Bolat

Jam 3 pagi, seisi bus sudah ngorok semua. Malah ada yang sampai mengalahkan suara desir AC. Mungkin sebelum berangkat tadi, bapak yang di belakang sono makan mikrofon. Abis ngoroknya kenceng banget.

Yana sebenarnya masih hendak terkantuk-kantuk. Sejak Jakarta, dia cuma tidur dari Cikarang ke Cikampek. Begitu Cikampek sampai Weleri matanya terang benderang. Meskipun dia sudah menarik selimut dan berusaha menutup mata, yang ada malah bayangan mesum. Huyyy, ngelamun jorok tidak diperkenankan dilakukan di atas bus. Dampak tidak ditanggung.

Dan sekarang Yana ngantuk pakai banget alias ngantuk banget. Dia ngantuk pada saat yang tepat, di jalan tol Semarang. Tepat sekali karena di ujung tol ini, Yana akan turun. Jadi tepat kan? Tepat ketika Yana turun, maka dia akan tertidur pulas di pinggir trotoar. Ingat, ini jam 3 pagi.

Takut akan terlelap di trotoar atau kebablasan, Yana menguat-nguatkan matanya. Mulai dari mengoles balsem, sampai dengan makan balsem. Harap dimaklumi, dia hanya punya balsem. Ehm, sebenarnya ada dua, balsem dan cinta. Yak betul, Yana hanya punya dua itu.

Tol yang baru tapi semacam tidak baru itu sudah mendekati ujung, Yana berdiri dan beranjak maju ke depan. Ya iyalah, mana ada maju ke belakang?

Bus keluar pintu tol, tak jauh dari situ, ada swalayan ADA. Ya memang ADA swalayan kok, beneran deh. Ini memang ADA, jadi nggak mengada-ada.

Di seberang swalayan itu, Yana turun.

Ini jam 3 pagi dan Semarang baru mulai menyalakan hidupnya. Aktivitas manusia menuju pasar di daerah Banyumanik mulai bergerak. Lampu-lampu menyala terang.

Masalah besar hari ini bagi Yana, hotelnya dimana yak?

Yana ini macam hendak backpacker, jadi dia sudah cari referensi macem-macem dan memilih hotel di Jalan Setiabudi. Nah, menurut googlemap dan tanya-tanya loket bus, pilihan paling oke adalah turun di ADA. Ya itu tadi, beneran ADA ini swalayannya.

Smartphone-nya lantas keluar dari sarangnya. Agak beresiko sih mengeluarkan benda yang dibeli pakai uang ikutan arisan ibu-ibu tetangga, di malam yang sesunyi ini. Padahal kan Yana sendiri, tiada yang menemani. Akhirnya Yana sadar bahwa barusan ini mirip lagu ‘Kisah Cintaku’.

Bateraipun tinggal setengah, dan Yana melupakan kebutuhan primer nomor 4 sesudah sandang, pangan, dan papan, yakni charger. Apalagi, menyalakan GPS sama saja dengan membunuh smartphone-nya lebih cepat karena pemakaian daya karena GPS sungguh sangat mempersona.

Mau tidak mau GPS dinyalakan.

2 km.
Sebuah profil yang cukup nanggung. Ya di pagi buta belum subuh, Yana harus berjalan 2 kilometer atau diam di tempat sampai ada kendaraan pengangkut. Mungkin bisa serupa truk sayur. Sungguh indah menumpang truk sayur lalu check in di hotel. Tampak bahwa ironi kehidupan itu bisa muncul pada saat yang sama.

Mengingat itu tadi, Yana hanya punya balsem dan cinta, maka dia memilih untuk berjalan kaki saja. Toh, kalau pegal, kan ada balsem. Apa susahnya?

Yana berjalan menyusuri jalan di depan ADA, terus ke utara. Gelap masih mendominasi, maklum, subuh saja belum. Yana asyik melihat bintang-bintang bercengkrama di langit, tikus-tikus berkelana dari got ke got, dan coro-coro menikmati hidup kotornya. Tentunya tetap waspada. Baik waspada kemalingan hingga waspada disangka maling. Jaket hitam, celana hitam, baju hitam, tas besar yang juga hitam plus kulit hitam tentu identik dengan maling. Mana ini jam belum subuh pula. Ngapain ada pria yang sepenuhnya hitam jalan-jalan sebelum subuh? Lebih banyak logika pembenaran bahwa Yana maling alih-alih calon menginap di hotel.

Jalannya perlahan sekali sambil menikmati dan memotret jejak-jejak malam, sehingga 1 jam hanya dapat beberapa ratus meter. Persis ketika keramaian mulai tampak, Yana mendapati penampakan lain.

“Semacam Rida..,” gumam Yana, “kenapa bisa nongol disini?”

Yana tercekat, lamunannya melayang ke masa lima tahun silam. Ehm, maksudnya, dari lima tahun yang lalu sampai beberapa waktu silam. Sebuah durasi panjang Yana untuk menjalani ketololan terbesar dalam hidup, mencintai tanpa tendensi memiliki. Dan Rida adalah gadis yang dicintainya itu.

