Digitalisasi BPJS Kesehatan Sebagai Potret Transformasi e-Government di Indonesia

Digitalisasi BPJS Kesehatan sesungguhnya merupakan topik menarik dalam perspektif administrasi publik pada umumnya dan e-Government pada khususnya. Alasan pertama tentu saja karena yang diurus adalah kesehatan, suatu sektor yang sangat krusial dalam kehidupan manusia. Alasan berikutnya, seluruh core business dari BPJS Kesehatan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi itu sendiri.

Oh, kita tentu tidak sedang membahas perkembangan teknologi kedokteran. Walaupun BPJS Kesehatan membiayai suatu tindakan medis, tapi ranahnya bukan itu. Kita juga tidak sedang membahas formularium obat yang proses penyusunannya melibatkan banyak pakar dari berbagai institusi.

Pembahasan kita adalah pada proses bisnis BPJS Kesehatan yang mengumpulkan uang, mengelolanya, dan menggunakannya ketika memang benar-benar dibutuhkan. Tampak sederhana, tapi tentu tidak sederhana ketika yang diurus adalah 221.471.196 peserta (data per 31 Januari 2021) dengan rincian sebagai berikut:

Boleh dibilang, BPJS Kesehatan menjadi contoh pelayanan publik dengan peserta terbanyak se-Indonesia Raya. Kalau dibandingkan dengan e-KTP, akte kelahiran, dan sejenisnya, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan dinas kependudukan dan pencatatan sipil di daerah, yang notabene adalah bawahannya Kepala Daerah. Bebannya banyak, tapi tetap masih ada pembagiannya.

Belum lagi, berbeda dengan layanan seperti e-KTP, sebagian publik yang dilayani BPJS adalah peserta yang membayar setiap bulan secara rutin. Ketika publik membayar atas sesuatu, maka publik akan lebih demanding. Dengan kata lain, publik yang dilayani BPJS Kesehatan itu akan cenderung lebih banyak komplainnya dibandingkan layanan publik lainnya. Di sisi lain, jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan ini punya dampak sosial yang luar biasa.

Hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa penduduk Indonesia pada September 2020 adalah 270,2 juta jiwa. Artinya, peserta BPJS Kesehatan jumlahnya sudah lebih dari 80% penduduk Indonesia dan semuanya itu diurus sendiri oleh BPJS Kesehatan.

Dengan beban kerja seberat itu, tanpa digitalisasi, sudah fix bakal ambyar. Kebayang dong jumlah kertas yang harus disiapkan dan dihabiskan untuk mengurusi pendaftaran, pembayaran iuran, hingga klaim dari 80% penduduk Indonesia jika layanan BPJS Kesehatan tidak didigitalisasi? Belum lagi pengelolaan iuran dari puluhan juta peserta mandiri yang tentu saja tidak terima apabila uang iuran itu tidak dikelola secara akuntabel.

6 Core Business BPJS Kesehatan

Seperti telah dijelaskan bahwa urusan BPJS Kesehatan itu banyak, tapi dalam tulisan ini mari kita fokus pada core business saja. Jadi, urusan pengadaan kertas buat operasional sehari-hari, dll tidak kita kulik.

Dari gambar di atas sebenarnya kembali terlihat urgensi digitalisasi. Sebab, harus ada data yang konsisten sejak layanan kepesertaan hingga pada pelayanan kesehatan yang dimaksud. Sehingga sejalan dengan yang pernah saya ceritakan sebelumnya saat periksa ginjal dengan dokter spesialis, datanya juga jelas perihal saya itu dirujuk dari fasilitas kesehatan mana, dengan gejala dan kebutuhan apa, di dokter spesialis mendapatkan treatment apa, dan lain-lain.

Ujung-ujungnya tentu agar saya sendiri bisa mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Di sisi lain, rumah sakit yang melayani juga mendapatkan imbal jasa yang pas dengan treatment yang diberikan. BPJS Kesehatan sendiri juga mengeluarkan dana pada jumlah yang tepat sesuai treatment yan saya terima.

