Mimpi Yang Tersisa

Binaka, sebuah bandara mini yang dikelilingi hutan. Macam inikah bandara? Ah, itu pertanyaanku dulu, waktu pertama kali menjejak di tempat ini. Dulu benar, ketika aku masih bekerja di tempat ini. Sebuah dulu yang memang sudah berlalu. Aku datang kembali ke tempat ini hanya hendak berwisata, bagaimanapun Pulau Nias ini indah.

Handphoneku yang setengah pintar berdering. Ya benar berdering, aku lupa menggantinya dengan nada dering yang lebih masa kini. Malas. Buat apa?

“Dimana pak?”

“Sedang nunggu bagasi.”

“Oke. Saya di luar, pakai Avanza hitam.”

“Sip.”

Dari pemilik mobil sewaan yang sudah kupesan dari beberapa hari yang lalu. Bandara ini lumayan jauh dari Kota Gunungsitoli. Meski ada angkutan on the spot, sebagai orang yang hendak berwisata, dan sebagai pemilik private time, lebih baik aku mengeluarkan uang lebih.

“Dari mana dik?” tegur seorang ibu dengan usia kutaksir di atas setengah abad.

“Jakarta bu. Ibu sendiri?”

“Sama kalau begitu. Langsung atau nginap dulu tadi?”

“Berangkat paling pagi bu, dari Jakarta.”

“Ohh.. Ini mau kemana dik?”

“Jalan-jalan bu. Hehe.. Ibu sendiri?”

“Mau tengok anak dik. Kerja disini.”

Ibu ini, sudah tidak cantik, tapi tampaknya dahulu cantik. Prediksi saja. Suaranya tidak mencerminkan orang Nias atau Batak sekalipun, halus sekali.

“Ke kota naik apa bu?” tanyaku.

“Paling naik itu mobil yang biasanya.”

“Ikut saya saja bu, saya sewa jemputan.”

“Tidak menyusahkan dik?”

“Nggak lah bu. Kota Gusit kan nggak gede-gede banget. Hehe.”

Aku dan ibu itu masih berdiri menunggu bagasi kami masing-masing. Maklum bandara kecil, metodenya juga masih sederhana. Dan tentunya, umpek-umpekan padat merayap tanpa harapan. Aku sendiri, karena dulu sudah biasa, memilih untuk mengambil jarak. Toh, pada akhirnya akan giliran kita juga.

Lima belas menit menanti, aku dan ibu itu mendapat gilirannya juga. Dua tas terakhir itu kemudian beralih kepada pemiliknya.

Mobil Avanza hitam sudah menanti di depan, sudah sepi parkirannya.

“Silahkan bu..” Aku mempersilahkan ibu yang tidak aku tahu namanya itu masuk duluan. Ini katanya harkat lelaki. Aku mengikuti masuk, dan mobil berjalan.

Perjalanan ini termasuk sepi. Apalagi untukku yang penat dengan hiruk pikuk Jakarta. Ada pohon tinggi di tepi jalan sudah membuatku shock, jangan-jangan ini pohon mau tumbang.

“Anaknya kerja dimana bu? Proyek ya?” Aku membuka pembicaraan.

“Iya dik. Kok tau?”

“Biasanya yang ke Nias kalau dari luar pulau, ya ngerjain proyek bu. Hehe. Dulu saya juga anak proyek.”

“Oh begitu. Memangnya adik lulusan apa?”

“Saya sastra sih bu.”

“Kok ngerjain proyek?”

“Hehe. Nggak apa-apa bu.”

“Kayaknya sekolahnya nggak sesuai cita-cita ya?”

Ups, jleb.. jleb.. jleb.

“Iya sih bu. Dulu mau jadi apoteker, tapi nggak kesampaian. Jadi daftar lagi. Nggak apa-apa, dari meracik obat jadi meracik kata-kata.”

“Dik.. dik.. sudah berkeluarga?”

