Di sela-sela gatalnya tangan ini untuk membuat posting tentang Menteri PAN-RB yang baru, saya terus mencoba untuk menahan diri sampai batas waktu tertentu Bapak itu tidak sekadar bikin Surat Edaran. Untunglah masih tahan. Entah berhubungan atau tidak, keengganan logika saya untuk ngepost tentang bapak itu, justru mengarahkan saya kepada bapak yang lain. Seseorang yang sejatinya juga tidak dekat-dekat amat, tapi punya peran besar dalam hidup rohani saya.
Faktanya, saya adalah umat pada umumnya. Bahkan saking umumnya, saya tidak punya niat sedikitpun untuk sekadar ikut di lingkungan. Enam bulan pertama karena saya dicuekin pacar. Tiga bulan berikutnya karena pacar yang mencuekin saya berbulan-bulan itu kemudian bekerja di kota yang sama dengan saya, dan tinggalnya hanya beda gang. Tiga bulan berikutnya karena saya habis putus. Pas pokoknya. Makanya, keheningan saya di lingkungan terjadi setahun lamanya sampai kemudian muncul niat dari saya untuk berkenalan dengan orang-orang seagama yang ada di sekitar kos-kosan di Kedasih. Pada suatu malam yang gelap, saya dan Agung kemudian bertemu ke rumah Pak Dodi, ketua lingkungan. Ya, sudah, sebatas itu saja.
Beberapa pekan kemudian saya dan Agung diperkenalkan oleh Pak Dodi dengan seorang bapak yang tampaknya sudah tua. Kami salaman dan kemudian tahu bahwa nama beliau adalah Pak Anton, pemilik kos-kosan besar yang tidak jauh dari kosan saya. Namanya orang tua, pasti cerita banyak, termasuk cerita tentang dirinya yang sudah hampir 70 tahun tapi masih saja dapat tugas kalau ada ibadah. Dalam 10 menit, diulang 2 kali. Khas orang tua.
Masih sampai disitu saja.
Tidak lama kemudian, saya pergi jajan ke Indomaret karena saya ingin diberi sapaan, “Selamat malam”. Waktu itu jomlo menahun soalnya. Sepulang dari jajan, saya memasukkan si BG, lalu berjalan ke kamar, dan Agung mencegat dari depan kamarnya. Menceritakan sebuah kronologi peristiwa yang sejatinya tidak masuk akal bagi saya.
Dikisahkan bahwa Pak Anton datang ke kosan, hendak mencari saya dan Agung. Cuma karena saya sedang ingin disapa, jadinya cuma ketemu sama Agung. Pak Anton bercerita bahwa pelatih koor lingkungan yang namanya Pak Dion pindah rumah, otomatis pindah lingkungan. Bukan apa-apa, ini Kabupaten Bekasi, pindah rumah itu ibarat jarak dari Saturnus ke Uranus. Nah, untuk menggantikan Pak Dion, Pak Anton lalu membujuk kami–atas nama Agung–dan saya mahfum kalau Agung tidak punya pilihan untuk menolak. Jadilah, saya dan Agung menjelma jadi Aliando pelatih koor.
Menjadi pelatih koor bagi orang-orang yang tidak saya kenal sebelumnya, ini berat saudara-saudari. Bahkan lebih berat daripada perut PNS yang dipaksa makan singkong setiap hari. Saya datang, suruh-suruh orang baca not sementara saya sendiri sudah puluhan abad tidak baca teks lagu. Suruh-suruh orang nyanyi bener, sementara saya bernapas saja kadang pakai mol. Bersama-sama dan kadang-kadang digantikan oleh Agung, kami jadi pelatih koor.
September 2012, hari Sabtu, adalah debutnya. Persis pada hari yang sama ketika saya tes kompetensi dasar Badan POM di GOR Senen–yang mana kemudian daripada itu saya gagal lolos. Debut yang tidak gemilang pun tidak buruk, dan sejak itu kami diresmikan jadi pelatih koor. Dengan pernyataan dahsyat dari Pak Anton, “Kalian bisa kan? Kalau bisa, nanti saya laporkan!”
Maksudnya, sih, lapor ke ketua lingkungan supaya dijadikan pengurus. Tapi nada ngomongnya kayak mau mengadukan saya ke Propam. Beberapa waktu kemudian saya paham karena ternyata Pak Anton ini adalah mantan tentara, yang dengan kekuatan cintanya melakukan tindakan yang melawan logika hidup. Bertemu istri tercinta di kesatuan, karena ada halangan, mereka berdua keluar lalu memulai hidup baru di sebuah tempat yang waktu itu jin saja mikir-mikir kalau mau buang anak, bergabung di sebuah perusahaan yang produknya pasti ada di kamar mandi kamu.
Satu lagi, keduanya beda agama dan pernikahan mereka berjalan di agama masing-masing.
