe-nya molor dari estimasi.

Dan belum cukup kegilaan ini, saya disuruh langsung mendaftar sekolah! Syukurlah saya tidak dites intelegensi, karena kejadian sebelumnya akan sangat berpengaruh pada kemampuan saya yang aslinya sudah pas-pasan ini *apa coba*

Dan syukurlah, lewat proses yang “tampak” mudah (karena amat sangat lancar sekali), saya diterima di SMA Kolese De Britto Jogjakarta 🙂

2. Perjalanan Menembus Erupsi (November 2010)

Ehm, ini perlu diceritakan nggak ya? Hahahaha.. Ah, namanya juga cerita. Toh, Tuhan itu menciptakan peristiwa itu pasti ada gunanya kan?

Jadi ceritanya sejak jauh-jauh waktu saya sudah izin cuti sama Pakbos untuk menghadiri wisudanya seseorang yang waktu itu jadi pacar saya. Bulan November wisudanya, saya izin dari awal September. Saking susahnya cuti kalau sama Pakbos. Huhuhu…

Mulai galau ketika saya beli tiket Palembang-Jogja, kok rasa-rasanya berat itu pas mbayar. Eh, ternyata mulai kerasa. Dua hari sesudah saya beli tiket, ada berita kalau gunung Merapi mulai beraktivitas tinggi hingga kemudian berita Mbah Maridjan tewas dilewati wedhus gembel dan segala berita lain sesudahnya.

Saya masih mencoba biasa saja, toh penerbangan belum ada masalah.

Apa iya? Iya, setidaknya sampai sebelum saya berangkat.

sumber; tribunnews.com

Jumat pagi jam 4 saya bangun dan siap-siap karena penerbangan pertama dari Palembang. Begitu menunggu Mas Sigit bangun, eh ada berita kalau Merapi baru meletus, terbesar selama berapa ratus tahun.

“Ow ow…”

Saya tetap berangkat, lha piye meneh. Penerbangan Palembang-Jakarta mulus pastinya, hingga sampai di ruang tunggu untuk transit ke Jogja.

“Penumpang sekalian, karena bandara di Jogja ditutup maka penerbangan dibatalkan.”

MATEK! Saya akhirnya memasuki fase mantap. Saya ikutan nongkrong sabar di depan loket Lion Air di terminal 1A Cengkareng. Saya sempat diwawancarai Bali TV. Dan saya capek. *halah*

Berikutnya saya capcus ke stasiun Senen untuk berharap ada tiket ke Jogja dari kereta tambahan, tentunya bersama kakaknya yang mau wisuda. *untung ada temennya* Akhirnya saya sampai Jogja pas di hari H, molor sehari. Hotel yang sudah dibayar akhirnya sia-sia semalam. Ya sudahlah. Sesudah menghadiri wisuda, saya segera ke stasiun beli tiket kereta, dampak dari firasat masih buruk. Saya dapat Senja Solo Extra. Padahal saya masih punya tiket pesawat Jogja-Palembang loh.

Ternyata saya benar! Minggu pagi saya dapat SMS kalau penerbangan dari bandara Jogja masih ditutup. Untung udah beli tiket. Tapi masalah belum kelar, saya kudu beli tiket baru Jakarta-Palembang supaya proses refund-nya ga ribet. Maklum, tiketnya Lion Air itu kan transit. Jadilah saya nggaya, beli tiket Jakarta-Palembang Garuda, 800 ribu. Hahaha.. *sok kaya*

Dari Jogja ke Senen mulus karena keretanya eksekutif. Saya lanjut ke Gambir dan dari sana ke bandara. Hmmm, kalau sadar urutannya, maka pasti kelihatan kalau saya belum mandi. Yak, saya adalah penumpang Garuda yang nggak mandi. Heuheuheu..