“Calonnya aja nggak ada bu.” kilahku.

“Gebetan? Masak anak muda sukses, bisa plesir ke Nias, nggak ada bayangan kesitu.”

“Dalam bayangan bu.”

Ibu itu geleng-geleng sambil tersenyum simpul.

“Dik, dalam hidup ini ada 2 hal yang harus kita capai. Hidup kita hanya 24 jam sehari. Sebagian untuk apa?”

“Tidur sama kerja bu?”

“Sisanya?”

“Ya, sisanya bu. Macem-macem.”

“Sebagian kerja, kamu benar dik. Sebagian lagi yang masuk hidup kita ya orang yang akan bersama kita. Sepanjang hayat. Jodoh dik.”

Aku tertegun.

“Hidup yang indah itu kalau kita menjalani hidup sesuai mimpi kita dik. Maaf saya cerita ya. Saya dulu kerja di kantoran, tapi saya nggak nyaman dengan tembok-temboknya, sampai saya beranak dua dik. Hidup rasanya menderita sekali.”

“Ehm, maaf, lalu ibu keluar?”

“Sulit kalau sudah berkeluarga, sudah beranak dua apalagi. Untuk ada suami. Jadinya sebagian hidup saya masih tetap indah dik. Itulah, saya kalau ketemu anak muda, apalagi yang seperti adik ini, pasti akan ngomong hal yang sama.”

“Jadi maksudnya bu?” Aku garuk-garuk tanda tak mengerti.

“Kamu sudah terjun di bidang yang bukan mimpimu kan dik? Walaupun menikmati, pastilah tidak penuh. Nah, hidup ini singkat. Jangan sampai hidupmu musnah dari mimpi. Kalau yang pekerjaan sudah sirna, jodoh tadi itu, kejarlah, sampai dapat.”

Aku lagi-lagi tertegun.

“Ini kalau kamu mau hidup yang sebenarnya ya dik. Kadang kita harus realistis, tapi asal kamu tahu dik, realistis itu sejatinya tidaklah hidup. Hidup bergantung pada mimpi-mimpi kamu.”

Perjalanan mulai masuk ke kota Gunungsitoli. Dan aku masih tercenung nikmat.

“Iya ya bu.. Hehehe.. Baru sadar saja.. Ibu turun dimana?”

“Di Rumah Sakit saja. Anak saya tinggalnya dekat situ.”

Mobil Avanza hitam pun mulai menuju ke Rumah Sakit. Tidak banyak yang berubah, jalan-jalannya masih menantang maut disini. Maklum, bukit dan pantai bersatu, pastilah ada tikungan dan turunan.

Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah sakit. Ibu itu lantas turun.

“Makasih banyak ya dik. Jangan lupa mimpinya dikejar ya.” kata ibu itu seketika turun dari mobil sewaan ini.

“Makasih banyak juga bu. Salam buat anaknya.”

Pintu tertutup, perjalanan berlanjut ke Hotel tempatku menginap. Yang punya hotel adalah saudaranya yang punya mobil sewaan ini. Tak perlu kusebut, mobil ini memang akan mengarah kesana. Debur ombak terdengar sesekali karena jalan menuju hotel memang dekat dengan pantai.

Kukeluarkan handphoneku, jemarimu menyentuh beberapa kali sampai muncul sebuah foto. Seorang gadis dari masa lalu. yang selalu membayangi dan menjadi mimpiku, tapi tak pernah dekat denganku. Jemariku menyentuh kembali, sampai ke deretan kontak dan lantas pada sebuah nomor. Ehm, sebenarnya aku hafal sih nomor itu, tanpa perlu melihat ke kontak.

Dengan jemari bergetar, kugeser layar sentuh itu ke kanan, Call.

Tutttt.. Tutttt… Tutttt..

“Halo?”

Bahwa aku harus mengejar mimpiku yang ini, yang tersisa.

 

Advertisement