Sesudah Hujan

Dua orang sedang berantem di atas kereta api yang sedang melaju kencang. Di kejauhan seorang wanita tampak membidikkan senapan sambil berbincang dengan seseorang yang lain via headset. Wanita itu tampak ragu, tapi seseorang di tempat lain dengan tegas berkata, “shoot!”.

Wanita itupun menembak dan satu dari dua orang yang ada di atas kereta api itu terjatuh, jauh ke bawah. Terhanyut di sebuah air terjun.

Oke, FINE! Aku kurang paham maksud hati kru bis Pantura ini untuk memutar Skyfall persis jam 12 malam. Ya secara biologis jam segitu adalah waktu tidur, dan bayangkan saja di tengah tidur-tidur ayam–namanya juga tidur di bis–aku masih harus mendengar jedar jedor suara tembak-tembakan James Bond dengan musuhnya.

Mungin dia baru beli bajakannya.

Dan entah berhubungan atau tidak, perlahan kaca tebal di sebelah kiriku mendadak basah. Kulihat lebih dekat dan teliti, ya memang semakin basah. Maka sejurus kemudian aku paham bahwa ini adalah hujan. Ehm, hujan di perjalanan Indramayu ke Alas Roban ini tampaknya menjadi lebih menarik daripada Skyfall. Hujan yang dilihat dari sebuah perspektif yang berjalan, sekaligus hujan yang tidak bisa dirasakan. Inilah sebenar-benarnya melihat hujan. Dan bagiku, melihat hujan akan secara otomatis membangkitkan memori tentang dia.

Dia yang seharusnya sudah aku lupakan.

Glodakkk…

Kepalaku sedikit terantuk ke kursi empuk di depanku. Mataku bangkit dari terpejam. Ah, aku terbangun rupanya, mungkin ada lubang di jalan. Lagipula, persis di bawahku adalah roda kanan belakang bis ini, jadi sangat wajar kalau aku bangun duluan kalau roda itu masuk ke dalam lubang.

Bis gelap, layar yang tadi memutar Skyfall sudah tidak lagi menyala. Kutarik handphone yang sedang di-charge dengan powerbank di dalam tasku, jam 04.01.

Hujan berhasil mengantarkanku pada sebuah suasana tidur yang lumayan nyenyak–untuk konteks sebuah perjalanan darat.

Kulepas handphone hitam itu dari powerbank. Kadang aku berpikir, sebegitu tergantungnya aku dengan benda-benda ini. Aku sendiri tidak pernah bisa lagi membayangkan ketika ayahku, puluhan tahun silam menempuh perjalanan darat selama seminggu penuh dari Sumatera ke Jawa. Dan aku tahu benar, dia tidak membawa powerbank, tapi dia bisa sampai dengan selamat dan–ya–tetap bisa hidup. Aku? Tanpa handphone dan powerbank ini, hidupku mendadak gundah. Sebuah ketergantungan yang buruk pada ciptaan sesama manusia.

Selesai rangkaian powerbank itu masuk rapi ke sarangnya, kepalaku kembali mencoba menikmati perjalanan dan pemandangan yang ada di sekitarku. Suasana pagi buta, bagiku adalah sebuah suasana yang khas. Dulu, ketika isu keamanan belum mengemuka, aku sering keluar dari kos pada pagi-pagi buta, sekadar berkeliling kota. Melihat tukang becak tidur di emperan Jalan Mangkubumi, melihat sepeda-sepeda onthel yang dikayuh manusia paruh baya di Ring Road Utara, hingga mengamati orang seusia nenekku masih dengan setia menggendong keranjang rotan ke pasar.

Suasana pagi buta ini pula yang mengingatkanku pada suatu hari, ketika aku terjaga, bergerak, dan mendapati kenyataan bahwa aku sudah seharusnya melupakan dia.

Lagi-lagi dia.

Kaca di sebelah kiriku secara perlahan memberikan terang. Yah, matahari telah terbit, dan pada saat yang sama hujan masih saja turun dengan perlahan. Aku terpekur melihat warna hijau di sisi kiri jalan ini. Inilah jalur yang seringkali kudengar ketika menonton berita arus mudik. Alas Roban.

“Istirahat! Makan!”

