“Java chip, satu.”
Bara menyebut satu merk ternama di kedai kopi paling mentereng sedunia itu dengan lancar. Bukan karena hafal, tapi karena nyaris setiap kali mampir kesana, yang mana itu adalah satu semester sekali, Bara selalu memesan menu yang sama.
Kopi, ehm, okelah, it’s not exactly coffee, menu yang satu itu campuran berbagai macam benda yang menjelma menjadi Java Chip. Tapi buat Bara, itu tetaplah kopi. Dan kopi adalah teman kisah cinta diam-diamnya.
Kisah cinta diam-diam yang terlalu lama diam.
Jam setengah 6 sore. Bara duduk sendiri di sudut kedai kopi itu. Tangannya fasih mengaduk campuran kopi di hadapannya. Tampilan luar bisa menipu. Siapa yang tahu kalau jantungnya sedang memompa darah lebih kencang? Siapa yang tahu kalau di dalam perutnya seperti ada kupu-kupu yang terbang, sehingga rasanya geli minta ampun? Siapa yang tahu kalau dia sebenarnya hendak muntah?
Jangan salah, sesuatu yang diam-diam terlalu lama diam bisa menimbulkan gejala fisik semacam itu.
Kopi, bagi Bara, menjadi pengikat ke-diam-diam-annya. Ketika sebuah menu kopi sachet Carribean yang adalah menu wajibnya kala PKL ternyata disukai juga oleh Nola. Yup, inilah gadis yang di-diam-diam-kan terlalu lama itu. Tanpa pernah mengungkap, Bara paham benar kesukaan detail Nola. Termasuk kebetulan dari kopi sachet Carribean.
Kopi, bagi Bara, juga adalah sebuah janji yang tidak tercapai. Janji adalah hutang, itu versi Bara. Maka dia akan dengan senang hati berangkat ke kondangan-kondangan temannya yang jauh-jauh, semata-mata hendak menepati janji yang kadung terungkap. Kalaulah ada janji yang tak terwujud, tentulah yang satu ini.
“Enjoy coffee?”
“Pastinya.”
“Kapan-kapan aku curhat, sambil minum Caramel Machiato. Tak traktir deh.”
“Oke. Tak tunggu.”
Sebuah janji yang tiada bisa terwujud. Dan terus menggantung dalam kelamnya cinta diam-diam. Kelam, hitam, sedih yang sempurna.
Bara menyeruput kopinya perlahan, matanya melihat ke jendela. Sebuah siluet manis terhampar di depannya. Siluet manis bernama senja.
Yah, kopi dan senja adalah pemberian hidup yang istimewa. Kopi yang konon membuat kambing gembalaan di Ethiophia menari-nari gila, kopi yang konon pula membuat orang tahan di padang gurun, berpadu dengan senja yang bermakna ketenangan, berarti istirahat. Sebuah perpaduan inversi yang manis. Semanis cinta diam-diam. Ah, balik lagi kesana.
“Udah lama?”
Suara manis terdengar kalaBara menunduk menyeruput kopinya, sambil memainkan smartphone-nya.
“Nggak juga. Duduk gih..” ujar Bara sambil mempersilahkan pemilik suara manis itu duduk. Siapa dia? Nggak lain, Nola.
“Kapan dateng?”
“Tadi siang sih.. Keliling dulu, kan backpacker.”
“Backpacker ibukota?”
“Hahaha.. Ibu tiri mungkin.. Pulang kerja jam berapa tadi, La?”
“Biasa, setengah 3. Nggak ada job?”
“Esmud juga manusia, La. Butuh refreshing Hehehe…”
“Kan udah nggak esmud lagi, Bara..”
Obrolan yang tidak viskos. Untunglah. Padahal Bara sudah berpikiran yang tidak-tidak. Berbagai aroma negatif sudah membayanginya dari tadi. Bawaan sifat dasar yang katanya terjadi karena waktu ibunya hamil Bara, kondisi keuangan keluarga sedang morat-marit sehingga ibu sering murung di rumah. Semacam menyesal menikah.
Jadi, wahai ibu hamil, selalu bersenang-senanglah, agar anak anda jadi ceria, jangan macam si Bara ini.
“Udah baca bukunya?” tanya Bara.
“Udah. Slow banget yak..,” jawab Nola.
“Yah, namanya juga kisah galau. Memang kurang meledak-ledak. Targetnya sih bikin pembaca gemes,” urai Bara dengan bersemangat. Bagi penulis yang mencari jatidiri sepertinya, pembaca adalah harta yang paling berharga.
Bara adalah penulis nekat. Dia meninggalkan posisinya di sebuah perusahaan terkemuka hanya untuk mengejar cita-citanya sebagai penulis. Dimulai dari sebuah buku tentang benda mati, dan dilanjutkan dengan buku kisah cinta diam-diamnya. Semuanya kisah nyata dan untunglah berhasil diterima publik.
Followers di twitter-nya sudah melonjak dari 92 menjadi 9200. Page di Facebook-nya sudah sudah ribuan yang like. Sebuah kemajuan mendasar bagi penulis pemula. Banyak mentions yang masuk ke twitter-nya menanyakan keaslian bukunya yang kedua, “Cinta Diam-Diam”. Setiap mentions itulah yang kemudian menguatkan niatnya untuk tidak diam-diam lagi.

“Nggak merasa ada sesuatu dengan buku itu, La?”
“Hehehe.. Retorika ini?”
“Kok?”
“Apa mungkin aku nggak tahu hal semacam itu?”
“Ya, siapa tahu, La.”
“I know Bara. Already know. Actually, it’s shocking.”
“Did you think it’s a madness, when you read that book?”
