My Awesome Boss

Saya adalah orang yang tidak pernah setuju pada novel “My Stupid Boss”, makanya saya tidak pernah membeli buku kondang itu, pun tidak mengirim naskah ke salah satu edisinya yang membuka peluang kontribusi dari pembaca. Ini sikap saja, setiap orang boleh berbispak, eh, bersikap berbeda. So, no offence buat penggemar MSB ya.

20606044-cartoon-boss-man-set-angry

Karena saya baru sadar bahwa posting bulan ini baru sebiji, kebetulan pula habis ber-WA-ria dengan seorang kawan berlatar belakang sama, eks company besar, tetiba saya ingat bos-bos yang pernah saya ladeni. Dalam karier saya yang hampir 5 tahun, tidak banyak memang jumlah bos yang pernah saya rasakan kepemimpinannya. Hanya 3, dan itu lelaki semua. Tapi, entah kenapa, saya memang selalu dianugerahi bos unik. Bukan bos yang lempeng saja. Menjadi unik, karena karier saya pada akhirnya jadi lebih berwarna. Berikut saya mencoba mengulas ketiga eks bos saya itu, namun dengan inisial saja ya. Yang pernah sekantor sama saya pasti langsung paham.

IWP

Ini bos pertama saya. Benar-benar pertama hingga saya tidak tahu caranya menghadapi bos itu seperti apa. Saya diterima karena kayaknya gape Excel, padahal cuma bisa SUMIF dan COUNTIF. Di bulan pertama saya bekerja, dihajar habis-habisan. Disuruh baca buku Vincent Gasperz dan setiap Jumat disuruh presentasi. Agaknya Pakbos kelahiran 1971 ini tahu saya masihlah orang yang kosong karena memang baru lulus. Pada meeting pertama, Pakbos menyebut saya sebagai ‘peluru baru’. Sebuah apresiasi yang luar biasa untuk pria kurus kering yang baru menjejak kota Serambi Musi.

Susah payah saya belajar buku itu sepanjang hari. Menurut ngana, siapa yang tidak ngantuk kalau gawean sehari-hari cuma baca buku, nggak mudeng pula? Saya sempat iri sama kawan-kawan seruangan yang tampak sibuk sana-sini. Saya memang orang yang tidak terlalu bisa belajar textbook dan lebih suka learning by doing. Makanya, dalam gagal bercinta, saya juga learning by doing. Tenang saja.

Setiap Jumat adalah neraka bagi saya, karena saya digoblok-goblokin semacam tidak tahu apa-apa, karena memang ditanya nggak bisa jawab. Empat Jumat bikin saya makin kurus. Saya beneran nggak tahu akan seperti apa bulan-bulan ke depan. Eh, ternyata, hari pertama di bulan Juni, saya langsung dikasih data, pelajari, hubungi si anu, bikin PR, belajar sama Mbak Herpi. Dan, ya, ternyata belajar buku doang selama sebulan itu berguna banget. Konsep PPIC memang bukan konsep yang bisa dipelajari dengan otak kosong, dan bekal sekadar ngerti Excel dan ilmu farmasi. MPS, MRP, CRP, hingga PO, dan PR bukanlah teori yang nyaman di kepala ketika kita belum mengerti. Tapi begitu ketemu implementasi, baru ngeh!

Bulan Juli, saya ketiban pulung karena officer paling gape bin senior mudik. Iya, saya kemudian didapuk membuat Master Production Schedule untuk salah satu perusahaan farmasi terbesar. Iya, saya yang belum 3 bulan kerja ini. Kagok sungguh kagok, apalagi kemudian muncul beberapa kesalahan. Saya bela-belain Sabtu masuk, lalu bawa laptop kantor ke kosan, ngerjain sampai jam 11 malam, paginya jam 6.30 sudah ikut shift 1 ngantor, begitu terus sampai akhirnya jadi. Dan, entah kenapa, Pakbos nggak marah pada kesalahan yang saya buat tentang produk Alprazolam. Well, sejak saat itu saya mulai ngeh tipe Pakbos.

Pakbos yang ini ngomongnya keras, kalau lagi telepon ke 333, maka seantero ruangan yang open office itu bakal dengar obrolannya. Termasuk dengan lawan obrol, soalnya di LOUDSPEAKER. Suka ngomong kata-kata merendahkan macam “payah”, “gitu aja nggak bisa”, dan sejenisnya, tapi dalam konteks ngobrol ringan. Ketika konteksnya berat, misal saya kepentok di Purchasing, Pakbos akan me-raise isu itu sendiri–dengan saya ada di depannya untuk support data. Puluhan kali saya duduk manis di depannya sambil mendengarkan Pakbos ngobrol sama direktur Purchasing, ratusan kali kalau ngobrol sama Manajer. Pakbos ini memang terbilang keras, tapi tidak pernah nge-blame anak buahnya. Saya pernah berbuat salah fatal sekali, sampai Direktur Marketing mengetik email yang saya masih ingat sekali bunyinya:

Dear All,

Sangat mengenaskan.