Kondektur meneriakkan kedua kata tersebut begitu bis parkir di depan sebuah restoran. Matahari sudah bersinar terang dan bis ini baru keluar dari Alas Roban? Mau sampai Jogja jam berapa ini? Aku mulai merasa pasrah, karena sejatinya aku ada janji jam 12 siang nanti. Semoga masih terkejar.

Bresssss….

Persis ketika aku menginjakkan kaki di teras restoran, sejumlah besar volume air tumpah dari langit. Hujan. Ini hujan yang sama dengan yang aku lihat tadi, tapi ini adalah hujan dengan perspektif yang berbeda. Ini adalah hujan yang kurasakan.

Maka hawa dingin melingkupi restoran ini seketika. Akupun bergegas merogoh saku dan menghitung helai-helai kecil isi kantong untuk kemudian membeli popmie. Sedikit mengelus dada ketika tahu harganya dua kali lipat harga Jakarta. Mungkin memang harga air panas di dekat Alas Roban ini adalah Rp. 4000.

Inilah pemandangan paling sentimentil. Berdiri menghadap parkiran bis yang luas–tapi kosong, sambil menyeruput kuah dengan rasa yang khas, plus memandangi hujan, serta mengingat dia.

Sekelebat dan semakin jelas, dia muncul kembali.

Kutepiskan kehadiran itu, karena aku sendiri yang memutuskan untuk melupakan dia. Untunglah kru bis segera bersiap dan perjalanan dilanjutkan kembali. Aku cukup lelah karena mengamati pagi buta, dan kini saatnya aku meringkuk manja dalam balutan selimut hijau bis Pantura ini.

Tulang belakangku mulai lelah. Sudah 12 jam aku berada dalam posisi yang sama. Dia berontak dan menyebabkanku terbangun. Dan ini masih di satu kota sebelum Jogja.

Lama banget sih!

Kesadaranku perlahan pulih sampai kemudian aku tersadar kalau bis ini sedang berhenti dan supir bis baru saja berlalu di sebelah kananku. Supir juga manusia, dia pasti kebelet pipis. Kepalaku kembali ke sisi kiri dan mendadak sadar kalau bis ini berhenti di sebuah tempat, yang sangat dekat dengan–lagi-lagi–dia.

Kini aku tidak bisa berkelit karena aku tahu benar tempat ini. Tempat dimana aku sempat berharap, untuk kemudian harapan itu padam seketika semata-mata karena harapku terlalu tinggi. Dalam hal cinta, kita boleh bermimpi tinggi tapi tidak boleh berharap terlalu tinggi. Sebuah pelajaran penting yang aku pahami sesudah kejadian suatu sore di tempat yang tidak jauh dari bis ini berhenti, bertahun-tahun silam.

Kenapa mendadak perjalanan ini menjadi tentang dia? Padahal sepanjang jalan ini aku juga asyik bertukar pesan BBM dengan seorang gadis manis yang selama beberapa bulan ini akrab denganku. Seorang gadis yang kukenal tidak lama sesudah aku memutuskan untuk melupakan dia.

Ya, dia. Dia yang mendadak muncul kembali dalam setiap penglihatanku.

Dan aku mendadak perlu kaca ketika aku mengutuk kemacetan di jalan masuk Jogja ini. Kenapa perlu kaca? Karena aku mengutuk plat-plat asing non AB yang mendadak memenuhi jalanan Jogja. Mereka ini menuh-menuhin jalan! Dan kaca itu kuperlukan karena aku sendiri juga adalah pendatang yang dalam waktu singkat akan membuat Jogja semakin penuh.

Kalaulah aku tidak hendak melihat saat bahagia temanku, maka perjalanan ke Jogja pada saat liburan akhir tahun adalah opsi terakhir untuk dipilih. Bahkan dulu waktu aku masih tinggal di kota penuh kenangan inipun, aku–si makhluk sunyi–lebih memilih berdiam di kota mati di sekitarku daripada terjebak macet oleh plat luar kota di jalanan. Sigh!

Jalanan merayap ini akhirnya berakhir juga. Waktu kian mendesak sehingga aku juga bergegas meninggalkan terminal Jombor menuju resepsi pernikahan temanku di sudut lain kota ini. Benar-benar sudut lain, melintang utara selatan. Di perjalanan, aku samar-samar mengingat dia yang sama–yang dari semalam meraja di otakku (lagi). Untungnya aku masih dapat mengendalikan laju sepeda motor sewaan ini. Haha, anggap saja bagian terakhir ini berlebihan.