Logika Yana mulai berjalan, berlompatan satu persatu. Di suasana pagi buta dan kantuk, namanya lamunan bisa tampak realistis, atau kalau tidak ya ini makhluk semacam jadi-jadian. Siapa yang tahu?

Batin Yana masih menolak fakta bahwa gadis yang sedang lari pagi itu adalah Rida. Nggak mungkin, katanya begitu.

Tapi fisik Yana tak peduli sama perintah otak. Soalnya, hati kali ini menang. Dia menggerakkan tubuh Yana kencang, setengah berlari, separuh melompat, dan sesekali berputar. Macam balet saja.

Pertama, pastikan dulu ini manusia. Yana mengamati langkah demi langkah gadis yang lari pagi dan yakin bahwa itu beneran manusia.

Kedua, pastikan orangnya benar. Nah ini susah. Manusia itu ada-ada aja. Dia pernah ngawur menyapa orang gara-gara mirip, Yana kenal di Bogor, nyapa orang di Palembang. Hemmmm..

Yana lantas mengejar perlahan, mengamati detail gadis pelari pagi itu. Matahari masih mengintip malu-malu sehingga tahi lalat di pipi kanan yang menjadi identitas Rida, tidak kelihatan. Sayang ya, coba tahi lalat itu bisa berflourensensi, kan jelas bercahaya.

Maka tidak akan ada orang yang berani ronda kalau begitu.

Tidak ketemu cara, Yana akhirnya nekat.

“Ridaaa…” setengah berteriak, Yana memanggil gadis pelari pagi. Kalau stop berarti bener, kalau lanjut berarti bukan. Beres.

Gadis pelari pagi tidak berhenti, masih lanjut saja.

“Oh, bukan.. hehehe..” gumam Yana sambil memuluk jidatnya.

Posisi orang mukul jidat itu biasanya melihat ke bawah, Yana juga demikian. Sambil senyum-senyum macam orang gila, pun dengan Yana. Sampai dia nggak lihat di depannya ada orang.

“Yana?” suara lembut manis yang Yana sangat hafal nada dasarnya.

Yana mengangkat pandangannya, lurus, dan ada gadis pelari pagi. Hemmm..

“Rida?”

“Ngapain nyasar kesini Yan?”

“Biasa.. Bolang, bocah ilang.. Lha ini ada gadis cantik lari pagi-pagi, maksudnya apa?”

“Nggak lihat nih kentongan maling. Uda kayak kakinya SNSD,” ujar Rida sambil memperlihatkan lengannya.

“Hahahaha.. perut pasti menyesuaikan..”

“Dasarrrrr…”

“Emang sekarang disini ya?”

“Iya, itu di seberang masuk dikit belok kiri. Masih buruh gitulah..”

“Sama kali.. Sesama kaum buruh..”

Nostalgia cinta tanpa tendensi memiliki itu pahit. Yana masih memandang dengan kekaguman yang besar dan dengan jarak yang jauh untuk dapat memiliki keindahan di depan matanya. Termasuk kentongan maling itu tadi, pasti itu kentongan terindah yang pernah ada di dunia.

Obrolan merangsek jauh. Macam Barcelona memainkan tiki taka, maka bola dan obrolannya sudah kemana-mana.

“Jadinya, sama yang itu nggak?” tanya Rida.

“Hahaha.. Bubarrr.. Bubar jajan..”

“Kok bisa?”

“Ya bisa, kan pelik pakai K.”

“Huuu.. Saru… Trus single dong Yan?”

“Ya begitulah. Kenyataan kadang pahit. Lha kamu?”

“Ya beginilah..”

“Jiahh.. tiru-tiru..”

“Hehehe.. Masih kayak biasa.”

“Pasti isu lawas. Kamu pasti terlalu memilih. Nggak berubah dari jaman batu non?”

“Dari jaman kuda gigit besi sampai besi gigit kuda. That’s me Yana..”

“Ya, ya.. bisa dipahami. Aku kan sangat paham kamu Rid. Apa sih yang aku nggak tahu soal kamu?”

“Lha itu tadi nanya?”

“Anggap saja retorika. Hehehe..”

Yana menikmati percakapan indah itu, sampai mentari menjelang naik. Kantung mata Yana sudah semacam Pak Bueye. Maklum, nggak bobok dari Cikampek sampai ke ADA.

Dan tiba-tiba, dalam obrolan sambil jalan itu, di sebuah mobil yang berhenti, Yana mendengar sebuah lagu.

“Kalau cinta ya bilang cinta
Kalau sayang bilang-bilang sayang
Jangan ditunda-tunda
Nanti diambil orang.”

Penta Boyz. Haishhh.. Kenapa nongol di saat semacam ini? Yana mendadak menggelegak hendak meledak. There is something to explode.

“Rid..”

“Hmm..”

“Kenapa kamu jatuh cinta?”

“Pada?”

“Ya, pada siapa aja..”

“Nggak tahu, kalau hatiku sreg, ya jatuh deh..”

