Ada satu masa saya gagal paham apa beda bruder dan pastor. Sampai kemudian, pada 1997 saya bertemu dengan adik mbah saya, seorang bruder. Beliau ini yang membawa pakde saya, menjadi seorang romo. Ceritanya katanya begitu.
Dan barusan saya dikasih tahu bapak, kalau bruder sudah meninggal.
Bagaimanapun kalau ada saudara meninggal, pasti ada rasa sedih.
Faktanya memang, mbah bruder sudah gaek. Dan terbiasa merokok entah dari kapan. Pun dilanjut meski sudah operasi jantung. Rokoknya Minak Djinggo pulak.
Tetap sedih.
Jujur saya nggak connect kalau ngobrol sama bruder, karena kadang pertanyaannya diulang-ulang dan ya semacam cucu dengan mbah-nya. Sesimpel itu saja.
Tapi satu hal yang menarik dari statement bruder ini, “nggak usah neko-neko buat tanda salib di tempat umum.”
Yang ngomong bruder loh ini!
Dalam hati, ada benarnya juga. Sebagai minoritas kadang kita nggak perlu menunjukkan sisi itu. Mestinya dari perbuatan dan karya, kita bisa menunjukkan ke-Katolik-an. Isn’t it?
Selamat Jalan Mbah Bruder Justinus Samidi, OSC. Salam ya buat Mbah Kakung disana.
Rest In Peace 🙂