Pilihan Menjadi PNS dan Pengorbanannya

Seperti bisa dilihat di portofolio saya, salah satu prestasi yang dimiliki oleh Ariesadhar adalah sukses menjadi CADANGAN nomor 1 pada penerimaan CPNS di sebuah instansi pemerintah. Iye, cadangan nomor 1 alias kalau bahasa kerennya adalah juara harapan (a.k.a berharap juara alias berharap keterima). Maka dari itu, saya selalu prihatin bagi orang-orang yang mempergalaukan moratorium CPNS 5 tahun sebagai ketakutan nggak bisa jadi PNS, saya juga prihatin sama orang-orang yang sudah keterima CPNS tapi nggak jelas. Padahal–juga bisa dicek di portofolio–saya sudah menulis di Hipwee bahwa menjadi bagian dari birokrasi negeri ini sama artinya dengan siap berhadapan dengan keadaan semacam lagi LDR dengan pacar yang sekota dengan mantan terindahnya.

download

Barusan saya membaca sebuah blog dari seorang PNS di BPKP. Dampak dari mendaftar CPNS dan kemudian diterima plus lantas menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan dimana saja adalah suami kerja di Jakarta, anak di Depok sama orangtua, dia di Padang. Yah, namanya kegalauan jelas terbaca dari posting-postingannya. Bayangkan, anak masih kecil harus dihadapkan pada kondisi orangtua LDR. LDR pacaran saja terhitung merana–saya paham karena sudah 3 kali melakukannya dari stok 3 mantan dan 1 pacar yang ada–apalagi LDR menikah?

Nggak cuma blog PNS yang barusan saya baca saja, profil abdi negara yang terpisah dengan suami, istri, dan anak bukanlah hal yang langka untuk disaksikan. Alkisah waktu saya masih di Palembang, pas di bandara, saya kenalan dengan seorang mbak-mbak bunting yang sedang menunggu pesawat suaminya landing atau habis nganter ya, saya agak lupa. Suaminya di Bogor, dia di Palembang. Suaminya swasta, dia PNS sebuah instansi pusat yang punya balai di daerah. Tidak cuma dia saja. Teman-temannya ada juga yang punya suami di Depok, ada yang punya istri di Jogja. Ya, persis kayak PNS BPKP tadi, sila dihitung cost yang dikeluarkan oleh mereka yang sudah berumah tangga itu hanya untuk transportasi. Saya saja ketika periode 2010 LDR Palembang-Jogja dan cuma pacaran, sudah kerasa pedih di kantong. Waktu itu padahal gaji saya sudah 3-4 juta, bahkan lebih tinggi daripada gaji pokok PNS golongan III/B tahun 2015. Mereka? Sudah harus biaya sehari-hari keluarga, masih harus memikirkan biaya untuk sekadar bertemu.

Saya juga mengenal seorang PNS lain yang terpisah dari putri tercinta. Dia di Jakarta, suami di Surabaya bersama sang anak. Ada juga PNS di Jakarta, istri dan anak di Jogja. Ada juga yang PNS di Jakarta, istri di Semarang, dan sampai sekarang belum punya anak. Lha, iyo, ketemu wae jarang, piye meh gawe anak, katanya demikian. Kalau mau lebih jauh lagi gampang. Di Kupang ada seorang ibu yang keluarganya di Bandung. Ada ibu muda beranak dua yang suami serta keluarganya di Surabaya.

Sungguh, saya selalu bertanya, lantas mengapa mereka jadi PNS, jika harus berkorban sedemikian itu?

Di Puncak ketika ngobrol dengan Pak Yohanes yang hobinya mengurus jenazah, dia bilang bahwa PNS itu enak karena nggak usah memikirkan risiko dipecat. Dia benar juga, sih, karena terbiasa bergaul di Cikarang yang memang ganas soal kontrak kerja dan sejenisnya. Adapun saya, hanya pernah 6 bulan menjalani kontrak, sisanya pegawai tetap. Saya juga termasuk manusia yang berani-beraninya apply sana-sini. Ketika orang membetah-betahkan diri yang penting kerja, saya termasuk kalangan sotoy yang mencoba melompat-lompat dan mencoba meninggalkan status karyawan tetap, walau ya nggak pindah juga akhirnya. Ya, saya nggak pernah merasa insecure dengan pekerjaan karena itu tadi, belum apa-apa sudah jadi karyawan tetap. Saya juga memegang mekanisme yang tampaknya di kantor cuma saya yang tahu. Jadi kalau saya nggak ngajarin, ya tutup kali itu pabrik. Makanya saya pede gila nggak bakal dipecat. Well, cuma memang tidak semua orang bisa begitu, maka jaminan tidak–atau boleh dikata sulit–dipecat menjadi tampak menarik untuk menjadi PNS.

