“Yang ini bagus, Say.”
Dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan berhenti di hadapanku. Mata mereka masing-masing tertuju ke arahku. Kumaknai adanya sebuah rasa penasaran dalam tatapan mereka kepadaku. Sejurus kemudian, mereka berdua saling berpandangan. Sedetik berikutnya, tangan si laki-laki sudah mendekat ke arahku.
Tangan kokoh itu akhirnya sampai juga di tubuhku. Dibelainya sejenak, kemudian direngkuhnya tubuhku yang mungil ini dan dibawanya mendekat ke arah kedua bola matanya.
Kurasakan tatapan matanya memandangi setiap centimeter tubuhku dengan saksama. Ada rasa enggan di dalam diriku. Aku mulai tidak nyaman dengan keadaan ini. Masalahnya, aku tidak bisa berontak, protes, atau apapun. Tugasku memang hanya diam.
“Boleh juga. Coba cari yang lain dulu ya, Say.”
Perlahan, tangan kokoh itu membawaku kembali k posisiku semula. Rasa syukur muncul dalam benakku. Ya, walaupun sejatinya aku boleh dimiliki oleh siapapun, tapi selalu ada rasa hendak memilih seseorang yang berhak memilikiku.
Sepasang kekasih itu akhirnya berlalu dari hadapanku, mungkin hendak mencari yang lebih sesuai dengan keinginan mereka.
Lalu lalang manusia menjadi sesuatu yang biasa bagiku. Berposisi tepat di depan pintu masuk adalah takdir yang tidak bisa dielakkan. Dan tentu saja, siapapun yang hendak masuk ke tempat ini, pasti akan melewatiku. Syukur-syukur ada yang menengok sebentar dan tampak tertarik padaku.
Sebuah keseharian yang perlahan membuatku terbiasa. Sebuah pengalaman yang pada akhirnya mampu membuatku memahami, sosok yang menurutku pantas untuk memilikiku.
Tapi sekali lagi, aku tidak berada pada posisi memilih, karena aku hanya bisa dipilih.
Tiba-tiba, seorang gadis muda–sendirian–mendekat ke arahku. Badannya yang mungil lantas membungkuk sehingga posisiku dan wajahnya cukup dekat. Tangannya kemudian terjulur membelai tubuhku.
Dan aku merasakan sebuah kehangatan yang lain.
Diam-diam kuintip tatapannya kepadaku. Ehm, kurasakan sesuatu yang lain dari pandangan yang muncul dari dua bola mata yang sedikit berkantong mata itu. Tangannya membolak-balik tubuhku dengan ringan.
Lima menit ia terdiam sambil memegang tubuhku, dan aku merasa nyaman. Bolehkah aku meminta untuk dimiliki orang gadis ini?
Sejenak tubuhku berpindah ke tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang handphone flip yang barusan dirogoh dari sakunya. Aku hanya dapat mengamati jemarinya beraksi di keypad. Dan karena takdir pula, aku tidak berhak bertanya tentang kegiatan yang ia lakukan.
Tiga menit ia asyik dengan handphone flip itu dan kemudian menutup kembali handphone putih itu. Kulihat senyum manis tersungging di bibirnya, bertambah indah karena sebuah tahi lalat kecil di dekat bibir itu.
Pertanda apakah ini?
Tubuhku kembali berpindah ke tangan kanannya. Kurasakan sedikit pertanda baik untuk perpindahan ini. Perlahan gadis manis ini melangkah menjauh dari tempatnya berdiri semula. Langkah itu semakin menjauh dan kutengarai mendekat ke sebuah tempat penentuan nasib.
Kassa.
Yeay! Aku bersorak dalam hati. Bahwa kembali kutegaskan bahwa posisiku bukanlah untuk memilih, tapi aku selalu ada keinginan untuk memilih seseorang yang hendak memilikiku. Aku hendak dipilih oleh orang yang kuinginkan.
Dan kini, sepertinya, aku hendak mendapatkan keinginanku.
Aku berpindah dari tangan gadis manis itu ke tangan kasir yang sebenarnya tidak kalah manisnya. Dalam waktu yang teramat singkat, aku sudah berada dalam tempat khusus yang siap membuatku mudah dibawa. Pada saat yang sama, gadis manis itu menyerahkan sejumlah uang. Dan sejurus kemudian, aku kembali ke tangannya.
Tangan kanan gadis manis itu menyambutku dari tangan kasir. Pada tangan yang sama, ia juga memegang handphone flip yang tadi kulihat. Sejenak kubaca teks yang ada di layar yang cukup lebar.
“Barusan membeli Perahu Kertas, walaupun udah pernah baca tapi minjem.”
Dua langkah sesudah meninggalkan kasir, aku dipindahkan ke tangan kiri. Sementara tangan kanannya menyelesaikan pesan singkat yang isinya sudah kubaca itu.
Sebuah proses transaksi selesai, dan aku telah menjadi milik gadis manis ini. Nanti aku akan tahu namanya dan tentu saja kehidupannya. Dari tatapan dan senyumnya, aku membayangkan akan menikmati sebuah petualangan tentang mimpi dan hati, persis dengan yang tertulis pada diriku.
Inilah kisahku, sebuah novel Perahu Kertas.