Resepsi pernikahan teman ini sudah mendekati sepi ketika aku tiba. Masih syukur kalau aku masih bisa melihat segelintir teman yang datang dan kemudian berfoto bersama. Suatu ritus sepele yang sekarang sebenarnya bisa digantikan oleh kreativitas Photoshop. Tapi maknanya itu yang berbeda. Berbeda sekali.

Pernikahan ini milik temanku yang sudah berpacaran enam tahun lamanya. Ehm, sebuah angka yang sama dengan rentang masa aku mengenal dan jatuh cinta pada dia. Ah, suatu kebetulan saja. Momen yang sama menghasilkan dua makna pada dua makhluk yang berbeda. Toh dalam satu momen besar, terjadi momen-momen kecil yang memiliki makna berbeda bagi setiap persona yang mengalaminya.

Makna berbeda, pun dengan nasib. Kalau dia bisa menuntaskan perjalanannya hingga ke pelaminan–dan siap memulai perjalanan baru, maka aku ya semacam ini. Gundah gulana antara (sempat) berhasil melupakan dan kemudian kembali mengingat dia.

Masih saja soal dia yang tidak bisa lenyap dari hati ini.

Mendung menggantung dan aku pamit pulang, ke sebuah tempat penginapan. Tempat biasa tapi sedikit bermakna lebih dalam. Tempat yang ada di sudut lain kota ini.

Ketika aku mengayun tangan di pedal gas, di tanjakan Janti, mendung menggantung itu akhirnya pecah jadi berkeping-keping. Melontarkan volume air yang kusebut hujan. Masalahnya, ini bukan hujan biasa. Ini hujan deras.

Deras sekali.

Bagiku–sejak dulu dan masih kupercaya hingga kini–hujan bukanlah halangan. Petani di masa silam punya rituan khusus memanggil hujan. Kalaulah hujan menghanyutkan (rencana) panen mereka, bukan hujan yang salah, tapi waktu mereka yang tidak tepat. Bahwasanya hujan menjadi sesuatu yang dikutuk oleh orang kebanyakan, mungkin baru terjadi ketika semua lapisan tanah dilarang meresapkan air dan air itu lantas tergenang. Genangan yang kemudian membawa konsekuensinya.

Apakah hujan salah kalau begini? Tidak! Tidak sama sekali.

Maka aku melajukan sepeda motor dengan teknik tertentu. Melibas genangan tidaklah semudah melibas jalanan biasa. Gas besar pada posisi gigi 1 atau 2. Motor menjadi lambat, konsumsi bensin boros, mesin meraung begitu kencang dan lebih panas. Semua dilakukan agar kendaraan roda dua ini masih sanggup berjalan.

Sementara dari atas, tetesan air menyerupai tusukan jarum terus menghujam lenganku. Satu-satunya bagian yang masih terpapar oleh air langit ini.

Aku terus berjalan. Hidup ini soal menuju ke tujuan. Siapa yang tahu sesuatu yang mungkin aku lewatkan jika aku memilih untuk berteduh? Tapi siapa pula yang tahu akibat jika aku terus berjalan? Tidak ada. Ini adalah sebuah pola hidup yang kunamakan misteri.

Makanya, kadang untuk sebuah hadangan semacam genangan, kita perlu bekerja perlahan tapi lebih keras. Perspektif menyikapi hujan yang bagiku sejalan untuk hidup.

Perkaranya, aku tidak bisa memakai perspektif itu ketika suatu hal sudah menyangkut dia.

Dia lagi, dia lagi. Dan akan selalu dia.

Aku akhirnya sampai di tempat penginapan sederhanaku, di sudut utara kota Jogja. Sebuah penginapan penuh makna karena persis di hadapannya adalah sebuah tempat monumental.

Monumen tidak nyata yang terbangun abadi dalam kenangan. Ketika aku berdiri di sebuah tempat dan berbincang dengannya sambil mendongak. Ketika aku mengetahui dia ada dari jendelanya yang terbuka. Ketika aku memanggilnya karena sekadar hendak menyapa.

