Tag Archives: terminal 3

9 Hal yang Perlu Diketahui Jika Hendak Terbang atau Mendarat di Terminal 3 Ultimate

IMG_20160817_085902 (1)

Salah satu bangunan yang katanya adalah mahakarya anak bangsa akhirnya launching juga, namanya Terminal 3 Ultimate. Perlahan-lahan, Ultimate akan hilang dan hanya berlaku penamaan ‘Terminal 3’. Sama halnya dengan mantan pacar terindah, yang lama kelamaan akan menjadi sekadar ‘mantan pacar’ belaka. Harapan-harapan tinggi diberikan sepanjang proses pembangunan hingga tahapan nyaris diresmikan sebelum ditahan oleh Pak Ignasius Jonan. Apa daya, Pak Jonan lengser yang digantikan secara sah dan meyakinkan oleh Pak Budi Karya.

Saya berkesempatan untuk terbang melalui Terminal 3 Ultimate ini setelah jauh-jauh hari membeli tiket pesawat Garuda Indonesia tujuan Padang. Ada sisi ketika saya takjub dengan bandara baru ini, namun ada banyak sisi pula ketika saya hanya mampu geleng-geleng kepala. Maka, posting ini didedikasikan untuk orang-orang yang akan terbang dari dan melalui Terminal 3 Ultimate. Agar tidak kecele,  perhatikanlah beberapa hal berikut.

1. Akses Masuk Lebih dari 1

Begitu sampai di pelataran Keberangkatan Terminal 3 Ultimate kita akan disajikan lebih dari 1 pintu. Tiada perlu bingung, jika ada pintu masuk saja. Toh sampai saat tulisan ini diturunkan, satu-satunya maskapai yang menghuni Terminal 3 Ultimate adalah Garuda Indonesia untuk penerbangan lokal. Jangan khawatir karena pintu-pintu itu akan merujuk pada ruangan check-in yang sama, sama halnya dengan pintu-pintu hati yang diketuk akan bermuara pada hal yang sama: penolakan. Rasain!

2. Bagasi Dengan Ukuran Tidak Biasa Diperlakukan Berbeda

IMG_20160817_093127

Ini salah satu perbedaan krusial antara Terminal 3 Ultimate dengan terminal lain di Bandara Soekarno-Hatta. Bagasi-bagasi dengan ukuran yang tidak biasa, seperti kekecilan, kepipihan, kelamaan jomblo, atau sejenisnya hanya akan diberi label di counter check-in. Sesudah itu, penumpang akan diarahkan untuk mengantarkan bagasinya yang berukuran tidak biasa itu ke conveyor khusus dengan kode OOG. Patut dicatat bahwa penandaan OOG dilakukan menggunakan sebuah bahan yang sangat luar biasa, namanya kertas HVS.

Klik untuk membaca selengkapnya!

Pengalaman Pertama Bersama Batik Air

NAIKNYA KAPAN, DITULISNYA KAPAN.

Ya, namanya juga penulis nggerus. Saya akan lebih mementingkan nggerus daripada nulis tentang perjalanan. Jadi ketika sekarang sempat, yuk, ditulis! Berhubung kemaren saya berhasil mengompori mbak-mbak ini untuk memposting cerita yang throwback, jadi sekarang bikin sendiri. Ini masih untung saya nggak nulis cerita throwback dengan maskapai berikut:

1387810544372_Edit

Alkisah bulan Desember silam saya dapat titah dari bos di rumah untuk menerima raport adek yang dulu kecilnya saya cebokin. Bukan hal mudah, soalnya terima raportnya di Jogja. Wali kelas AKAP. Saya ternyata sebelas dua belas sama Rosalia Indah. Saya sendiri mengiyakan, tapi nggak beli tiket. Biasanya ke Jogja itu cukup 2-3 hari sebelumnya saja ke agen Kramat Djati atau Lorena. Sampai kemudian saya sadar bahwa di hari Jumat saya harus memimpin closing meeting karena kapasitas saya sebagai koordinator tim internal audit. Artinya? Nggak bisa izin pulang cepat untuk naik bis.

Dan saya juga lupa, kalau tanggal itu adalah awal mula liburan panjang menjelang natal. Mana arah saya ke Jogja, pula. Walhasil, begitu sadar, seluruh moda transportasi penuh. Kecuali satu: Batik Air, Business Class. Dengan kondisi mau tidak mau, ya sudahlah, beli! Ini memang bukan tarif perjalanan termahal saya. Paling mahal tetap Garuda Business Class Jakarta-Medan, 2 jutaan, bonus sekabin dengan Ivan Gunawan dan Eko Patrio. Masalahnya adalah uang segitu ditanggung PMPK UGM. Kali ini saya harus menanggung 1,6 juta untuk sebuah perjalanan yang biasanya cuma habis 165 ribu. Untunglah ada THR! Kalau tidak, mungkin harga itu harus dibayar dengan ngelap dinding pesawat selagi terbang.

Nah, jadi gimana perjalanan saya bersama Batik Air? Ini dia.

