Tentang Saya dan Mojok Dot Co

Hampir setahun belakangan saya menjelma jadi manusia serigala yang tidak setampan Aliando. Setiap tengah malam saya melolong, “aduuuhhh, gaji guweh kok segini-gini ajeh..”. Tanpa diduga, sampai ganti Presiden sekalipun, gaji saya ya tetap gini-gini aja. Bisa jadi akan begini terus, sampai Raditya Dika menikah dan beranak dua. Mungkin karena terlalu banyak melolong, saya agak luput ketika sebuah portal atawa situs atawa entahapanamanya bernama mojok dot co lahir.

mojoklogo

Adalah sosok Jonru yang mengantarkan saya kepada Mojok. Di timeline FB saya, ada seorang kenalan, walau di FB disebut ‘Friend’ tapi saya sih nggak ngerasa dia kawan, yang adalah pengikut Jonru, hingga mengkopas segala status Jonru ke statusnya sendiri, tanpa menyebutkan sumber. Mungkin dia saking ngefansnya, lupa hakikat menghargai sumber karena merasa dirinya adalah Jonru. Tapi di sisi lain, ada yang anti Jonru beud, saking anti-nya nge-share kiriman di fanspage Jonru terus, hingga akhirnya yang di-anti itu malah jadi lebih terkenal. Saya? Bagaimanapun saya adalah member di penulislepas.com, ketika menjadi penulis hanya berupa mimpi (bukan basah) saya di masa lalu, dan nyaris mendaftar seminar Jonru kalau saja waktu itu saya punya duit.

Tulisan-tulisan tentang Jonru akhirnya membuat saya masuk ke Mojok, dan saya melewatkan aneka tulisan antik. Iya, antik, karena Mojok menjadi tempat ketika semua tulisan ada. Mulai dari tulisan tentang Florence, Jonru, sampai tentang Rangga dan Cinta. Tolong dicatat bahwa di Mojok, Dian Sastro adalah koentji. Dian Sastro tidak sekadar istri Indraguna Sutowo, tapi semacam patron. Di Mojok, jomlo juga diangkat, dipukpuk, dikuatkan, untuk kemudian dibanting. Di Mojok juga saya membaca tentang Singkong PNS dari Arman Dhani, yang kemudian di-counter secara manis manja oleh Rikian Wirantoputri. Bagaimanapun saya tetap mengira bahwa kakak Rikian ini berasal dari Partai Hanura, hingga kemudian saya sadar bahwa dia adalah PNS kekinian.

Tahun 2014, saya memang mencoba untuk menulis tidak hanya di rumah sendiri. Sekadar menulis di blog adalah biasa, di Kompasiana, entah kenapa saya merasa bahwa HL di Kompasiana bukan lagi sebuah achievement, pun trending article. Tulisan saya yang komplit dan menyeluruh tentang kemenangan Brasil, eh, kebalik, kekalahan telak Brasil dari Jerman baru dijadikan HL siang hari, kalah oleh sebuah artikel sejenis yang jadi HL hanya karena dia duluan nulis tentang hasil pertandingan itu. Pun dengan review film Cahaya Dari Timur, tulisan saya yang komplit, kalah HL dari tulisan yang duluan. Admin dulu kiranya lebih baik hati dan tidak sombong, menurut saya begitu. Maka, Kompasiana bagi saya kini adalah layer kesekian untuk menulis. Saya lalu menulis di website Katedral Jakarta, mengirim ke Urban Cikarang, juga ke Hipwee yang memang lagi tren. Nah, ketika ada Mojok, dan melihat modelnya yang memungkinkan kontribusi, bergegaslah saya mikir untuk menulis. Apalagi ketika klik tab ‘Ayo Berkontribusi’ disebut bahwa ada honornya. Kiranya honor ini tidak akan disunat macam honor-honor PNS pada umumnya yang disunat, tapi honor narasumber pejabat tetap eksis berjaya. Dengan tekad sebulat perut saya akhirnya memutuskan untuk menulis di Mojok.

Tapi tentang apa?