“Something like that. Nggak ngerti mau kasih nama apa. Tapi mengejutkan.”
“Semestinya nggak mengejutkan kan, La? Semuanya asli, tanpa rekayasa.”
“Justru itu Bara. Semua yang tanpa rekayasa itu, yang kamu tuliskan dengan detail. Sampai pada baju hijau gambar kodok. Sampai pada stiker sinterklas. Sumpah, itu aja aku lupa.”
“Tapi tetep ada satu yang kurang. Dan itu signifikan.”
“Bagian mana?”
“Awal buku. Aku nggak bisa dapat tanggal pertama kali mendengar namamu dan lantas jatuh cinta. Aku hanya tahu itu sekitar Juli dan di hari rabu. Tapi tanggalnya kabur.”
“Hahaha.. I think it’s not a huge problem. As a reader, off course.”
“Oh, oke. Bagus deh kalo begitu.”
Obrolan panjang bin lebar yang ternyata meluputkan satu aspek. Nola belum pesan minum. Bara mendadak menyadari itu, “La, belum pesan minum yak? Caramel Machiato apa Carribean?”
“Emang ada Carribean disini?”
“Ya nggak. Ntar ke burjo dulu.”
“Huuuu… Ya itu tahu menunya.”
“Apa sih yang aku nggak tahu? Hehehe..,” tawa Bara lepas sambil beranjak memesan minuman untuk Nola.
“Silahkan..”
Tak berapa lama Bara datang bak pelayan kedai kopi ternama itu. Dengan pelayanan istimewa macam pelayan di resto elit. Sesekali berkeliling kota dalam rangka promosi buku telah membuatnya sedikit paham bagaimana namanya pelayanan.
“Oke. Then, I need to know. How about the last chapter?”
Nola menyeruput Caramel Machiato-nya, lalu berkata, “si ending menggantung itu?”
“Yup, betul sekali.”
“Just one question. Why? Kenapa endingnya harus menggantung? Mau buat sekuel?”
“Hahaha.. Emang film, La? Nggak. Hanya ada satu alasan soal ending itu.”
“Apa?”
“Ehmm… seluruh kisah disitu asli, real, dan tanpa tambahan fiksi sama sekali. Kalau di bukuku pertama itu real tapi dengan rekayasa imajinasi. Maka itu diakhiri dengan imajinasi pula. Kalau di buku yang kedua, tidak ada imajinasi sama sekali.”
“Lalu?”
“Lalu aku tidak hendak berimajinasi untuk akhirnya. Karena Cinta Diam-Diam itu belum berakhir. That’s a reason why I’m here now. Looking for ending.”
“Nggak mudeng.”
Dan wanita selalu demikian.
“Yah, simple. Seluruhnya buku itu tentang kamu. Kamu sudah baca, dan aku yakin kamu juga paham. Faktanya selama ini, sejak sebuah rabu lima tahun silam, aku jatuh cinta sama kamu. Dan selama itu pula, aku jatuh cinta diam-diam. Selama itu pula segala cerita yang pernah ada antara kita aku catat. Selama itu pula aku membayangkan akhirnya.”
Bara terdiam sejenak, menyeruput kembali kopinya.
“Aku cinta kamu, La. I knew I love you before I met you. Dan aku berharap menghabiskan sisa hidupku dengan kamu. Would you be my girl?”
Nola terdiam, senyumnya yang manis dan sempurna mengembang. Sesekali menggeleng. Rambut lurusnya jadi bergerak, sehingga Nola jadi tampak lebih manis.
“Bukan tipeku untuk menjalin kasih dengan teman, Bara. Aku lebih memilih menjalin teman dengan mantan. ”
“Hahaha.. I know, someone tell me about that. Sama persis. Aku juga begitu. Makanya aku diam-diam, tapi namanya hati nggak bisa ditipu. Mungkin bisanya menipu.”
“Yah, begitulah. Toh kadang hidup perlu pengecualian. Bukan begitu Bara?”
“Tentu saja. Kamu kan pengecualianku.”
“Masih nggak habis pikir.”
“Aku juga begitu, La. Nggak habis pikir sampai sebegininya. Sampai aku punya satu buku, tentang kamu, laku pula. Macam ngeri kali kisahnya. Hehehe..”
“Ihhh, kamu menjualku dong?”
“Ehm, kalau mau ikut menikmati royaltinya, bisa menghabiskan hidup denganku kan?”
“Maunya…”
“Emang mau kok Nola.”
“Oke. Sejak aku baca, aku paham kok. Kisahnya flat dan jelas. Tidak tersembunyi sama sekali. Semua detail, bahkan yang nyaris aku lupa. So…”
Bara terpaku. Sebuah penantian bertahun-tahun bernama jawaban siap terlontar ke mukanya.
“Mungkin memang kita bisa menjalani hidup berdua. I do, Bara.”
Bara hendak meledak. Rasanya melebihi ketika novelnya diterima penerbit major. Lebih ketika tahu novelnya cetak ulang. Perkara hati memang melebihi yang lain. Hanya Bara masih tahu tempat, tiada mungkin dia berteriak gembira layaknya Messi habis mencetak gol di kedai kopi macam ini.
“Thanks you, my girl. A lot.”
“You’re welcome my boy.”
“Oya, ini dari teman di kantor lama ada aplikasi beasiswa. Mau kemana, Taiwan, Korea, Australia. Ada semua.”
“Heh?”
“Masak lupa, pernah bilang mau S2 ke negeri orang?”
“Kamu ingat sampai sedetail itu?”
Bara hanya tersenyum manis. Di balik hitamnya kopi yang melewati bibir itu, senyumnya memang semanis senja. Terutama ketika kala senja, ada senyum yang menjawab penantian bertahun-tahun.