Maka ketika sepeda motor kuparkir di tempat yang ada di penginapan, aku tidak lantas masuk ke kamar. Aku berdiri seolah menatap hujan yang perlahan mereda. Aslinya, pandanganku menembus jauh ke seberang jalan, ke sebuah jendela, sebuah pagar, dan sebuah tempat percakapan. Dan sekelebat lagi kulihat dia disana.

Mataku terpejam meski basah. Tidak, aku tidak menangis. Ini asli basah oleh hujan yang perlahan mereda. Aku terbayang saat-saat indah itu, ketika aku dan dia menjadi dekat–sebagai teman bercakap-cakap soal hati. Dan tidak pernah lebih dari itu. Bahkan kini berkurang, jauh berkurang menjadi dingin sama sekali.

Indah yang terjadi sesudah hujan, dingin yang terjadi juga sesudah hujan.

* * *

“Kak, boleh curhat?”

Dia mendatangiku dan lantas duduk di atas batu, persis di sebelahku.

Lha, ya silahkan.”

Maka dari bibir manisnya meluncur berbagai perkataan tentang kisah, tentang cinta, tentang pedih. Sebuah rangkaian yang menyebabkan luka di hatiku. Kenapa?

Karena akhirnya aku tahu, bahwa yang ada di hatinya bukanlah aku.

Tapi, seluka-lukanya aku, berduaan dengannya–dengan kaki telanjang menapak di rumput yang basah sesudah hujan–adalah sebuah kejadian tidak ternilai. Maka aku memilih menikmati kebersamaan ini dan menyimpan luka itu rapat-rapat, jauh di tempat yang hanya bisa kujangkau sendiri.

“Ya, kalau memang hatimu memilih dia. Perjuangkan!”

Itu kalimat terakhirku, penuh dengan makna munafik. Sangat munafik karena kemudian aku tidak pernah memperjuangkan pilihan hatiku padanya. Aku tidak sayang pada hatiku, tapi aku lebih sayang pada kedekatan yang mungkin sirna jika memilih untuk mengkonversi perasaan ini menjadi cinta.

Fiuhhh..

* * *

Hujan teramat deras ketika aku sampai di hotel tempatku akan menginap. Aku bahkan tidak tahu ojek ini membawaku ke tempat yang benar atau tidak karena aku berada di bawah kibaran ponco. Pada akhirnya ojek berhenti dan sepertinya aku berada di tempat yang benar.

Kulemparkan tasku ke ranjang begitu memasuki kamar hotel dan segera menyambar handphone yang ada di saku.

‘Aku lagi di Setiabudi. Bisa ketemu?’

Sebuah pesan singkat itu kukirimkan padanya. Berharap sebuah balasan menyetujui untuk bertemu.

Sebuah pesan singkat yang sepanjang malam sampai pagi belum berbalas. Dan pada akhirnya tidak berbalas.

Hujan sepanjang malam menemani penantianku atas pesan singkat yang tidak berbalas itu. Dan persis pagi hari, pagi buta, aku berjalan ke sebuah tempat yang aku tahu adalah kediamannya kini. Sebuah perjalanan melewati jalanan yang sejuk. Bahkan aku melihat sebuah pohon tinggi dengan burung sejenis angka terbang berputar di atasnya. Indah. Meski tidak ada yang lebih indah daripada dia.

Aku akhirnya berhenti di sebuah rumah dengan pagar hitam, persis di sebelah jalan tol. Aku hanya berhenti, berdiam, mematung lima menit, dan mengurungkan niatku memencet bel.

Aku lantas berbalik, berjalan cepat menuju sebuah warung makan kecil, tidak jauh dari situ dan duduk disana. Tidak lama, dia keluar dari rumah pagar hitam itu dan berjalan kaki menuju kantornya yang cukup dekat.

Dari balik warung makan kecil, aku mengamatinya. Dan atas nama langkahnya yang semakin menjauh itu, akupun sadar bahwa dia memang seharusnya aku lupakan.

* * *

‘Udah sampai Jogja?’

BBM masuk, dari gadis cantik yang kuceritakan sebelumnya.

‘Udah dong. Udah kehujanan juga.’

‘Ish, sakit lho ntar.’

‘Gpp kok. Gpp.’

