Sejujurnya aku sedang mengalami sebuah penyakit yang dalam ilmu kefarmasian perdolanan dikenal sebagai tengeng. Ya, itu sebuah penyakit ketika sesuatu–iya sesuatu banget–terjadi pada bagian tulang belakang sehingga kita tidak bisa menoleh dengan normal. Agak-agak sakit gimana gitu kalau noleh.
Nah, sehubungan dengan penyakit tengeng ini, mendadak aku ingat sebuah azab yang kulanggar beberapa hari yang lalu di grup Whatsapp. Ada sebuah azab yang ternama di kalangan dolaners bahwa jangan sekali-kali menghina alias ngece seorang tokoh di Dolanz-Dolanz.
Ya, jangan sekali-kali ngece Yama!
Pengen tahu riwayat dari azab ini? Mari kita simak.
* * *
Seperti biasa, anak Dolaners pasti menghabiskan diri dengan nongkrong di perpustakaan dan mempelajari buku-buku tebal serupa Farmakope Eropa guna menunjang ilmu selama kegiatan perkuliahan.
Ehm, percaya?
Nggak? Syukurlah. Apa yang aku wartakan tadi bukanlah sebuah kebenaran yang reguler. Hal itu hanya terjadi ketika misalnya, besok laporan dikumpul atau nanti siang ujian. Biasalah, namanya juga anak muda.
Yang benar adalah anak Dolaners akan menghabiskan diri dengan nongkrong di hall belakang, mengamati pemandangan sekitar yang indah nan permai seperti di kebun bunga. Tentunya sambil menyaksikan anak-anak Psikologi yang lewat serta mengabaikan anak-anak Teknik yang juga ikutan lewat. Rerata Dolaners adalah lulusan sekolah homogen, sehingga urusan ‘melihat lelaki sepanjang hari’ itu kebanyakan sudah paham, dan cenderung bosan.
“Iki Yama ngendi?” tanyaku sambil duduk nglekar di tangga. Aku sendiri berasal dari kelas C, bersama Toni dan Roman, alias tidak sekelas dengan Dolaners lain yang rerata adalah kelas B.
“Jarene nyusul,” jawab Chiko, seadanya.
Oiya, Dolaners yang dari tipe gadis entah sedang kemana, jadi yang berkumpul di tempat ini hanya Dolaners batangan. Dan, yang namanya lelaki berkumpul, obrolan pasti nggak jauh-jauh dari cewek dan segala hal saru lainnya. Kalaupun ada yang lain, tentu saja, sepakbola.
Dari kejauhan kuliah sosok separuh gondrong, nanggung nggak jelas, semacam perpaduan antara Rangga di Ada Apa Dengan Cinta serta Gie dalam film Gie. Cuma ini versi KW3-nya.
“Kae Yama dudu?”
“Iyo ketoke.”
Sosok gondrong itu mendekat, dan betul sekali bahwa yang datang memang bukan Rangga AADC. Pantas saja nggak ada cewek yang mengerubungi dari tadi. Kalau lalat sama tawon, ada.
“Heh, kok tumben rupamu dadi elek ngono?” tanya Bona, begitu Yama duduk di tangga belakang bersama yang lainnya.
“Lha, biasane?” timpal Chiko dengan tanya lainnya.
“Elek banget.”
Spontan ngakak abis! Dan semakin ngakak ketika kemudian tampak fakta bahwa si Yama ini sedang tengeng. Bona yang tampaknya melihat fakta unik ini kemudian mencoba menggoda dengan memanggil Yama yang sedang melihat ke depan.
“Yam?”
Yang dipanggil memiringkan punggungnya, dan menoleh sedikit, serta mengandalkan mata untuk melihat Bona. Tentu hasilnya tidak sempurna.
“Lagi tengeng po kowe?” tanya Chiko.
“Ketoke,” jawab Yama, santai.
Dan pada akhirnya tengeng ini menjadi bahan obrolan selanjutnya. Sampai kemudian jadwal kuliah, jadwal fotokopi, dan jadwal pacaran (khusus yang punya) membuat rombongan ini harus berpisah.
* * *
Beberapa hari kemudian adalah hari Sabtu. Ini harinya Squadra untuk bermain sepakbola. Dan beberapa Dolaners ikut di permainan berebut sebiji bola ini. Aku datang agak telat tentunya karena Alfa yang hanya bisa melaju di kecepatan maksimal 40 km/jam. Mana sebanding Alfa ini dengan Ninja Hijau atau Shogun Merah?
Begitu aku masuk ke area lapangan, bukan kegiatan pemanasan yang kutemui, tapi kegiatan evakuasi. Jiah, ada apa pula ini?
“Ngopo e?” tanyaku pada Chiko yang lagi sibuk menangani seseorang yang sedang kesakitan dengkulnya. Eh, ini Bona ternyata.
“Mlengse.”
Maka kegiatan pemanasan itu menjadi heroik untuk menangani dengkul striker dengan skill mumpuni ini. Permainan baru dimulai ketika Bona masuk ke mobil Kijang merah yang disetiri oleh Bapaknya. Mari berdoa supaya Bona tidak dimarahi Bapaknya karena ngeyel masih main bola. Mari berdoa pula agar Bona tidak dimarahi pacarnya, juga karena masih ngeyel main bola. Amin? Amin!