Sejujurnya ini agak mirip PPIC, kalau diceritakan satu per satu terlihat gampang. Tapi begitu dimasukkan pada realitas bahwa yang diurus adalah ribuan produk, ya jadinya pusing juga.

e-Government

Sebelum lebih lanjut mendalami digitalisasi, mari kita bahas sejenak soal e-Government. Sederhananya, electronic government alias e-Government alias lagi e-Gov merupakan penggunaan teknologi informasi oleh institusi di pemerintahan yang mampu mengubah relasi dengan warga negara, dunia usaha, hingga bidang pemerintahan lainnya. Kurang lebih begitu kalau menurut World Bank.

Seperti perkembangan lain di bidang administrasi publik, tadinya e-Gov diimplementasikan di negara maju. Ketika di negara maju sudah cukup mapan, negara berkembang hingga negara miskin kemudian merasa butuh juga. Salah satu metode yang cukup sering digunakan untuk mendorong implementasi e-Gov adalah dengan ‘memaksa’ negara miskin dan berkembang untuk menerapkan e-Gov jika hendak menerima pinjaman maupun bantuan dari negara maju. Lewat metode ini, e-Gov kemudian berkembang.

Konsep e-Gov sendiri tidaklah sesederhana layanan publik via internet seperti kita mengurus paspor daring atau menggunakan layanan BPJS Kesehatan via aplikasi Mobile JKN sebagai wujud hubungan Government to Citizens (G2C). Walaupun memang layanan itulah yang dirasakan oleh publik secara langsung.

Pada saat yang sama, G2C itu juga berkelindan dengan Government to Government (G2G) dan Government to Business (G2B). Dalam hal layanan BPJS Kesehatan, G2B-nya antara lain pengadaan barang/jasa untuk operasional BPJS Kesehatan. Sedangkan G2G-nya adalah relasi antara Kementerian Keuangan atau Kementerian Kesehatan.

Kehadiran e-Gov ini berangkat dari perkembangan paradigma New Public Management (NPM) yang ‘swasta banget’ sehingga efisiensi, kecepatan, dan transparansi menjadi kunci. Tidak heran pula bahwa dalam implementasi e-Gov, banyak konsep-konsep yang berangkat dari penerapan pada perusahaan swasta seperti yang paling sederhana: Customer Relationship Management. Dulu-dulu kalau menerima layanan pemerintah, ya harus manut apapun masalahnya. Sekarang? Bahkan ada kanal pengaduan pelanggan segala!

Digitalisasi Sektor Kesehatan

Perkembangan e-Gov kemudian juga masuk ke sektor kesehatan. Sebagaimana pada bidang lain, tentu ada disrupsinya. Sekarang kalau kita ke RS, sudah jarang membawa resep sendiri ke bagian farmasi untuk ditebus. Pada umumnya dokter sudah mengisi di sistem, lalu pada saat yang sama bagian farmasi mendapat informasinya, lantas mempersiapkannya. Dampaknya buat kita sebagai publik? Tentu saja, pelayanan jadi lebih cepat! Sering terjadi kita selesai mengurusi pembayaran, pas mampir ke farmasi, obatnya sudah tersedia. Walaupun pada prosesnya tentu muncul kerentanan di sana-sini sebelum akhirnya adaptasi terjadi.

Van Velthoven dari University of Oxford menyebut digitalisasi telah mengubah masyarakat secara revolusioner yang bahkan tidak pernah terbayangkan 1 abad silam, dengan mampu menyasar isu-isu lama seperti mutu layanan hingga biaya. Kotarba dari Warsaw University of Technology mengidentifikasi lima dimensi penting dalam digitalisasi yakni ekonomi, masyarakat, industri, enterprise, dan klien. Adapun e-Gov sendiri hadir sebagai elemen dari dimensi masyarakat. Aspek ini adalah yang utama dan paling mudah dinilai publik, sementara institusi pemerintah termasuk BPJS Kesehatan tetap harus sibuk mengembangkan 4 dimensi lainnya. Lagi-lagi, ujungnya sebenarnya adalah agar publik menerima layanan yang lebih baik dan kalau bisa malah terbaik sekalian.

