Lost in Bangka (9): Kelenteng Dewi Laut

Pulau Bangka memang dikenal denngan kecantikan pantainya, demikian pula Pulau Belitung di sebelah. Selain itu, Pulau Bangka begitu identik dengan kepercayaan yang dipercaya berasal dari daratan Tiongkok sana seperti Budha dan Kong Hu Cu. Maka jangan heran kalau pagoda-pagoda dan semodelnya adalah jamak di sekitar Pangkal Pinang, sebagaimana mudah melihat Gereja di Kota Manado atau Jayapura.

Nah, selepas dari Pantai Pasir Padi, kami bergegas menuju destinasi tambahan ala bapak guide. Rencananya, bapak guide hendak menggunakan jalur alternatif yang nyatanya memang dekat sekali dengan Pantai Pasir Padi dan melewati calon lokasi yang katanya mau ada waterboom dan lain-lainnya itu. Namun, hujan hari kemarin–yang bikin perjalanan ke Tanjung Pesona terganggu dan bikin nyelup di Parai Tenggiri jadi gloomy–menyebabkan jalan tanjakan yang ada jadi hancur.

Walhasil, mobil kemudian diputar balik sebagaimana CPNS ketemu eselon 1. Balik kanan tanpa tedeng aling-aling. Seluruh isi mobil mempertimbangkan bahwa dalam mobil itu ada Kristofer yang kala itu ukurannya bahkan belum 1 sentimeter. Yah, kalau teman-teman pembaca baru baca serial Lost in Bangka ini sekarang, perlu diketahui bahwa perjalanan dilakukan pada bulan Oktober 2016 dalam keadaan istri saya hamil muda banget, kurang lebih 6 minggu. Sementara saat kisah nomor 9 ini ditulis, si bocah yang saat itu dibawa masih berada dalam bentuk serupa tanda koma sudah mau berusia 2 bulan.

PEMALAZ!

Baiklah, mari kita lanjutkan. Maka, guide Tintus mengambil jalur memutar, kalau tidak salah memang jalurnya menuju pantai lain di sebelah Pasir Padi, yakni Tanjung Bunga. Lokasi Kelenteng Dewi Laut sendiri kurang lebihnya sebagaimana tampak di peta:

Begitu mobil berhenti di bawah pohon, kami jalan kaki sembari buang snack di tempat sampah yang untunglah ada di sekitar situ. Kelenteng lumayan sedang ramai. Kelenteng ini terbilang baru, karena menurut berita-berita yang saya baca, berdirinya baru tahun 2011. Berada satu kompleks dengan Pura Penataran Agung dan Vihara Dharma Satya Buddhis Center, yang kebetulan juga tampak sambil lewat.

Satu hal yang unik dari kelenteng ini adalah lokasinya di atas bukit. Kami seolah-olah menapaktilasi waktu ke Pagoda yang seharusnya bisa langsung menghadap ke laut tapi kami datang kemalaman. Dari tangga atas Kelenteng Dewi Laut ini kami bisa melihat laut lepas dengan bahagia. Anginnya juga angin laut, bukan angina pectoris. Blah, istilah apa itu.

Hal unik lainnya adalah karena kelenteng ini dipenuhi patung shio! Seluruh shio ada patungnya dan ukuran patungnya juga lumayan besar-besar.

Ini yang lucu. Saya dan istri sempat menghitung shio dan memutuskan untuk berfoto di salah satu shio, kalah nggak salah Kerbau. Dengan hitungan bahwa nanti Kristofer shionya Kerbau. Lha, jebule salah. Malu, kak. Tuh, lihat saja fotonya:

Patung-patung itu merupakan sumbangan. Siapa yang menyumbang? Mudah ditelusuri karena namanya ada di bawah patung-patung itu berdiri. Dengan demikian pengunjung jadi mudah untuk mengetahui nama-nama para penyumbang.

Tempat ibadah penganut Kong Hu Cu ini juga terbuka bagi umat dari kalangan lain. Tempatnya juga sangat-sangat mantap untuk jadi lokasi berjalan-jalan, foto-foto, dan segala-segala yang asyik. Tentunya yang penting kita tetap menghormati kepercayaan pemilik tempat ibadah sekaligus menghormati bagaimana selayaknya mereka memperlakukan patung-patung dan segala hal yang ada di sekitar Kelenteng Dewi Laut.

Kami hanya 15 sampai 20 menit berada di Kelenteng Dewi Laut karena petualangan terbesar segera muncul: Danau Kaolin! Perjalanan cukup panjang dan menjadi satu-satunya rute ke selatan setelah sebelumnya malam-malam ke Sungailiat dan kemudian hari Minggu ke sekitar Sungailiat juga.

Nah, ingin tahu rasanya berada di Danau Kaolin yang katanya mirip Islandia itu? Sabar saja, mungkin ariesadhar.com akan menayangkannya besok, mungkin juga tiga tahun lagi. Heuheu.

10 thoughts on “Lost in Bangka (9): Kelenteng Dewi Laut”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.