Suatu kali saya mengikuti sebuah kegiatan berbasis kerelawanan, namanya Kelas Inspirasi. Sebuah kegiatan yang merupakan anak dari Gerakan Indonesia Mengajar ini membawa kembali para profesional ke SD, berbagi tentang pekerjaan mereka ke SD-SD yang diusahakan adalah SD dengan kalangan murid menengah ke bawah. Diharapkan dengan kembali ke kelas-kelas, ada inspirasi yang bisa dibagi dengan para anak-anak itu. Suatu kali, diharapkan cita-cita seorang anak bukan lagi sekadar dokter, pilot, polisi, dan pemain bola, namun juga apoteker, design interior, penulis, wartawan, engineer dan lain-lainnya.
Saya ikut 2 kali, KI 2 dan KI Bekasi. Sebenarnya hampir 3. Saya bahkan sudah ikut brainstorming perdana fasilitator KI4 sebelum tetiba surat tugas membawa saya justru ke Ciawi pada Hari Inspirasi berada. Jadilah saya memilih resign, daripada memaksakan diri tetap ikut tapi hilang secara fisik. Ada satu hal yang saya dapati selama mengikuti Kelas Inspirasi–pun beberapa kegiatan kerelawanan lepas yang sempat dan pernah saya ikuti. Hal itu adalah semangat positif. Berada di antara ribuan orang dengan semangat positif itu jujur rasanya berbeda.
Waktu KI Bekasi dikumpulkan dengan KI lain se-Jabodetabek, Pak Hikmat sang dedengkot IM pernah bilang bahwa hitungan dana yang dikeluarkan dalam sebuah KI itu bilangannya Miliar. Ini bukan uang IM, lho. Ini adalah uang yang dikeluarkan oleh relawan untuk menyiapkan bahan ajar, untuk membuat acara yang menarik dan tetap dalam koridor nilai-nilai dasar KI, dan duit-duit lain yang relevan dengan itu. Ketika saya ikut KI 2, pernah ada yang bertanya, “dibayar berapa?”. Sebuah pertanyaan yang sungguh lucu ketika saya justru yag mengeluarkan uang itu bolak balik Cikarang-Palmerah dengan tenang dan nyaman. Apalagi menyimak percakapan kakak-kakak di grup Fasilitator KI4 yang memang tidak saya kiri, eh, left. Sengaja, biar semangat positifnya tertular. Sekarang saya kalau mau clear chat di grup itu, malah HP saya yang error. Beliin dong, Kak!
Pada saat bersamaan, yang kita lihat adalah dagelan bernama MKD di Senayan. Ketika siapalah itu yang namanya mirip sama pemberontak jaman pasca kemerdekaan justru lebih gilang gemilang di dunia persidangan. Ketika orang yang tanpa kompetensi menghakimi, justru menghabiskan waktu orang-orang penting di lingkungan masing-masing hanya untuk berdebat: putar, kagak, putar, kagak, yang lantas diakhiri voting. Keponakan saya yang belum TK saja mungkin bisa lebih cepat untuk memutuskan sesuatu. Belum lagi dagelan berikutnya, ketika grand final digelar tertutup. Yah, menurut ngana saja, kalau Liga Champions digelar setengah mati, tapi begitu finalnya sunyi senyap karena digelar tertutup. Ada klimaks?
Itu baru MKD, belum menghitung perkataan Pak Wakil yang kira-kira dapat diartikan bahwa buruh itu datang-kerja-digaji (sedikit) dan anggota (nggak harus) datang lalu (paling juga nggak) kerja hingga kemudian digaji (banyak). Belum lagi membahas tentang adegan berduaan di kamar hotel. Masih juga menyimak tentang Undang-Undang KPK yang entahnya siapa yang mengajukan, mungkin Vladimir Putin, saking lempar-lemparannya nggak ada yang mengakui benar-benar.
Miris, sungguh miris, ketika justru kepada orang-orang itulah nasib negara ini digantungkan! Dua ribu dua ratus triliun–yang enam ratusnya katanya lagi dicari hutangannya–berada dalam RAPBN yang akan disahkan ya oleh orang-orang itu. Budiman Sudjatmiko dalam cuitannya berkali-kali-kali-kali bilang bahwa masih banyak anggota yang baik. Namun kalau boleh nanya, kalau memang ada, kok nggak kelihatan? Yang kita lihat setiap hari di Metro TV adalah Junimart Girsang yang ngomong hal yang sama setiap hari. Demikian pula ngomongin orang (Sudirman Said) di TV One. Dan tentu tidak lupa menyimak Spongebob yang penuh editan di Global TV. Saya masih percaya bahwa dari lima ratusan anggota itu pasti ada yang baik, hanya saja yang dicari disini adalah kerja dan suaranya. Katanya, negeri ini hancur bukan karena banyaknya orang jahat, namun karena orang baik memilih diam dan mendiamkan.