Perihal PNS juga selalu menjadi harapan orangtua. Sungguhpun dari banyak tulisan saya tentang PNS di blog ini, saya tetap bertanya-tanya kenapa orangtua begitu bangga ketika anaknya jadi PNS. Kalau jadi menteri, bangga, kan wajar. Lha ini jadi PNS. Kerjaannya mungkin juga cuma main Zuma, tapi kok bangga? Kebetulan, Bapak saya pensiunan PNS, Mamak swasta, Camer juga pensiunan PNS dan PNS aktif. Secara umum keluarga saya dan keluarga pacar nggak kaya-kaya amat, tapi ya nggak susah-susah juga. Mungkin itukah? Loh, menjadi manajer di perusahaan bukannya lebih menarik untuk menjadi kaya?

Mereka yang hidup terpisah dengan keluarga karena karier sebagai PNS menghabiskan hidupnya dengan sederhana. Bagi yang jarang dinas luar, harus mengirit-irit tunjangan atau duit apapun yang diterima sekadar untuk beli tiket pesawat yang nominalnya bisa sejuta pulang pergi, itu yang paling murah. Untuk sekadar Jumat malam berangkat, Minggu malam balik lagi. Mereka yang hidup terpisah itu ada juga yang harus borong tiket kereta langsung sebulan untuk Jumat malam dan Minggu malam, takut kehabisan. Kadang-kadang tiketnya hangus karena tetiba disuruh pergi dinas. Dinamika itu berasal dari pilihan menjadi PNS, padahal bukankah bisa saja tidak menjadi PNS?

Well, perkara nominal ini, bagi yang nggak kuat iman, ujung-ujungnya bisa korupsi, lho.

Sesungguhnya, saya sadar bahwa beberapa PNS rasanya pengen nabok orang ketika dibilang, “Wah PNS, penakmen uripmu!”. Atau gara-gara lihat calon gaji PNS DKI, lalu memukul rata bahwa gaji PNS instansi apapun asal di Jakarta gajinya akan seharga sepeda motor. Padahal ada juga PNS Instansi yang gajinya cuma cukup seharga ban sepeda motor tipe racing belaka. Iya, pengen nabok orang.

Bagi PNS-PNS yang LDR itu, tidak ada tunjangan atau fasilitas layaknya dulu Pak Wiko, eks bosnya bos saya, pulang ke Jakarta di hari Jumat malam dan balik Senin pagi. Apalagi layaknya eks bos IBM yang direkrut eks kantor lama saya yang setiap pekan bisa pulang ke Singapura. PNS-PNS yang LDR itu dengan jujur nabung yang halal, mengumpulkan uang dinas yang tersisa, dan bahkan kadang-kadang ada yang sampingan, entah itu online shop atau apapun, ya cuma buat ongkos, dengan harapan suatu saat bisa mengajukan mutasi dan kemudian hidup bahagia selamanya bersama keluarga.

Itukah yang kata orang-orang enak? Sebelah mananya yang enak? Hanya ketulusan hati, terkadang berbalut keterpaksaan dan kadung jadi PNS sehingga ogah resign, yang membuat mereka tetap bertahan. Tetap berlelah-lelah mengumpulkan duit dan melakukan perjalanan setiap 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, atau 2 bulan untuk bertemu suami, istri, dan anak tercinta. Mereka abdi negara yang memposisikan diri mereka dengan pernyataan bersedia ditempatkan dimana saja hingga kemudian yang “dikorbankan” adalah keluarga. Hidup memang pilihan, dan pada akhirnya hal yang semacam ini adalah bagian dari pilihan, kan?

Padahal kalau saja pemerintah, entah melalui lembaga apa, mau meriset atau membuat peta saja, banyak kok yang sebenarnya berdaya guna. Auditor instansi anu pengen pindah ke Jogja dari Jakarta, toh di Jogja juga butuh auditor meski bukan di instansi anu. Sama-sama PNS, sama-sama JFA, kenapa nggak boleh pindah? Toh standar kompetensi sama, bentuk NIP juga gitu-gitu aja, golongan dimana-mana ya sama. Memang tidak sesederhana itu, tapi kalau berkenan dipetakan ya bisa. Bersamaan dengan itu, dalam upaya menciptakan generasi yang sayang keluarga, sila riset juga kebahagiaan keluarga, pendidikan anak, dan lain-lainnya. Simpel pun, bagaimana mungkin negara membiarkan bocah yang ditunjang dengan uang negara (even itu cuma beberapa puluh ribu sebulan) harus berhenti ASI eksklusif, harus jauh-jauhan sama orangtua, harus jadi korban rumah tangga LDR? Ya, ini kan cuma usulan, mengingat angka perceraian dan selingkuh di Indonesia ini sudah semakin tinggi. Ingat, negara yang baik, berasal dari keluarga yang baik.

Ah, tapi siapalah saya ini. Cuma penulis belum laku yang nggak nulis-nulis lagi, belum kawin pula. Mana ada Pak Presiden membaca tulisan ini, wong tanda tangan Peraturan Presiden percaya saja sama Pak Bambrod kok. Heu.

15 thoughts on “Pilihan Menjadi PNS dan Pengorbanannya”

  1. Cocokk.. mewakili kegalauan hatiku pak , masih cpns dan harus ldran sama bayi dan suami. Rasanya pengin kabur aja dan balik ke keluarga. Sepertinya keputusanku salah

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.