Mendarat di SMB II jam 12, sampai mess jam 13, saya langsung kerja. *maklum, pegawai teladan*

Selesai? Nggak juga, karena di bulan November itu saya kudu mati-matian bertahan hidup. Lha duit’e ntek kabeh je.. 😦

3. Kondangan Ke Belitang (Februari 2011)

Jiwa persahabatan saya memang tinggi. *congkak* Saking tingginya, waktu dinas ke Jakarta, saya sempatkan untuk langsung pulang ke Palembang pada flight terakhir karena besoknya mau pergi kondangan. Sampai Palembang itu sekitar jam 11 malam dan sebelum jam 6 sudah mau berangkat ke tempat yang katanya 6 jam jauhnya dari Palembang.

Kondangan ini didukung sama kantor dengan support mobil plus supir (Zul). Saya berangkat bersama Pakbos DJ, Koko Aliem, Koko Ahen (ini koko jadi-jadian), Pakbos Zae, dan Ando69 naik Kijang yang mirip punya ortu di rumah.

koleksi pribadi pake HP LG 🙂

Perjalanan ini panjang dan saya terpaksa nggak tidur (walau capek) karena harus meladeni obrolan asyik sepanjang jalan. Hahaha..

Sisi absurd-nya adalah ketika masuk Belitang. Kita-kita pada mikir kalau start gambar di undangan itu adalah jalan masuk Belitang. Ternyata….

Bukan.

Tanya sana, tanya sini. Berhenti sana, berhenti sini. Akhirnya petunjuk didapat.

“Abis ini ada nusa… nusa… nusa… baru nusa tenggara..”

Ebuset. Jauh aja ternyata!

Dan ternyata rumahnya itu memang masih jauh. Yah, peta yang mungil ini jadi tampak menipu. Hehehe.. *piss kak kus*

Sampai di tempat, rencana awal mau ikut misa udah nggak kekejar. Malah acara syukurannya udah mau kelar. Jadilah kita langsung ganti baju batik di dalam mobil dan kemudian turun lalu muntah-muntah eh salaman. Nongkrong 1,5 jam, lantas kita pulang. Rada nggak rela sebenarnya, masak 6 jam di jalan, di tempatnya 1,5 jam, apa kata dunia?

Dan ini menjadi satu-satunya perjalanan jauh di atas 12 jam pp yang saya tidak tidur sekejappun 🙂

4. Kantor Bernas-Rumah Simbah (2001)

Ini kayaknya pernah saya tulis di blog sini (kayaknya loh), waktu nulis soal Alfa. Ini terjadi waktu saya masih pakai sepeda dan masih jadi wartawan jadi-jadian di koran Bernas. Jadi ceritanya kumpul sabtu siang ke sore untuk pembekalan. Pulangnya udah malam gitu.

Nah, asyik-asyiknya saya mengayuh sepeda di sekitar UGM, tiba-tiba itu sepeda pedalnya los. Jadi mau diputer kayak gimana juga, nggak akan bikin rantainya ikut berputar.

Fuihhh, jadilah saya menuntun itu sepeda perlahan tapi pasti *pasti capek* menuju rumah simbah. Jadi ada agak 6-7 kilometer saya menuntun sepeda dengan baju seragam (waktu itu di JB hari Sabtu masih pakai seragam), dan itu terjadi di MALAM MINGGU. APA NGGAK BIKIN GALAU ITU? *keyboard mendadak caps lock semua*

5. Jogja-Wates (pada suatu hari di tahun 2007)

Ini mungkin paling absurd bagi saya dari sisi keamanan. Kenapa? Karena di perjalanan inilah saya pernah tidur sambil nyetir motor. Jadi ceritanya karena hasil pengundian abal-abal skripsi menujukkan sampling dan wawancara harus dilakukan di daerah Wates maka saya harus kesana. Anggota tim yang cewek ngekos disana. Saya dan Fandy nglaju.

Nah, kok ya pas skripsi ini, pas saya ada persiapan KPS Unpar di Bandung. Jadi, pas pulang dari ambil data *pasti capek lah wong keliling kampung* saya ikut latihan PSM *ini jelas nggak kalah capeknya*. Sampai kos tinggal tepar. Berikutnya? Besok bangun lagi, melakukan rutinitas yang sama.