“Pernah nggak jatuh cinta dari pendengaran pertama?”

“Apaan tuh Yan? Pandangan pertama kali..”

“Serius kali Rid, aku pernah jatuh cinta pada pendengaran pertama. Baru denger namanya, udah jatuh cinta. Klepek pokoknya,” urai Yana.

Rida tersenyum dan berkata, “Ada-ada aja.. Kapan? Dulu jaman SD?”

“Ya, beberapa waktu silam lah. Dan aku lengkapi dengan keindahan bercinta lho..”

“Apa lagi nih?”

“Jatuh cinta tanpa tendensi memiliki. Hehehe.. Seru kan?”

“Ngeri. Apaan cinta trus nggak memiliki?” protes Rida.

“Yah, sampai pada titik tertentu, itu indah Rid. Sampai pada titik tertentu lho..”

“Aku masih nggak paham. Agak absurd kamu Yan. Pasti gadisnya istimewa banget tuh..”

“Tentu. Mana ada orang berpikir dan merasa gitu kalau bukan untuk orang istimewa?”

“Sure.”

“Titik itu menjadi nggak indah, ketika tendensi memiliki itu nongol. Dari mana, dari hasil pengamatan bertahun-tahun pastinya. Jatuh cinta biasa, tapi kalau ketemu sifat dan sikap yang oke dan prinsipil, baru deh ada rasa ingin memiliki.”

“Misal?”

“Simple, Rid. Misal hobi ternyata sama. Visi hidup juga sama. Banyaklah. Kalau kamu?”

“Aku mah simpel Yan. Nggak kayak kamu. Aku mau memiliki yang aku cintai.”

“Sekarang pun aku begitu, Rid. Rasa itu udah nggak ketahan lagi.”

“Ungkapin dong. Keburu diembat orang.. Galau lagi ntar..”

“Hahaha.. Bisa aja. But, it’s serious. Bagaimana kalau orang yang aku kisahkan panjang lebar itu tadi adalah kamu?”

“Maksudnya, Yan?”

Bahwa wanita itu sukanya yang pasti-pasti aja, tapi nggak suka membuatnya pasti-pasti aja. Penyakit zaman kalau ini.

“Oke, diperjelas. Semuanya yang tadi, tentang cinta, memiliki, dan semuanya. Kamu gadis yang aku cinta sejak pertama kali mendengar namanya.”

Rida diam. Seribu satu bahasa. Seribunya diam, satunya helaan nafas.

“Hihihi.. Ngobrol pagi buta, aku malah jadi nembak orang deh..” Yana langsung garuk-garuk kepala. Kutu berserakan, coro juga. Itu rambut atau selokan?

“Sebenarnya masih sulit Yan. Sudah lebih dari setahun berjuang. Ampun-ampun dah.”

“It’s oke Rid. Aku tahu itu kok. Sesulit aku melupakanmu dan gagal. Hehe..”

“Hihihi.. Ya.. ya.. bisa dimengerti. Tapi apa kamu yakin Yan? Gimana kalau pandangan kamu selama ini tentang aku salah?”

“Heyyy Rid. Aku memantau kamu itu bukan sebulan dua bulan. Lima tahun lebih. Masak ya salah?”

“I’m deep, Yan.”

“Tentu saja. Supaya aku tahu, aku harus mencoba memilikimu dulu. Kan gitu biar tahu kamu sedalam apa. Paling juga kalah sama dalamnya cintaku padamu.”

“Malah gombal..”

“So?”

“Hmmm.. OK, let’s try. Kadang kita nggak tahu kalau nggak dicoba. Tapi, bantu aku meyakinkan jawaban ini ya..”

“Dengan senang hati tuan putriku. Aih, dari dulu aku pengen manggil kamu begini.”

“Hehehe.. Jadi kamu dulu sama si dia itu, sayang bener apa nggak?”

“Halah, malah diungkit. Bagaimana tuan putriku ini. Kan tadi aku udah bilang, aku cinta kamu tanpa tendensi memiliki. Jadinya aku nyari yang bisa dimiliki. Eh, kok ya ternyata hati ini nggak bisa dilawan. Bubar juga. Hehe..”

“Dasarrrrr…”

Semarang sudah terang. Percakapan panjang lebar di pagi hari. Aneh kalau orang lihat, bayangkan seonggok hitam yang macam maling dengan kantong mata macam Pak Bueye berjalan bersama gadis cantik dengan pose jogging. It’s about black and white. Macam Yin dan Yang, di dalam putih ada hitam, dan sebaliknya.

“Jadi aku ini bukan bolang lagi Rida,” kata Yana sambil menyambar tangan halus pacar barunya itu.

“Apaan dong?” tanya Rida sambil mengeratkan genggaman baru itu.

“Bolat. Bocah ilang mencari cinta. Hehehehe..”

“Ngawurrrr..”

Tawa lepas ke udara, sepasang keceriaan ikut menghangatkan pagi hari. Keceriaan yang bermula dan berakhir pada satu kata, cinta.

 

Advertisement