Seketika saya ingat para relawan itu, menghabiskan waktu yang kalau divaluasikan sangat mahal untuk berbagi ilmu, untuk melayani masyarakat, untuk berbuat sesuatu kepada lingkungan dan sesama. Kalau DPR begitu mudah minta naik gaji meski output kerjanya belum kelihatan mentereng, orang-orang baik bernama relawan itu bukan minta, namun mengeluarkan gajinya untuk diberikan. Tidak hanya gaji, bahkan. Waktu juga dikasih, ilmu tidak kurang-kurang. Mereka adalah orang-orang yang begitu setia pada perkara-perkara kecil, sehingga saya sangat yakin mereka akan menjadi orang-orang yang amanah dalam perkara besar.
Maka suatu kali saya membayangkan anggota DPR itu adalah orang-orang yang terlibat di Komunitas Akademi Berbagi, Berbagi Nasi, Nebengers, Sabang Merauke, Kelas Inspirasi, Indonesia Mengajar, dan lain sebagainya. Saya membayangkan bahwa DPR tentu tidak akan diisi oleh pemburu rente atau apapun istilahnya, melainkan oleh orang-orang baik yang selain berpemikiran maju namun juga berhati mulia.
Teten Masduki bilang beberapa waktu yang lalu di media massa, bahwa ketika ICW berdiri, dia seperti kereta menghantam tembok. Ya, mengubah dari luar itu sangat mungkin, tapi bisa juga sangat sulit. Ini kan ibarat ada gedung tinggi dengan kaca-kaca yang pecah di lantai 16. Orang dari luar kalau mau mengganti, harus memanjat dahulu. Mending kalau sampai. Sedangkan orang dari dalam itu butuh effort yang sama memang, namun dengan naik tangga atau lift, bisa saja kaca itu dibenahi dengan baik dan adekuat.
Seperti saya pernah tulis di Voxpop, ketidakpedulian kita sungguh tidak bermakna apa-apa. Bayangkan, kita teriak-teriak di media sosial, tanda tangan petisi di change.org, memangnya Bapak Setya Novanto mendengar? Sana saja tanda tangan apalah itu supaya belio mundur, memangnya belionya mau? Berteriak saja tampak tidak berguna, apalagi kagak teriak?
Maka, sungguh, saya membayangkan bapak-ibu-mas-mbak relawan sedang merintis jalannya sendiri dari sekarang untuk kemudian terjun ke politik dan lantas terpilih jadi anggota DPR periode 2019-2024. Kalau begitu adanya, saya berani jamin nggak akan ada pemburu rente dalam jajaran anggota DPR, apalagi jajaran pimpinan. Jajaran MKD? Ah, sudahlah, bule-bule mungkin bingung apapula MKD sampai bisa jadi TTWW yang ngetop dan hits. Jadi, mau ya bapak, ibu, mas, dan mbak?
Sungguh, saya sendiri berharap kepada kalian, bapak-ibu-mas-mbak. Yakinlah bahwa kebaikan yang kalian tebarkan ketika menjadi relawan akan berlipat ganda dampaknya ketika kalian ada di DPR. Menghadapi kepala sekolah resek, birokrasi kampretos, dan lain-lainnya kalian mampu hanya untuk dapat berbuat baik, masakan menghadapi ganasnya politik tidak? Mengharapkan regenerasi politik? Ketua partai cuma satu, dan anak ketua partai juga nggak banyak. Maka regenerasi politik via partai politik sungguh suram untuk diharapkan. Sila bapak-ibu-mas-mbak bergabung dengan partai-partai yang ada, dan rintislah jalan menuju ke DPR, masih lama kok 2019 itu.
Ini sama sekali tidak satir. Saya menulis ini sungguh-sungguh karena menurut saya tiada lagi yang bisa diharapkan untuk mengubah selain para relawan yang terlibat di kegiatan apapun. Mengharapkan mahasiswa? Sudirman Said melapor ke MKD kapan, demonya kapan. Lagian belum tentu tahun 2019 skripsinya yang berisi nama mantan dalam halaman persembahan itu kelar. Mengharapkan anggota incumbent? Monggo kepada yang benar-benar baik untuk maju kembali. Mengarapkan Ceu Popong? Kasian, belio sudah terlalu uzur untuk mencalonkan diri lagi.
Maka, hanya kepada kalianlah para relawan, nasib bangsa ini bisa dipercayakan. Karena kalian begitu tekun dalam setiap karya, ganjarannya adalah tanggung jawab yang lebih tinggi dan lebih membawa kebaikan kepada masyarakat yang lebih luas. Semoga berkenan, dan ketika kalian berkenan saya berdoa dengan sesungguh-sungguhnya: semoga kalian berhasil!
artikel bagus
LikeLike
tarimo kasih…
LikeLike
pastinya mantap kalau relawan yg jadi angota DPR
LikeLike
Sayangnya pada ogah.
LikeLike