Nah, yang tak tertahankan ketika pada hari kesekian, saya membawa Bang Revo dengan Fandy bonceng di belakang. Kalau pernah lewat Jalan Wates pasti tahu lurus-lurusnya mantap kan? Nah, ketika disitu, di sekitar Rewulu saya merasakan mata saya menjadi berat… berat… berat… dan lalu merem 1-2 detik.

Lanjut melek dikit, eh berat lagi.. merem lagi sejenak. Dan itu motor masih melaju 70-80 km/jam. Sampai sekarang saya bingung soal ini. Itu kenapa kalau jalan jauh saya prefer pakai headset. Setidaknya saya bisa nyanyi-nyanyi supaya nggak merem.

Hehehe..

Sebenarnya ada banyak perjalanan lain, mulai dari mengantar teman ke tempat pacarnya, perjalanan sama anak dolan-dolan, dan lainnya. Tapi ini adalah 5 kisah terpilih untuk kategori ABSURD. Hahahahaha… 😀

Eh, Penerbangan Saya Masuk Berita

Googling bin googling eh malah ketemu nih..

LINK INI *nulis sambil marah-marah*

Jadi tertulisnya begini:

Menurut pantauan Posko Angkutan Lebaran Terpadu 2012, ada 11 jadwal penerbangan yang mengalami delay jadwal kedatangan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada H+1 atau Selasa (21/8/2012) kemarin. Maskapai yang mengalami delay adalah Batavia Air, Sriwijaya Air, Lion Air, Citilink, dan Indonesia AirAsia. Keterlambatan itu terlihat sepanjang pemantauan Posko yakni dari pukul 08.00 WIB sampai 18.00 WIB.

Maskapai Batavia Air, misalnya, mengalami keterlambatan kedatangan domestik paling lama dari maskapai lainnya, yakni penerbangan Y6-0584 dari Bandar Udara Minangkabau, Padang, menuju Bandara Soekarno-Hatta selama 2 jam 39 menit.

Keterlambatan paling singkat yakni Lion Air JT-0347 dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang dengan 32 menit dari jadwal semula. Sementara Sriwijaya Air adalah maskapai yang paling banyak mengalami keterlambatan jadwal kedatangan di Bandara Soetta. Ada lima penerbangan dengan tujuan Jakarta yang telat.

Saya bingung nih, itu 2 jam 39 menit dari mana yak? Wong saya antri di pintu boarding aje tulisannya 13.10, padahal saya itu antrinya jam 17.10, itu juga 10 menit sebelumnya dibilang “pesawat akan siap 30 menit lagi..” yang langsung mengundang komplain banyak penumpang.. Jadi 13.10 ke 17.10 itu ternyata 2 jam 39 menit?

Ehm, bisa dipahami sih, kalau dihitung normal, 4 jam itu kompensasi 300 ribu. See? Bayangkan aja rugi di peak season mudik begitu. Rugi bandar cuy. Ah, ya sudahlah… Huhuhuhu…

Batak Itu Satu Keluarga

Berawal dan bermula dari mau bikin rancangan plot yang sudah jelas bab 1-nya, tapi terkendala masalah plot lanjutan berikut kejutan yang maunya ada surprise. Hmmm… malah lari ke sejarah BATAK. Hahahaha..

Eh, tapi Batak itu unik loh. Asli. Sejak kapan orang yang tidak saling kenal bisa ‘dianggap’ bersaudara semata-mata karena kesamaan marga? Ehm, ternyata dari sononya, memang sudah begitu. Nggak percaya?

