Perpustakaan. Beuh. Waktu SD, saya pernah mengalami masa doyan ke perpustakaan karena tempatnya luas dan menawan. Bukan mau baca, cuma mau guling-guling menunggu Mamak pulang kerja. Kala SMP, agak malas karena perpustakaannya ada di pojokan nan sepi. Hiii. Namun saya mulai suka pinjam buku, termasuk buku tentang musibah Tampomas dan heroik itu. Saat SMA? Ini dia. Saya rajin ke perpustakaan. Meminjam dan membaca buku memang iya, namun tujuan yang lebih utama adalah berebut membaca Bola dan Hai terbaru, karena kalau sudah delay 1-2 hari, maka wajah mbak-mbak kece di Majalah Hai sudah tinggal kenangan. Bolong, kak. Tujuan lainnya ya tidak lebih tidak kurang adalah karena nggak punya duit buat jajan di kantin.
Ketika masuk ke perguruan tinggi, perpustakaan buat saya adalah peraduan kedua. Tenang, masih bukan urusan belajar. Perpustakaan adalah tempat saya kabur dari rumah tempat numpang untuk waktu yang cukup lama–cerita suram masa lalu saya yang bisa dibaca di buku OOM ALFA
yang lagi diskon gede-gedean. Selain itu, perpustakaan juga jadi tempat mengetik, karena saya belum punya komputer sendiri. Dan terakhir, perpustakaan adalah tempat melihat gebetan dari jauh, karena dari jendela perpustakaan tampak lorong cinta nan keji itu. Tsah.
Meskipun kini saya juga punya kartu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang letaknya nggak jauh-jauh amat dari kos, tapi perpustakaan tidaklah menjadi bagian integral dalam diri saya, seperti halnya barisan para mantan. Lah. Maka, ketika dalam proses mencari bahan untuk sebuah project, bisa terpikir untuk mencari bahan ke perpustakaan malah bikin saya bingung sendiri. Kok iso kepikiran. Mungkin belum move on.
Dengan latar belakang itu, terbanglah saya ke Perpustakaan milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Letaknya tentu saja di gedung KPK, masak di gedung Pelindo. Dan meskipun gedung baru KPK sudah diresmikan sama Pak Jokowi, yang dihadiri oleh Pak Beye dan Pak Habibie, namun operasional gedung KPK masih di tempat yang lama. Ya, tempat para koruptor keluar gedung lalu senyam-senyum kayak habis nembak gebetan dan sukses itu. Oya, gedung KPK lama dan baru itu selisihnya cuma 1 halte TransJakarta. Kalau dari Dukuh Atas 1 halte sebelum, kalau dari Ragunan 1 halte sesudah. Dekat sekali. Kok bisa? Saya juga heran. Sementara BPPT pindah dari Thamrin ke Serpong sana.
Untuk bisa masuk ke Perpustakaan KPK, pertama-tama harus melewatkan barang ke X-Ray. Pengujung perpustakaan adalah juga pengunjung KPK, jadi prosedur keamanannya sama. Demikian pula yang sekadar hendak mengantar makanan. Jadi, ya, di KPK itu mau ada demo, mau ada tersangka senyam-senyum, kalau memang ada kiriman makanan kotakan ya tetap saja masuk. Demo dan keramaian tersangka itu semacam hal yang sangat biasa di KPK. Salut, deh. Dan jangan kaget kalau melihat wartawan duduk ngemper di teras KPK, itu sangat-sangat-sangat biasa.
Nah, sesudah masuk ke gedung KPK, segera melapor ke resepsionis dan mengutarakan cinta yang lama terpendam maksud kedatangan. Nanti kita akan disuruh mengisi form tamu dan menitipkan kenangan KTP untuk ditukar kartu visitor. Terus kita nggak bisa serta merta masuk ke perpustakaannya. Kita akan menunggu sebentar selagi petugasnya turun. Sembari menunggu, kita bisa melihat gitar gratifikasi Jokowi nan terkenal itu, termasuk juga belanja dan tukar uang di kantin kejujuran milik KPK. Jualnya nggak cuma kue sama minuman. Kaos juga jual. Mungkin biar laku, buku OOM ALFA saya jual disana aja kali, yha.
Sembari minum teh botol yang dikotakin, datanglah mbak-mbak perpustakaan. Bersama mbak yang lumayan kece itu, saya diantar menuju perpustakaan melewati dua pintu dengan akses terbatas. Pintu pertama kayak di Kementerian Keuangan, pintu kedua yang saya maksud adalah lift dengan kendali kartu akses. Perpustakaannya sendiri berada di lantai 2 alias cuma naik 1 tingkat saja. Nanti tidak jauh dari lift, sampailah kita ke tempat yang disebut sebagai Perpustakaan KPK.
