Sebuah Masa

Bandara Soekarno-Hatta. Ahiiyyy, sesudah berbulan-bulan, akhirnya Nayla menginjakkan kaki lagi di tempat itu. Setelah berbulan-bulan menikmati indahnya Pantura dan Pasel Jawa, berikut sesekali menikmati erangan rel kereta api. Akhirnya!

Bahwa kerinduan itu ternyata dipengaruhi masa, Nayla barusan memahami itu. Sebuah kerinduan muncul belum setahun sejak Nayla muak dengan tempat yang sama. Nayla pernah datang ke tempat itu jam 10, lalu pulang lagi jam 18, pada hari yang sama.

Nayla juga pernah, dalam tiga kali Senin berada di tempat itu untuk sebuah perjalanan singkat yang menguras tenaga.

Dan Nayla juga pernah, mondar-mandir ke tempat itu hanya hendak menggapai cintanya.

Cinta yang kini hilang.

Bahwa cinta itu pengorbanan, tentu saja, Nayla paham soal itu. Hanya kadang Nayla tidak habis pikir, pengorbanan seorang gadis untuk lelaki idamannya hanya menjadi angan-angan tongkol yang menggila.

“Aku kuat,” gumam Nayla. Tempat ini penuh kenangan baginya. Pertemuan dan perpisahan, dengan lelaki idamannya, yang kemudian pergi, bak sebuah radikal bebas yang melompat dari satu molekul ke molekul lain dengan mudahnya.

Tidak mudah bagi Nayla untuk kembali ke tempat ini, tempat yang bagai mesin waktu mengulang masa. Tapi hidup harus terus berjalan bukan? Bahkan tanpa Nayla harus menginjak tempat ini.

Bandara yang kadang semrawut ini menyimpan kenangan dan juga harapan. Itulah yang Nayla paham, sehingga berani kembali ke tempat pertemuan dan perpisahan itu terjadi.

“Aku capek,” kata lelaki itu.

“Aku juga,” balas Nayla.

“Sama-sama capek? Baiklah, tuntaskan saja!”

“Demi semua yang sudah pernah kita lakukan?”

“Pernah itu tentang masa, Nay. Dan masa itu tak akan kembali.”

Lelaki itu berbalik pergi.

Ahhh, Nayla gagal mempertahankan dirinya. Memori itu datang lagi persis di pintu keberangkatan yang macam pasar beras ini.

“Aku bisa. Aku kuat. Aku berani,” gumam Nayla kencang.

Lehernya menengadah, keberanian muncul padanya. Tatapannya mendadak anggun. Nayla tidak tampak lemah.

“Sudah paham arti masa Nay?” suara yang tidak asing bagi Nayla bergetar dari arah belakang.

“Steve?”

“Who else?”

Nayla kaget bisa bertemu dengan teman lamanya di tempat semacam ini.

“Mau kemana?”

“Ke hatimu.”

“Haisshh.. Gombal!”

“Tidak ada gombal Nay. Kalau kamu paham arti masa.” Steve tersenyum penuh misteri.

“What? Any simple explanation?”

“Hahaha.. Kalau kamu paham arti masa, maka kamu pasti akan paham berapa sering aku melihatmu bertemu dan berpisah disini. Kamu akan paham berapa lama aku menanti kamu berada disini seorang diri. Kamu akan paham berapa lama aku berharap akan masuk ke hatimu.”

“……”

“Kalau kamu paham soal masa, kamu pasti mengerti tentang indahnya mencinta tanpa tendensi memiliki.”

“Nice quote, Steve. I’ll try to understand.”

“Good, Nay.”

Sebatas kata, sebatas pertemuan. Nayla dan Steve berjalan beriringan mengikuti alur penumpang yang lain. Steve masih dalam melankolinya, Nayla tetap dalam upayanya tetap tampak tegar. Siapa yang tahu akan masa? Siapa yang tahu kemana masa membawa kedua insan ini kelak?

Tidak ada yang tahu. Masa adalah sebuah tanya yang hanya dapat terjawab oleh waktu.

Advertisement

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.