Saya coba kulik-kulik dari sini dan mencoba menerjemahkannya dalam excel. Heleh, kotak lagi 🙂

Jadi Si Raja Batak punya dua anak yakni Raja Tatea Bulan dan Raja Isombaon. Nah, turunan Raja Tatea Bulan adalah sbb:

sumber: reka-reka @ariesadhar

Kalau dari Raja Isombaon, sebagai berikut:

sumber: reka-reka @ariesadhar

Jadi silahkan dicari marga masing-masing. Itu yang kuning itu sebenarnya satu rangkaian tapi bakal jadi rempong kala saya deret ke bawah, puanjanggg.. Kalau mau lebih jelas, silahkan datang ke lapo-lapo terdekat, biasanya ada TAROMBO yang bisa dilihat.

Ini mirip sebuah lagu: aku Batak, kamu juga Batak, kita Batak yang satu keluarga… *nyanyi mode on*

🙂

Asa Pada Sebuah Masa

“Gue tuh kadang iri sama lu, Win,” ujar Vienna sembari membenahi posisi duduknya. Matanya masih menerawang ke gate 3 yang belum juga menampilkan tulisan Y6-584.

“Kenapa?” tanya Windy, sambil tetap asyik pada tablet yang dipegangnya.

“Lu sama Hotman itu udah beda agama, beda suku, bisa-bisanya nikah. Lha gue?”

“Hahaha, udah gue duga. Pasti iri hati lu nggak jauh-jauh dari itu.”

“Ya iyalah. Apa lagi yang bisa gue iriin ke lu.”

“Dasar. Udah ngiri, songong juga.”

“Hahaha, ya begitulah Win. Hidup ini kadang abstrak. Giliran ada yang seiman dan sesuku, eh tukang tipu, nikung gue gitu. Giliran ada yang baik, perhatian, sabar, dan lainnya yang baik-baik, plus seiman juga, eh beda suku. Gagal maning, gagal maning.”

“Gue nggak ngerti kondisi sebenarnya, Vi. Tapi gini, lu pernah bilang kalau keluarga lu bahagia, otomatis lu juga bahagia. Right?”

“Betul sekali.”

“Lu juga kerja kayak begini, proyek ke proyek, buat bahagiain keluarga lu kan?”

“Betul juga. Kenapa sih?”

“Kalau lu mengeluh kayak barusan tadi, lu pake standar ganda dong. Kalau keluarga lu udah bilang harus seiman dan sesuku, brarti cuma syarat itu yang bikin mereka bahagia. Otomatis, cuma syarat itu yang harusnya bikin lu bahagia. Iya kan?”

Pandangan Vienna menerawang jauh ke landasan, sebuah pesawat berwarna putih dengan nuansa biru tua tampak mendarat. Ah, berarti tak lama lagi ia akan meninggalkan ruang tunggu ini.

“Iya kali, Win. Ah, entah. Bingung saya.”

“Kalau bingung pegangan, Vi. Susah bener.”

sumber: 143loveu.blogspot.com

* * *

“Lu pulang ama sapa, Vi? Bareng gue?” tanya Windy sambil menarik dan mendorong troli, sebuah aktivitas biasa kala menanti conveyor bagasi bergerak.

“Dijemput.”

“Ada gitu cowok yang jemput lu?”

“Sial. Ada lah.”

“Hmm, bentar-bentar.. Gue tebak. Paling juga Juna. Iya kan?”

Vienna terdiam, matanya sibuk memandangi BB yang nongkrong manis di tangannya.

“Iya kan, Vi? Hayo. Kapan coba gue salah nebak? Haha..”

“Iya.. Iya.. Juna yang jemput.”

Windy memiringkan badannya ke arah Vienna sambil setengah berbisik, “Emang lu masih sama dia?”

“Nggak lah. Begitu Mama bilang nggak boleh, ya langsung gue putusin.”

“Anak baik.”

“Baik apa coba?”

“Ya itu patuh pada orang tua. Hmmm, cuma kok begini ya?”

“Begini kenapa sih, Win?”

“Ya, lu pulang dinas begini, yang jemput Juna juga. Ehm, jangan-jangan lu masih berharap sama hubungan lu dengan Juna ya?”