“Efek ngece Yama, ketoke,” kata Toni sambil terengah-engah dan minum air yang dituang dari galon.
“Bisa jadi.”
“Sesuk ojo ngece Yama meneh.”
Demikian kesimpulan hari ini, sebuah peristiwa yang memperlihatkan perkara azab dari seorang Yama.
* * *
“HPmu kok elek men?” tanya Yama padaku ketika melihat HP Nokia 2100-ku yang semakin antah berantah bentuknya.
Sebuah pertanyaan wajar karena beberapa bagian dari HP ini sudah rompal. Belum lagi HP ini masih satu warna dan masih monophonic pula. Cuma satu keunggulan HP-ku, setidaknya selalu ada pulsa.
“Yo, ngko ndelok ae,” ujarku menanggapi pujiannya pada alat komunikasiku satu-satunya ini.
“Lha, wis HP elek, motor sisan.”
Nah, kalau perkara si Alfa ini jangan dipertanyakan lagi. Dari sisi apapun dia memang sudah pantas untuk dihina dina. Kecepatan maksimal 40 km/jam, asap mengebul bak fogging demam berdarah, hobi diservis, dan segala kegilaan lainnya mulai dari susah hidup sampai susah mati. Nggak ada pembelaan kalau ini.
Kadang aku mengelus dada (sendiri) pada nasibku. Apalagi ketika kemudian Yama menyebut hinaan ketiganya dalam sehari.
“Iki nonton TV opo ngrungokne (mendengarkan) TV?”
Yeah, di kos-kosanku memang ada sebuah TV Anaco, adiknya Anaconda. Dan karena murahan memang layarnya menghitam dan hanya bisa ditonton oleh orang berhati mulia dengan amal perbuatan yang sudah banyak. Cuma, ya, sudah jelas kos-kosannya begini, titisan gagal Rangga AADC ini ya tetap aja nebeng tidur siang di kamar kosku.
Dasar tidak bersyukur dan karena memang baru saja punya pacar, Yama mengeluarkan hinaan terakhir ketika pamit.
“Sik yo Zonk, mbojo sik, duwe soale.”
Kampret! Empat hinaan mutlak dilemparkan kepadaku oleh orang yang sama, dalam waktu yang sama.
* * *
Nah, ada satu hal yang kemudian menjadi kepercayaan di kalangan Dolaners. Bahwa kalau kita diece sama Yama, maka segala sesuatu akan baik adanya. Sebuah kesimpulan yang diambil dari kenyataan yang aku peroleh.
Nggak lama sesudah Yama menghina dina TV-ku, si Anaco, kabar gembira diterima. Aplikasi beasiswaku diterima, sehingga kemudian aku bisa me-refund uang semester yang sudah terbayarkan. Sebuah nominal yang lumayan untuk kemudian membeli sebuah monitor baru, berikut TV Tunernya.
Yeah!
Dan biar asyik sedikit, aku mengajak Yama sebagai tukang angkut dalam proses membeli monitor di pameran komputer ini. Rasain!
Lalu, rejeki lain mendadak nemplok sehingga ada bugdet lebih untuk membeli HP baru. Maka akupun segera memiliki sebuah HP baru, Motorola L6, yang pasti sudah bisa menyimpan musik, bisa foto, dan tidak satu warna lagi. Hore bener.
Yama mendapati HP baruku ketika sedang makan di Warung Padang yang handal (harganya).
“Wuih, HP baru kowe?”
“Pastinya!” kataku dengan senyum kemenangan sambil memasukkan HP baru ke kantong khusus, takut lecet gitu.
Rentetan kabar baik belum usai ketika menjelang skripsi, aku dikabari bos di rumah berita baik lainnya. Proposalku untuk membeli sepeda motor terkabul dengan indah. Lewat sebuah proses yang agak absurd, aku akhirnya memiliki sebuah sepeda motor Honda Revo, yang kemudian melemparkan Alfa ke peraduannya yang baru. Semoga majikan barunya bisa menerima Alfa dengan lapang dada, baik kebaikan dan keburukannya. Yah, walaupun kebanyakan buruk sih.
Empat hinaan itu akhirnya berakhir ketika beberapa bulan sesudah punya Revo, aku akhirnya punya pacar (lagi).
Sesudah poin keempat ini, aku menghitung kembali proses ngece yang dilakukan Yama, dan kejadian yang terjadi sesudahnya. Maka aku mengambil kesimpulan bahwa kalau kita diece sama Yama, maka berkah sudah menanti.
* * *
Percakapan di grup Whatsapp, bertahun-tahun kemudian.
Yama: Mesti kowe jomblo, zonk
Toni: zonk, kowe diece Yama
Zonk: syukurlah, matur nuwun lho
Yama: yowiz, di list wae opo meneh sik arep tak ece
Demikianlah yang terjadi. Sejauh ini, aku tidak mempercaya kebenarannya, tapi geleng-geleng melihat buktinya.
🙂