‘Oke d :D’

Sungguhpun aku berterima kasih pada gadis cantik ini yang mampu mengalihkan duniaku dari seorang dia. Meski tidak sepenuhnya. Fakta bahwa aku tidak bisa mengalihkan cintaku ke gadis cantik itu membuatku memang tidak bisa lari dari dia, dia yang punya tempat rapi di hati ini.

Dengan segala isi pemikiran itu, kuletakkan benda hitam kecil itu dan menatap jauh ke luar jendela. Dan tebak, apa yang terjadi? Ya, hujan.

Hujan yang sama, yang mengingatkanku pada rumput hijau yang kupijak dan batu basah yang kududuki saat berbincang dengan dia.

Hujan yang sama, yang membuat tanah basah ketika aku memutuskan untuk melupakan dia, persis di depan rumah berpagar hitam.

Hujan yang sama, yang sedari semalam membangkitkan segala kenangan dan hasratku tentang dia.

Hujan yang lantas menjadi tambah lebat. Derunya–entah bagaimana–membuatku melaju mengeluarkan kepalaku dari jendela dan menikmati deras serta basahnya anugerah langit itu.

Dan–entah darimana pula–aku semacam mendapat keberanian lagi untuk bertemu dia. Aku sadar, ketika aku memilih untuk meninggalkan rumah pagar hitam itu, aku memilih menyimpan sebuah unfinished business yang nyatanya laten.

Bukankah lebih baik aku menyelesaikannya, dan membiarkan dia memberikan kesimpulan alih-alih aku menyimpulkannya sendiri, seperti saat ini? Bukankah lebih baik ditolak daripada menganggap diri ini ditolak?

Tiba-tiba sebuah energi masuk ke langkah kakiku.

* * *

Kini, sepeda motor sewaanku sampai di depan sebuah bangunan berlantai 2. Tidak jauh dari tempat bisku berhenti kemarin. Sebuah perjalanan nekat–dan kembali–menembus hujan.

Dan ketika sesudah hujan, aku sampai di tempat ini, aku merasakan sebuah momen yang sama. Sebuah pengantar untuk sebuah penyelesaian. Sebuah prolog untuk sebuah happy ending. Setidaknya itu yang ada di pikiranku.

“Eh, Mas Leo, lama nggak mampir,” ujar Tante Eliz, seorang baik yang kuketahui sudah melahirkan dia ke dunia fana ini sebagai sebuah pesona tiada akhir.

“Iya, Tante. Mumpung liburan.”

“Ayo, masuk.”

“Makasih, Tante.”

Tempat ini tidak asing, karena aku pertama kali merasakan dinginnya dia padaku, ya di tempat ini. Hanya sebulan sebelum aku memutuskan pergi ke tempatnya tinggal sekarang, di sebuah rumah berpagar hitam.

“Key ada?”

Oke, percayalah aku nekat! Aku datang ke tempat ini untuk bertemu dengan dia, tanpa tahu apakah dia pulang ke rumah kelahirannya ini. Percayalah, tidak ada kata nekat dalam kamus cinta. Dalam cinta, semuanya mendadak menjadi hal yang ordiner.

“Ada, baru pulang tadi. Libur tahun baru dia.”

“Oh begitu. Tante sehat?”

“Syukurlah. Mau minum apa?”

“Jus apel, Tante. Hehe, bercanda. Apa aja deh.”

“Baiklah. Tante panggilkan Key dulu ya.”

Bahwa sebuah pernyataan barusan sudah membuat aliran darahku melaju lebih kencang dari sebelumnya. Bahkan, kalau ada Amlodipine Besylate di tempat ini, aku sendiri meragukannya akan menurunkan kecepatan aliran darah ke jantung ini.

“Key, ada tamu tuh.”

Samar-samar kudengar Tante Eliz memanggil anak gadisnya itu.

Langkah kaki terdengar jelas di telingaku, dia sedang berjalan mendekat.

“Kak? Ngapain?”

Aku menemukan ekspesi kaget dalam pertanyaannya.

“Selamat sore, Keyla,” ujarku sambil tersenyum.

* * *

Tetes air hujan tampaknya mulai menyelesaikan tugasnya untuk turun dari langit. Kini hanya sisanya saja yang masih berjatuhan. Sementara suasana dingin memeluk bumi. Memeluk aku dan Keyla yang duduk di teras rumahnya sambil menatap hujan.