“Entahlah. Gue sendiri juga bingung.”

“Windy Kepowati terpaksa beraksi nih. Dalam terawangan kepo gue, lu pasti masih membayangkan bakal nikah sama Juna, punya anak, terus sampai kakek-nenek bersama. Iya kan?” berondong Windy dengan kencangnya.

“Iyaaaaaa…”

“Vi, gue bilang nih ya. Gimana caranya lu mau menjadikannya masa lalu, kalau lu aja masih membayangkan masa depan sama Juna?”

“Tapi gue nggak bisa, Win.”

“Terserah sih, gue bilang tadi. Standar kebahagiaan lu jangan ganda. Pilih salah satu. Kalau nggak, lu bakal terjebak. Mau bikin bahagia diri sendiri apa keluarga lu. Percaya ama gue. Gue sama Hotman juga nggak mudah kali, Vi. Mana ada cerita beda agama, beda suku, diizinkan dengan begitu mudah?”

“Ya. Eh, itu tas lu udah nongol.”

sumber: beaut.ie

Windy dan Vienna sibuk mengangkat tas-tas besar mereka yang dibawa dari Padang tadi. Keduanya bekerja di lembaga yang menjadi rekanan proyek pemerintah. Jadilah, mereka lari-lari dari satu kota ke kota lain untuk meninjau lokasi, memberi konsultansi, hingga membuatkan rekomendasi terkait proyek yang hendak dilakoni. Sebuah pekerjaan yang menguras energi pastinya.

“Tuh, suami lu udah nangkring. Udah dari dua abad yang lalu kayaknya,” kata Vienna sambil menunjuk sosok bertopi di pintu kedatangan.

“Arjuna lu mana, Vi?”

“Entah.”

Keduanya mendorong troli hingga ke area luar kedatangan. Hotman menyambut istri tercintanya dengan pelukan hangat. Vienna mendadak dingin, seandainya ada yang berlaku demikian padanya.

“Pulang sama siapa, Vi?” tanya Hotman dengan ramah.

“Dijemput Arjuna-nya, sayang,” kata Windy menjawab pertanyaan suaminya sendiri.

“Lho, Juna mana?”

Vienna masih terdiam. BB-nya masih sunyi dari tadi. Pesan “Aku udah sampe” yang dikirimnya via Whatsapp masih berupa 1 centang hijau, dan kini ia ada di area terbuka lebar. Termasuk terbuka lebar untuk didekati orang dan ditanya, “Taksi? Mau kemana? Sama saya saja.”

“Nggak tahu nih,” jawab Vienna lemas.

“Ya ditelpon lah, Vi. Kayak orang susah aja,” ujar Windy.

Windy tentu tahu kalau soal pulsa, Vienna pasti punya banyak. Vienna hanya tidak ingin menelepon Juna, tapi anehnya tetap mengiyakan tawaran jemputan dari Juna. Bahwa satu-satunya obstruksi manis terhadap logika di dunia ini memang cinta.

“Gue tungguin aja deh. Kalau mau pulang nggak apa-apa. Duluan aja. Gue mampir ke A&W dulu. Laper cuy.”

“Oke deh, beneran ya, Vi? Gue tinggal?”

“Iya. Udah sana, silahkan honeymoon. Minggu depan kita berangkat ke Gunungsitoli loh.”

“Iya neh. Kapan gue jadi istri yang bener yak?” kata Windy sambil garuk-garuk, disambut senyum simpul Hotman.

Windy dan Hotman kemudian berjalan ke arah parkiran, sementara Vienna melajukan trolinya ke arah A&W. Mungkin rootbeer bisa sedikit membantu perasaannya yang mendadak aneh semenjak Mama menolak hubungannya dengan Juna.

Vienna terjebak dalam logika kebahagiaan yang aneh. Sejak lama, setiap kali melihat orang tuanya bahagia, Vienna otomatis merasa bahagia. Kini, orang tuanya tidak setuju pada hubungannya dengan Arjuna, padahal Vienna merasa bahagia bersamanya. Lantas apa makna kebahagiaan kalau begini?