Flight saya adalah 05.50, dan saya sudah tiba di bandara sekitar jam 4. Kisah kehadiran saya di bandara ini juga ada sendiri, setengah memalukan pula. Jadi disimpan saja. Ketika saya check in sebagai penumpang kelas bisnis, petugas counter langsung memanggil seorang petugas dengan posisi “ambassador”. Ah, ini dia enaknya kelas bisnis! Satu hal yang saya sayangkan, ambassadornya lelaki, padahal saya juga lelaki. #IFYOUKNOWWHATIMEAN

Ambassador ini kemudian mengantar saya ke atas. Sebagai pecinta penerbangan murah, saya sih nggak usah ditemani kalau main-main di T3 sini, sudah beberapa kali juga terbang dari tempat penuh cahaya ini. Tapi ya sudahlah, namanya juga fasilitas. Mas-mas ambassador membawa saya ke lounge di pojokan lantai 2 T3. OKE! SIKAT SEMUA MAKANAN YANG ADA! #NGGAKMAURUGI. Plus, dia juga mengurus boarding pass saya. Dan karena saya pelit, jadi nggak ada tips. Sekian dan silakan beli buku saya, Oom Alfa.

Sesudah menghabisi aneka makanan yang ada di lounge dan gagal mendapatkan plastik untuk membungkus nasi gorengnya, saya bergegas ke ruang tunggu. Dan tidak lama kemudian segera masuk ke pesawat. Kebetulan, saya punya teman blogger yang bekerja di maskapai ini, dan sebuah postingnya langsung membuat saya segera mencari kostum pramugari bermodel seperti apa. Sekadar untuk membenarkan sebuah posting yang pernah dia tulis.

Saya duduk di 1F. Ini pertama kali duduk di pesawat tanpa kursi di depan mata. Begitu saya duduk itu, penumpang-penumpang kelas ekonomi melihat saya dengan tatap tidak percaya, setenganya mencubit diri sendiri, separuhnya menampar-nampar pipi sendiri, seolah berkata, “mana mungkin ada gembel duduk di kursi bisnis?”

Suguhan pertama sebagai penumpang kelas bisnis adalah minuman mungil. Gelasnya bagus, pula. Dan tentu saja lap tangan hangat yang disajikan bersama senyuman hangat. Jadi ingat betapa ndeso-nya saya di penerbangan Jakarta-Medan yang mengira bau setengah hangus itu adalah pertanda petaka, eh…ternyata hanya aroma handuk panas.

Kayaknya sih apel..
Kayaknya sih apel..

Duduk di depan sini ternyata lega banget! Maklum, 70-an penerbangan saya lainnya memang menggunakan kelas ekonomi, sesuai muka.

Begitu pesawat mengangkasa diiringi bunyi sangkakala, saya segera mencoba servis lainnya. Mulai dari layar sentuh, sampai makanan sepanjang jalan. Dasar nasib, layar sentuh saya kayaknya agak rusak, jadi saya tidak bisa buka film, atau apapun. Sementara bapak-bapak di sebelah saya ketawa ketiwi melihat layar sentuhnya. Atau, apakah di layar sentuh itu ada blog ariesadhar.com sampai di ketawa begitu? Semoga.

Soal makanan juga juara. Kece badai, pokoknya. Dan tentu saja nggak semua bisa dihabiskan, apalagi perut saya masih penuh sesudah menjarah isi lounge tadi.

Full service...
Full service…

Satu hal yang agak disayangkan lagi adalah perjalanan ini penuh cuaca buruk. Jadi saya nggak bisa mengoptimalkan si Eos. Belum lagi, untuk pertama kalinya telinga saya bermasalah, suatu hal yang hanya terjadi pada penerbangan Batavia Padang-Jakarta, 2004. Mungkin karena efek duduk di depan ya? Atau karena saya ingat harga tiketnya yang akan menyebabkan saya bakal makan mie instan sewindu ke depan?

Untunglah begitu sampai Jogja, saya masih diberikan kesempatan memotret kota Jogja. Saya kan sering mabur ke Jogja dulu pas LDR, jadi paham bahwa akan ada view cakep di sisi kanan. Jepret, deh!

Mandala Krida
Mandala Krida

Saya lalu mendarat dengan tampan di bandara Adisucipto sekitar jam 7. Penerbangan yang singkat, tapi sukses bikin saya budeg sepanjang jalan. Tapi kalau soal servis yang diterima, bagi saya cukup sepadan dengan harga yang dibayar. Ya, meskipun kalau buat saya, naik kelas bisnis lebih direkomendasikan pada penerbangan yang lebih jauh dari sekadar Jakarta ke Jogja atau Palembang.

Nah, saya boleh kasih masukan sedikit ke Batik Air nggak ya?

Kalau boleh, saya mau kasih masukan soal lounge. Ini mending saya terbang pagi, jadi isu antre ruang tunggu nggak terlalu mengemuka. Soalnya, ini agak beda dengan pengalaman saya sebelumnya ketika lounge ada di dalam ruang tunggu. Jadi, ya santai-santai kayak di pantai sampai ada panggilan boarding. Lah kalau di T3, harus antre lagi. Saya pengen memanfaatkan keunggulan kelas bisnis saya, tapi nggak tahu harus lewat mana. Jadi ya sudah ngantre saja. Jadi, saran aja, kalau memang hendak mengoptimalkan lounge opsinya dua. Satu, pasang lounge di dalam ruang tunggu. Dua, pasang ambassador menunggu di dalam lounge.

Sama satu lagi sih, kalau bisa layar sentuhnya yang bagus dong, kayak punya kursi sebelah. Kan saya iri hati, gitu. Sisanya, boleh deh dipertahankan.

Posting ini sama sekali tidak berbayar, hanya semata-mata nggak pengen THR saya musnah tanpa ada sisa cerita untuk dikisahkan saja, kok. Cuma kalau ada yang pengen dibikinin posting berbayar, ya boleh aja, sih. HAHAHAHAHA. Oya, sebagai penutup, saya hendak menginformasikan bahwa untuk kompensasi kantong, saya kembali ke Cikarang dengan naik…

…Pahala Kencana. #okesip