#&# (sensor.. hahaha…)

Pakbos marah? Tidak. Justru Pakbos meluruskan hal itu ke Direktur Marketing. Yah, ketika berhadapan dengan eksternal, Pakbos tidak pernah nge-blame anak buah. Kami di PPIC itu selalu satu suara, maksudnya suaranya dia. Apalah artinya remah-remah roti macam saya ketika nyepik di meeting besar. Ketika diberi mission impossible mengurangi nilai inventory sampai nyaris setengah–dengan value yang kalau dikonversi ke gaji saya adalah setara dengan kerja sampai pensiun-reinkarnasi-kerja lagi baru pas–, dan saya bilang nyaris nggak mungkin, Pakbos turun tangan langsung termasuk ketika harus face to face dengan bos Gudang, dengan bos Produksi, dan bos Finance. Pakbos tidak pernah bilang, “Pokoknya saya nggak mau tahu…”

Cuma memang, konsep Pakbos ini adalah marketing oriented. Sehingga perubahan forecast dari marketing begitu diakomodasi. Logis, karena itu opportunity. Tapi bagi orang di PPIC, perubahan semacam ini tidak mudah. Ingat, di PPIC ada bullwhip effect alias efek cemeti. Goncangan di awal memang kecil, sampai ke ujung besar. Makanya, saya pernah sampai opname gara-gara kerjaan, pernah mimpi Cefadroxil datang ratusan kilogram, pernah keliling kota di hari Minggu sore mencari bahan baku yang dikirim CITO.

Memang, perpaduan banyak hal bikin saya membuat Pakbos kecewa karena meminta untuk pindah. Bukan apa-apa, begitu diajak ikut Demand Supply Meeting, rasanya itu kayak pengen mati aja, masak saya pengen mati tiap bulan, Pak? Dipadukan dengan alasan kekasih (sekarang sudah mantan-red), saya akhirnya meninggalkan Pakbos yang sangat baik hati dalam memberi kenaikan gaji itu. Sebenarnya berat, tapi hidup itu pilihan kan?

JMS

Pindah dari tempat lama ke yang baru ini semacam aneh. Pakbos yang baru tidak pernah mewawancarai saya sama sekali. Macam beli kucing dalam karung. Meong! Sesudah dapat bos generasi agak muda, kali ini Pakbos saya tua. Seumuran dengan Rinto Harahap, kelahiran 1949. Sudahlah senior, akademisi pula. S3 lulusan luar negeri. Doktor Rer Nat kalau dieja, gelar itu ada di depan namanya. Dan sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam–makan ayam juga–maka hobinya adalah cerita. Pertemuan pertama saya dengan beliau habis 3 jam, hanya untuk mendengar cerita yang banyak sekali itu.

Mengacu kepada kenyataan bahwa beliau hanya sambilan di Plant Manager, maka wewenang saya menjadi cukup luas. Cukup luas, namun nyaris tanpa arahan. Mengingat setiap step, setiap produk, di pabrik lama selalu dalam tuntutan bos, maka disini saya harus belajar mengelola semuanya sendiri, membuat semuanya sendiri, untuk kemudian melapor kalau ada apa-apa.

Kebetulan saya masuk ke pabrik baru, jadi harus dimaklumi bahwa banyak hal yang terjadi begitu cepat. Kayaknya saya kena karma karena bilang bos di tempat lama suka mengubah cepat-cepat, ternyata itu saya temukan di tempat baru dengan kondisi yang lebih cepat.

Satu hal yang saya suka dari Pakbos ini adalah tidak suka konfrontasi. Ketika ada masalah, tidak langsung nge-blame (sama kayak bos lama), pun tidak bergegas konfrontasi ke pembuat masalah (nah, kalau ini tipe bos lama banget–biar clear). Yang ada di benaknya adalah solusi dan solusi. Perkara perlu konfrontasi, itu nanti, kalau masalahnya selesai. Jadi, kalau saya maju ke Pakbos, maka saya harus siap alternatif beberapa macam, untuk kemudian dibahas dan diputuskan. Termasuk ketika ada produk yang tiba-tiba harus bikin, Pakbos nggak langsung bilang ‘nggak bisa’ atau ‘sulit’, tapi bilang ‘coba dulu’.

Sama pula dengan bos sebelumnya, tidak pernah ada perbedaan pendapat di muka umum. Suara satu bagian adalah sama, kalau ada perbedaan didiskusikan belakangan. Ketika ada sesuatu data yang harus dikerjakan, tidak pernah memberikan tugas tambahan lain, sementara tugas yang awal belum selesai. Yah, dari PPIC ngurus ratusan produk, jadi 4 produk, buat saya sih gampang.