Handphone Vienna bergetar. Sebuah pesan Whatsapp.

Dimana?

A&W. Km dmna?

Oh. Oke. Aku ksana.

Vienna meletakkan handphone-nya dan kemudian asyik dengan fish fillet plus root beer yang ada di depan matanya.

“Hey, cantik. Udah lama?”

“Udah dua minggu. Telat kamu.”

“Eh, kamu telat dua minggu?”

“Heh?”

“Lha katanya, telat. Dua minggu. Jangan-jangan kamu…”

“Udah ah. Geje kamu.”

“Hahaha.. Sorry telat, Vi. Maklum, baru bisa nyetir. Jadi pelan-pelan.”

“Kamu bawa mobil, Jun? Emang punya mobil?”

“Makanya, kalau aku whatsapp itu diladeni. Ini dicuekin melulu. Tiga bulan habis kita putus, banyak hal terjadi, Vi. Hmm, dan entahlah, kata banyak orang ini kesuksesan. Tapi buat aku, ini baru dibilang sukses kalau bisa membawaku balik lagi sama kamu.”

“Apa coba? Geje nih.”

“Jiah, masih aja dibilang geje.”

“Kan kamu geje keturunan.”

“Halah, aku geje juga sejak dekat kamu.”

“Oh, saia induktor geje memang. Siapa yang dekat-dekat, maka bakat geje-nya akan keluar.”

“Heleh. Obrolan apa nih? Nggak jelas. Tapi, ehm, I really miss this conversation. Kamu, Vi?”

“Ya, kadang. Tapi udahlah. Nggak penting juga to?”

“Huuu, jadi nggak boleh berharap nih?”

“Berharap boleh, tapi yang realistis sajalah.”

“Ya, baiklah. Ngomong-ngomong, ini aku boleh duduk nggak nih?”

“Yang nyuruh berdiri dari tadi siapa?”

* * *

“Win, nih,” bisik Vienna sambil mendatangi kubikel Windy dan menyerahkan sebuah bungkusan.

“Apaan?”

“Kira-kira apa?”

Windy dengan bakat kepo-nya tidak bisa menahan diri untuk membuka bungkusan yang diberikan Vienna. Dan matanya mendadak mendelik melihat isinya.

sumber: jamesarekion.blogspot.com

Are you sure?

“Ini undangan mahal, Neng. Kalau gue nggak sure, nggak mungkin gue cetak. Pake nanya.”

“Tapi, bagaimana bisa?”

* * *

Ibukota memang paralel dengan macet dan tentunya paralel dengan ongkos. Tapi Vienna nggak pernah resah meski argo di taksi burung biru itu sudah menunjuk bilangan enam digit. Ia pakai voucher taksi, dan itu urusan kantor. Bagi Vienna, yang penting dia bisa pulang ke rumah dengan tenang. Ongkos ini tentunya setimpal dengan yang dia berikan untuk tempat kerjanya.

“Depan kiri, Pak. Yang cat hijau.”

“Ya, Mbak.”

Vienna turun dari taksi dan berjalan menuju gerbang rumahnya, sebelum kemudian langkahnya terhenti pada sebuah mobil yang terparkir manis di depan rumahnya.

Mobil yang sama dengan yang mengantarnya pulang dua minggu yang lalu. Mobil milik Arjuna.

“Ngapain Juna kesini?” gumam Vienna, setengah geram, tapi separuh senang.

Vienna kemudian berjalan perlahan ke dalam rumah, dan berhenti di pintu yang terbuka, tercekat disana, urung untuk masuk.

sumber: photocase.com

“Jadi Tante, saya mungkin memang nggak satu suku dengan keluarga Tante. Dan mungkin Tante nggak bisa terima kalau anak Tante berhubungan dengan saya.” Suara dari dalam terdengar sangat familiar, ah, siapa lagi, pasti Juna.