Pada awal BPJS Kesehatan hadir, cukup banyak proses yang menuntut masyarakat mengurus segala sesuatu secara manual. Tidak usah jauh-jauh, ketika saya mengurusi tambahan kartu pada tahun 2018 untuk anak, ya tetap harus izin dari kantor dan mengantri ke kantor BPJS yang paling dekat dengan kantor. Model pelayanan seperti ini yang harus ditekan seminimal mungkin meskipun tentu tidak pula harus dihilangkan.

Dalam prosesnya, saya melihat dan mengalami sendiri betapa digitalisasi BPJS Kesehatan terasa langsung di gawai. Paling gampangnya adalah saya bisa melihat diagnosis dokter ketika memeriksakan diri menggunakan BPJS untuk kejadian yang bahkan sudah lewat 3 tahun. Hal ini mungkin tampak sepele, tapi dalam dunia kesehatan, riwayat tersebut sangatlah penting. Tidak selengkap rekam medis di fasilitas kesehatan tentu saja, tapi sudah cukup membantu peserta.

Transformasi Digital BPJS Kesehatan

Nah, perkembangan e-Gov tadi semakin didorong cenderung dipaksa oleh kehadiran pandemi COVID-19. Bagaimana tidak, wong kita diminta untuk sebisa mungkin di rumah saja, padahal banyak urusan yang harus jalan terus. Hampir semua instansi pemerintah bergerak lebih kencang karena didorong oleh kondisi tersebut, termasuk tentu saja BPJS Kesehatan.

BPJS Kesehatan sendiri kalau menurut saya sudah cukup ciamik e-Gov-nya dari dulu, seperti misalnya sudah bisa pindah faskes hanya pakai aplikasi dan tidak perlu ke kantor. Termasuk juga tidak perlu bawa kartu kemana-mana, cukup pakai aplikasi. Di era pandemi ini, BPJS Kesehatan juga mendorong peserta JKN-KIS untuk menggunakan layanan digital. Selain Mobile JKN yang tadi sudah saya kisahkan, ada juga BPJS Kesehatan Care Center 1500400, masih ada pula Chat Assitant JKN atau CHIKA, Voice Interactive JKN atau VIKA, sampai dengan Pelayanan Administrasi melalui WhatsApp atau PANDAWA.

Pilihan-pilihan tersebut sangat penting untuk disediakan oleh BPJS Kesehatan. Data Digital 2020 menyebut bahwa penetrasi internet di Indonesia ada di angka 64% dengan rata-rata waktu yang dihabiskan dalam sehari untuk menggunakan internet di gawai masing-masing mencapai 4 jam dan 46 menit! Alternatif-alternatif layanan yang sejalan dengan karakteristik masyarakat menjadi penting dalam upaya meningkatkan engagement dengan publik yang merupakan peserta BPJS Kesehatan. Ambil contoh PANDAWA, kehadiran layanan itu sangat masuk akal ketika disandingkan dengan data Digital 2020 bahwa 84% pengguna media sosial di Indonesia memakai WhatsApp. CHIKA dan VIKA bahkan sudah berteknologi artificial intelligence (AI) sehingga semakin relevan pula dengan perkembangan zaman.

Digitalisasi di BPJS Kesehatan juga menjadi jawaban dari sejumlah permasalahan yang dalam beberapa tahun terakhir diidentifikasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester I Tahun 2020 disebutkan sejumlah hal yang perlu menjadi perhatian seperti optimalisasi pemutakhiran dan validasi kepesertaan maupun pentingnya verifikasi klaim layanan yang didukung sistem pelayanan dan sistem kepesertaan yang terintegrasi dengan andal.

Pada akhirnya harus dipahami bahwa #DigitalisasiBPJSKesehatan bukanlah pekerjaan sekali jadi, melainkan senantiasa berkesinambungan. BPJS Kesehatan sendiri pada akhirnya harus juga dapat agile guna bisa beradaptasi dengan baik pada transformasi yang dibutuhkan sejalan dengan perkembangan dunia kesehatan hingga ekspektasi dari masyarakat sebagai peserta, terutama dalam elemen kecepatan dan ketepatan pelayanan.

Ketika pelayanan tepat dan cepat, maka peserta senang, fasilitas kesehatan juga senang, termasuk BPJS Kesehatan pun turut senang. Menyenangkan sekali, bukan?

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.