Namanya orang Plant, pasti triknya banyak. Pakbos selalu menekankan ini bukan upaya cheating, tapi upaya mencari solusi. Kalaulah terindikasi cheating, ya dilaporkan ke QA, diputuskan, jalan, bla-bla-bla, kelar.

Pakbos juga suka curhat ke saya tentang hubungan antarpersonal di Plant, maupun bawahannya dengan unit lain. Juga banyak memberikan masukan, utamanya soal attitude. Pernah ada seorang karyawan yang cuma tahan 3 bulan, karena di-terminate, semata-mata melanggar instruksi atasan. Begitulah, berhadapan dengan atasan yang sudah berumur dan berambut putih, berpengalaman di belasan perusahaan pula, nyatanya saya bisa. Dan tolong dicatat, untuk seorang doktor lulusan luar negeri, eks pegawai Dirjen POM, dosen di berbagai universitas, dan pengalaman industrinya segudang, tidak sekalipun saya dicap KURANG AJAR.

Agak berbeda dengan Pakbos lama yang posesif soal cuti, kalau sama yang satu ini indah dunia. Cutilah selama pekerjaan bisa di-handle. Maka, saya akan cuti begitu PO-PO saya atur untuk tidak datang di tanggal saya cuti. Memang, salah satu cuti itu adalah cuti ketika saya tes di tempat baru. Maafkan saya, Pak.

BVH

Bos 1 2 tahun, bos 2 nyaris 3 tahun, bos ketiga ini cuma 2 bulan saja. Sebenarnya tidak baru-baru benar, kok. Pakbos yang ini adalah bos di unit lain, namun juga bos saya dalam konteks Koordinator Internal Auditor. Reorganisasi membuat Pakbos ini membawahi Plant seutuhnya. Mungkin karena cuma 2 bulan, saya lupa Pakbos ini lahir tahun 1978 atau 1979. Ampun, Pak!

Sepintas bagi saya cukup aneh ketika seorang (lagi-lagi) S3 luar negeri, baik ke Indonesia untuk pekerjaan yang bukan bidangnya. Yup, Ph.D tentang supercritical fluida itu nggak banyak, eh, begitu ada disuruh ngurus ISO 22000. Buat saya nggak masuk akal, tapi begitulah perusahaan memutuskan. Remah-remah kerupuk macam saya ya menjalani saja.

Ketika masih menjadi bos unit lain tadi, saya lumayan sering berkonfrontasi. Niat sucinya 1, memajukan perusahaan, tapi caranya beda. Pakbos dengan logika ilmiahnya, saya dengan pengalaman berindustri. Pakbos dengan konsep kebijakan, saya dengan aneka peraturan. Banyak nggak nyambung dan beberapa kali Pakbos saya judge sotoy. Sempat panas juga suasana ketika itu, apalagi penutup jendela belum dipasang, sinar matahari menerobos masuk dengan kencang.

Lambat laun, begitu Pakbos mulai paham soal industri, audit, dan lainnya, namanya juga orang pintar, akhirnya ya bisa juga. Meski ada beberapa aspek yang hanya bisa dimengerti oleh orang lapangan dan masih sulit membawa pengertian yang sama ke atasan–yang tidak banyak turun ke lapangan, tapi slack di masa lalu semakin tereduksi.

Pakbos ini hobi menelepon juga dengan suara nyaring, mirip bos pertama. Hobinya yang mirip lainnya adalah memanggil anak buah ke ruangan untuk diajak ngomong. Sayangnya, pada 2 Januari, untuk obrolan perdana saya sebagai anak buahnya, yang saya bicarakan adalah, “Pak, saya mau resign”. Agak-agak ironis bin kapitalis, memang.

Karena kebetulan asli dari kota tempat saya pernah tinggal, sebenarnya obrolan kami cukup enak. Ya, terbilang nggak ada masalah berarti kalau dengan atasan. Masalah saya hanya pada seseorang setara yang pada akhirnya membuat sebuah kompilasi yang berujung pergi.

Yup, saya belajar ada bos-bos yang keren, pintar, dan berpengalaman. Sungguh beruntung tempat-tempat lama saya memiliki mereka. Setidaknya, bos yang tidak hobi nge-blame anak buah (terlebih di depan umum), yang kalau merasa ada masalah dengan lingkungan kerja yang kemudian dilakukan bukan nge-blame tapi mengajak ngobrol personal, dan yang tidak pernah bilang ‘pokoknya saya nggak mau tahu’ adalah bos yang awesome kalau menurut saya. So, kalaulah ada kejadian yang terbilang stupid, buat saya itu sekadar cerita bos menyebalkan yang dilontarkan sambil main PS, sambil karaokean, atau sambil ngudap gorengan di depan kantor.

Semoga semakin sukses, ya, Bapak-Bapak semua.

Advertisement

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.