“Dasar nekat,” gerutu Vienna.

“Tapi, saya mencintai Vienna.”

“Apa cinta itu cukup?”

“Mama? Waduh, Juna nekat bener, sumpah,” gumam Vienna lagi.

“Buat saya cukup, Tante. Tiga bulan yang lalu waktu Vienna memutuskan berpisah dengan saya karena katanya Tante nggak setuju dengan hubungan kami, saya berpikir tentang banyak hal. Saya pikir, Tante pasti akan bisa menerima saya kalau saya ‘sukses’, apapun suku saya,” beber Juna sambil kedua tangannya membentuk tanda kutip.

“Maksudnya?”

“Tiga bulan itu saya berusaha lebih, Tante. Saya nggak tahu arti sukses, tapi saya mengartikan sukses itu jika bisa bersatu kembali dengan Vienna. Harta memang bukan yang utama, tapi dengan harapan bisa kembali pada Vienna, saya bisa beli rumah dan mobil. Ya, walaupun kecil-kecilan.”

“Hidup kan bukan hanya soal harta. Memangnya kamu ngapain kok tiga bulan bisa begitu?”

“Entah kebetulan atau tidak, naskah-naskah saya yang masuk ke penerbit diterima. Umumnya sih naskah novel, Tante. Dan kebanyakan terinspirasi dari hubungan saya dengan Vienna. Entah kebetulan atau tidak juga, buku-buku itu laku. Saya juga sudah dapat tawaran untuk mem-film-kan buku itu.”

“Lalu?”

“Saya juga tetap bekerja, Tante. Entah kebetulan atau tidak juga, saya dapat promosi, persis sesudah putus dari Vienna,” terang Juna, “Ya satu hal yang nggak bisa saya penuhi, saya memang nggak satu suku dengan Tante dan keluarga.”

“Gila! Bocah nekat,” gumam Vienna yang mencermati pembicaraan ‘orang dewasa’ itu dari luar.

“Jadi bagaimana, Tante? Bisakah saya kembali mencintai Vienna?”

Vienna makin terperangah mendengar suara dari dalam. Dia sudah hendak melangkah ke dalam dan membungkam mulut pria itu, sebelum kemudian mendengar Mama-nya bicara.

“Buktikan sama Tante. Jangan sekali-kali kamu buat Vienna sedih.”

“Siap, Tante. Terima kasih banyak.”

Vienna bingung dengan maksud pernyataan yang barusan dia dengar. Langkahnya tak tertahankan lagi untuk masuk.

“Permisi…”

“Vi?” tanya Juna dengan wajah serba salah. Vienna selalu mewanti-wanti Juna untuk tidak datang ke rumah.

* * *

“Silahkan kalian saling berjabatan tangan kanan dan menyatakan kesepaktan kalian di hadapan Allah dan GerejaNya.”

sumber: photo.net

“Saya, Arjuna Abhiseka, memilih engkau Vienna Nilamsari menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”

“Saya, Vienna Nilamsari, memilih engkau Arjuna Abhiseka, menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”

“Semoga Tuhan memperteguh janji yang sudah kalian nyatakan dan berkenan melimpahkan berkatNya kepada kalian berdua. Yang telah dipersatukan Allah…”

“Janganlah diceraikan manusia.”

* * *

“Selamat ya, sayang,” seru Windy dengan sumringah ketika menyalami Vienna dan Juna di pelaminan.

“Makasih ya.”

“Jadi ternyata benar dia masa depan lu ya?” bisik Windy sambil memeluk Vienna.

“Yup. Selalu ada asa untuk setiap masa, Win. Dan yang di sebelah ini, asa gue untuk masa depan. Thanks a lot ya.”

“Nikmati indahnya, Vi.”

“Heh, udah, yang antri banyak nih. Ntar di kantor aja pelukan lagi,” goda Hotman yang disambut gelak tawa Juna.

🙂