Perpustakaan itu boleh dibilang sepi dan hanya ada 3 orang di dalamnya, salah satunya diperkenalkan sebagai Mas Budi. JANGAN-JANGAN JOHAN BUDI?! Ehm. Oke, fokus. Saya segera dicarikan beberapa buku sesuai request, namun karena nggak kepenak, ya saya cari sendiri deh.
Sebagai sebuah Perpustakaan, fasilitas yang ada di KPK boleh dibilang sangat memadai. Kursi terletak di dekat rak, jadi mencari nggak usah jongkok-jongkok, bisa sambil duduk juga. Terdapat pula meja baca dengan kursi yang cukup empuk. Sofa untuk baca koran? Ada juga. Minuman? Sebenarnya saya ditawari sama Mas Budi, cuma saya pekewuh. Masak saya dikasih minum sama KPK, wong mereka kalau diundang dimana-mana juga nggak mau dikasih apapun. Ketika kemudian ada wawancara Ketua KPK yang baru di televisi, setelah saya amat-amati juga dilakukan di ruang perpustakaan ini. Kerenlah pokoknya.
Oh, iya, kenapa judul postingan ini ‘belajar korupsi’? Sesungguhnya karena buku-buku yang ada di KPK adalah tentang korupsi. Mau mengetahui pola korupsi di negara-negara pasifik? Ada. Sejarah pemberantasan korupsi di Hongkong? Ada juga. Cerita korupsi di Indonesia? Apalagi itu. Mau belajar modus-modus korupsi yang telah diteliti dengan baik di negara-negara lain juga bisa. Bahkan ada beberapa buku yang tergolong novel dan ramalan. Jadi mau dari aspek sastra maupun pendekatan ilmiah banyak sekali sumber yang bisa digunakan. Jadi, bagi para koruptor yang hendak korupsi dengan baik, bisa dipelajari dari buku-buku yang ada di perpustakaan KPK. Saya hanya gagal menemukan buku tentang korupsi di Bikini Bottom, selain itu ada semua.
Bahkan lebih unik lagi, ketika saya MEMBACA SEBUAH BUKU KARYA TAHANAN KPK! Ya, ditulisnya sebelum ditangkap tangan, sih. Ini dia.
Posting ini mungkin kurang membantu orang-orang yang hendak belajar korupsi, soalnya sebentar lagi gedung KPK juga pindah. Tapi cukuplah untuk menambah wawasan untuk mengakses perpustakaan. Ini yang jadi masalah di banyak tempat. Instansi pemerintah itu pada prinsipnya menyediakan perpustakaan, lho. Bahkan setiap tahun nggak sedikit anggaran yang habis untuk membeli buku guna mengisi perpustakaan itu. Namun keberadaan internet menyebabkan banyak orang lebih peduli untuk mengakses jurnal maupun menyebarkan hoax dari internet, dan meninggalkan buku. Padahal, membaca buku di perpustakaan adalah alasan elegan untuk meninggalkan pekerjaan yang menjemukan. Perkara ketiduran, itu urusan lain. Dan kalau bisa nanti di gedung baru, semoga perpustakaannya lebih mudah diakses dan lebih banyak koruptor yang menulis koleksi bukunya.
Jadi, sila bagi semuanya saja yang ingin belajar korupsi, tinggal datangi gedung KPK, masuk ke Perpustakaan dan serap ilmu tentang cara korupsi yang baik sebanyak-banyaknya. Atau boleh akses ke website Perpustakaan KPK dulu juga bisa. Dan tentu saja silakan juga jika ingin diterapkan di tempat masing-masing.
Kalau nggak malu.
eh boleh ya masuk kesana
LikeLike
ada ga buku yang ngajarin para koruptor untuk berperilaku “santun” … maksudnya ga cengar cengir .. senyum2, lambaikan tangan … malah merasa keren .. weleh weleh …
LikeLike
Hahaha, mungkin karena di luar negeri nggak pada gitu jadi nggak ada referensinya mas.
LikeLike
Wah. Udah lama ga dateng (dan ngemper sebagai wartawan) ke KPK. Dulu sering liputan di sini, tapi sama sekali belum pernah main ke perpustakaannya. Buat yang lagi ambil skripsi soal korupsi, surga banget ya ini. Kalo papasan sama pimpinan, bisa sekalian wawancara buat tugas akhir gitu. Haha.
LikeLike
Sekarang kayaknya lebih rapi, mas, daripada dua tahun lalu. Bisa wawancara sama yang demo juga. Haha
LikeLike
goood
check blog gua dong rizki48arts.blogspot.co.id
LikeLike