Saya hanya membaca dan terus membaca sampai kemudian si Aron Ashab dengan pedenya selfie. Akhirnya saya dapat momen. Sore hari dia heboh, malamnya saya nulis, besoknya tulisan saya sudah terpajang di Mojok, lalu Nody Arizona menghubungi saya dan lantas mengirimkan honor yang dapat memupus dahaga manusia serigala nan kekurangan gaji. Begitulah, untuk sebuah tulisan yang nggak perlu mikir, ternyata bisa masuk, maka saya berketetapan hati menggunakan Mojok sebagai salah satu lahan aktualisasi diri. Tentu, saya tidak akan serta merta menulis suka-suka di Mojok. Harus yang relevan dengan isu terkini, maka kemudian muncul surat cinta untuk Santa Claus dan renungan batu akik, sebagai karya saya di Mojok. Yang ditolak? Ada, karena memang sedang tidak momennya. Saya baca di blog Mojok, bahwa redaksi juga sangat memperhatikan Alexa Rank, jadi saya juga harus menjadi penulis yang peduli keyword. Satu hal yang masih menjadi misteri bagi saya, selain kenapa gaji PNS belum naik, adalah darimana Mojok dapat duit, padahal jelas-jelas tidak menerima iklan, bahkan membayar penulisnya. Di website lain, sudahlah punya iklan, mereka tidak membayar kontributor, karena merasa kesempatan tayang di website yang sudah dilihat jutaan orang adalah sebuah penghargaan yang setara. Well, mungkin bukan ranah saya memikirkan itu, lebih baik saya memikirkan kapan saya kawin.

Lantas, Mojok membuat Mojok Award. Sekadar posting link blog, memajang banner, apa susahnya sih? Maka saya memasukkan link blog yang tidak pernah putus sebulan pun sejak berdiri (kembali) pada Januari 2011 ini ke panitia. Dan secara ujug-ujug, blog saya masuk 50 besar. Kriterianya sih agak sulit, Mojok banget, tanpa pandang posting apapun, frekuensi macam apapun. Maka saya hanya bingung belaka, dan bersyukur karena setidaknya dipajangnya blog saya di 50 besar bermakna saya dapat 1 backlink. Hore!

Hingga kemudian pengumuman 10 besar, oleh Agus Mulyadi dengan muka dipermak tapi tetap tampak jomlonya, eh, blog saya disebut juga. Jadilah saya dapat hadiah, dua buku tebal-tebal (redaksi Mojok tampaknya paham bahwa saya sudah lama sekali tidak baca buku yang tebalnya sebantal) plus piagam! Baru kali ini ariesadhar.com sampai menghasilkan piagam. Blog ini sudah paham dengan aneka kegagalan ketika tulisan idealis kalah oleh yang paham SEO, hingga kemudian saya putuskan untuk tidak menggunakannya sebagai lahan lomba, eh malah dapat apresiasi di Mojok.

Kenapa saya baru menulis sekarang? Semata-mata karena saya baru membuka paket dari Mojok tadi siang, karena sepekan ini saya menyepi di Cilandak. Agak kaget juga ternyata kantornya Mojok itu satu kecamatan dengan kampungnya Bapak saya, plus EA Books yang menerbitkan ‘Mengantar Dari Luar’ ternyata ada di Jakal Km. 7 mlebu blusuk, yaelah, kenapa nggak dari dulu saya kenal oknum-oknum Mojok ini? Ketika Jogja belum banyak hotel kampret, ketika saya belum meninggalkan Jogja? Wong, kantornya dekat-dekat dengan rumah Simbah. Baiklah, redaksi Mojok kiranya adalah sasaran tepat untuk didolani kalau pas di Jogja, mengingat saya sudah delapan bulan nggak ke Jogja, bulan depan lahiran, gan! Tulisan ini juga menjadi yang perdana di bulan penuh tjinta, ketika jomlo-jomlo harus menepi di dalam kekelaman bernama Valentine. Ciye!

Advertisement

3 thoughts on “Tentang Saya dan Mojok Dot Co”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.