Sekali lagi, kami tidak cukup dekat, tapi dalam latihan-latihan menjelang tugas atau pertemuan-pertemuan lingkungan, beliau suka berkisah macam-macam. Mulai dari kisah anak kosannya yang kebetulan sekantor sama saya, soal ibu, soal lingkungan, soal banyak hal. Beliau berkisah sambil merokok, dan saya terpaksa betah. Saya selalu salut pada orang-orang tua yang betah merokok. Kok kuat ya? Dan kalau melihat orang tua merokok, saya ingat dengan Mbah di kampung yang masih saudara saya. Ketika Mbah saya meninggal, dan berkelanjutan dengan saudara-saudara lainnya mulai dari yang tidak merokok atau eks perokok juga secara biologis meninggal, ada seorang Mbah yang dengan kekuatan luar biasanya tetap sehat dan tetap ngebul. Saya menjulukinya The Immortal.
Pak Anton yang membantu saya mencairkan suasana dengan orang-orang lingkungan yang harus mematuhi manusia-entah-darimana yang ada di depan, memberikan teks lagu, dan meminta mereka bernyanyi. Saya, Agung, dan lalu Bayu, kemudian menjelma menjadi trio maut pelatih koor lingkungan Theresia.
Suatu hari, beberapa waktu sebelum tanggal 22 Juni, berkebetulan saya berhalangan memimpin tugas koor lingkungan karena saya sedang dalam perjalanan habis konser di Jogja. Pas pula Pak Anton ada di Jogja karena merawat ibunya yang sudah renta. Saya disuruh mengambil STNK di istrinya, lalu membawa STNK itu ke Jogja. Ya, perjalanan membawa STNK–dan sekaligus berangkat konser–itu menjadi perjalanan terpanjang saya, 18 jam. Begitu sampai Jogja saya langsung lari-lari ke panggung, begitu di panggung saya lari-lari keluar karena Pak Anton sudah ada di gedung konser untuk menanti STNK-nya. Saya kemudian juga lari-lari ke dalam lagi karena saya sudah ketinggalan separuh hari.
Well, begitulah alur nasib. Tidak lama sesudah itu–tepatnya beberapa waktu sesudah lebaran–Ibunda beliau meninggal. Tidak lama, beliau balik ke Cikarang dan tampaknya kesehatannya menurun hingga akhirnya dalam sebuah perjalanan arisan keluarga, berakhir dengan opname sesaat di rumah sakit. Sesaat karena katanya Pak Anton minta pulang. Malamnya, seharusnya kami melatih koor. Dan tidak saya duga bahwa tidak akan ada lagi latihan koor bersama Pak Anton.
Kurang lebih sepekan itu lantas menjadi penting, karena tidak lama beliau kritis. Saya sendiri sempat ngobrol banyak dengan istrinya saat di RS Harapan Keluarga. Dasarnya dulunya tentara, ngomongnya lepas banget dan bebas tangisan atau bahkan gurat kegalauan sedikitpun. Sayapun sempat mengintip di ICU, Pak Anton menempel dengan segala kabel yang ada di sekitarnya.
Dan sampai disitulah, karena–kalau tidak salah–dua hari kemudian beliau sudah dipanggil Tuhan. Yang terbayang oleh saya bukan mendoakan beliau, tapi bagaimana caranya memanggil ibu-ibu untuk latihan koor kalau tidak ada Pak Anton? Beliau ini mengampiri dan menelepon satu-satu anggota yang belum nongol. Saya? Bahkan nama anggota saya saja tiada hapal.
Bukan sebuah profil bapak-bapak perokok yang menikah beda agama yang saya lihat dari beliau. Satu-satunya yang saya lihat adalah kemauan beliau untuk tetap terlibat dalam lingkungan, termasuk mengintervensi sampai mencari anak muda yang mau melatih koor. Bukan cuma itu, ketika Riyan kami ajak untuk sekali ikutan pengakuan dosa, dia kena todong Pak Anton kenapa nggak bergabung dengan Trio Libels pelatih koor Theresia. Sampai segitunya. Terlepas dari istrinya yang beda agama, totalitasnya pada lingkungan itu sudah memperlihatkan jatidiri keinginannya untuk memberikan diri kepada Tuhan lewat cara-cara yang antik itu, termasuk menunggui Bu Emil keluar rumah sebelum berangkat latihan koor ke rumah Pak Anang. Oh, bahkan termasuk menunggui kami di depan pintu kosan. Super. Super menyebalkan–versi on the spot. Super mengagumkan, jika ditelaah kemudian.
Ya, hampir setahun saya melepaskan diri dari Theresia dan disini saya belum menemukan naungan baru. Terkadang saya rindu beraktivitas semacam itu, walau terkadang melelahkan. Dan begitulah, almarhum Pak Anton adalah salah satu sebab saya bisa terjun sebegitu dalam pada sebuah pelayanan lingkungan. Semoga beliau berbahagia disana ๐
jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain, jgn hnaya tinggalkan kenangna, tingglkanlah kebaikan yang akan dikenang orang lain selamanya
LikeLike
Pak Anton Kasiadi (alm) emang top markotop, daya rangkulnya menembus segala usia. Beliaulah bukti bahwa “Tuhan menyapa setiap manusia…” ๐
LikeLike