“Jadi, curhat-curhatmu jaman dulu itu ternyata aku?” tanya Key, matanya tetap menatap jauh kepada hujan.

“Sebagian besar.”

“Hmmmm..”

Suara air tersisa yang masih berjatuhan ke bumi menemani kesunyian pembicaraan sesudah hujan ini.

“Waktu kamu jadian sama Cello, aku sudah berhasil melupakan kamu, Key. Sampai kemudian aku tahu kalau kamu malah disakiti.”

Key terdiam, dengan ekspresi yang sama.

“Dan aku tahu segala resiko untuk kelancanganku pada saat ulang tahunmu. Entahlah, bagiku tidak selayaknya juga aku memberikanmu hadiah yang absurd macam itu.”

Dan Key masih terdiam.

“Dan waktu aku SMS kamu, SMS terakhir itu, aku ada di sana Key. Aku ngelihat kamu berangkat kerja, malah.”

Ada tatapan bermakna kaget, meski yang tampak adalah dia mencoba menyembunyikannya.

“Dan untuk suatu masa yang sudah bertahun-tahun lewat ketika aku memutuskan untuk melupakan kamu, pada akhirnya kamu kembali juga. Aku berbohong karena hati ini masih menyimpan satu tempat untukmu, yang tidak bisa digantikan.”

Gantian aku menatap langit sesudah hujan.

“Kamu tahu satu hal, Kak?”

“Apa?”

“Ah, kamu kan tahu banyak hal. Hehe.”

“Apa sih Key? Nggak mudeng aku?”

“Nggak kok, nggak. Kamu kan ngerti tentang lelaki yang dulu tak curhatkan ke kamu.”

“Aku nggak ngerti orangnya, tapi ngerti spek-nya.”

“Ciee, bahasanya. Mentang-mentang udah jadi bos Quality sekarang.”

“Bos ke Jogja nggak naik bis, Key.”

“Itu kan dalam rangka penghematan.”

Tampak menjadi tidak jelas, tapi aku menikmati percakapan ini. Percakapan yang sudah lama hilang antara aku dan dia.

“Jadi udah berapa lama kamu bohong sama hati kamu, Kak?”

“Cukup lama. Yang pasti sejak kita menjadi lebih dekat.”

“Hahaha, itulah. Kadang batas pertemanan itu yang bikin bias perasaan.”

“Banget.”

Tidak ada lagi tetes air hujan yang jatuh. Sesudah hujan ini aku merasa semakin dipeluk oleh kesejukan. Sejuk oleh cuaca, sejuk oleh terlepasnya beban secara perlahan dari hati ini.

“Dan untuk sesuatu yang sudah kamu tahu sendiri, Key. Just want to say, I love you. Aku nggak usah bilang since ya. Itu sudah lama sekali. Kalau waktu itu ada yang bikin anak, sekarang udah SD dia. Hehehe.”

Dia terdiam, tapi senyum tersungging di bibir manisnya, yang dikepung pipi yang semakin tembem saja. Aku seperti melihat dia yang sama dengan yang kutemui bertahun-tahun silam, dia yang membuatku berhasil jatuh cinta ketika pertama kali menyusup masuk lewat mata ini.

“Hmmm.. hmmm.. haha.. hahahaha..”

Dia tertawa perlahan, lalu kemudian lepas.

“Kenapa?”

“Nggak, Kak. Kadang lucu juga ya. Melihat semua yang pernah terjadi diantara kita. Kenapa jadi begini ya?”

“Nggak tahu,” ujarku sambil mengangkat kedua bahu.

“Dan asal kamu tahu, aku juga kehilangan saat-saat berbincang soal hati dengan kamu, Kak. Cuma memang aku masih nggak suka dengan yang kamu lakukan waktu aku ulang tahun dulu itu.”

“Maaf.”

“Nggak apa-apa, udah lewat kok.”

“Jadi?”

“Jadi apa? Emang kamu nanya?”

“Enggg.. nggak sih.”

“Hahahaha.. Kak, kak.. kamu ini.”

Dan aku hanya bisa tersenyum bingung.

“Ada suatu masa ketika aku mengerti kalau kamu yang bisa menembus pertahanan kuat hati ini. Dan mungkin aku merasakan hal yang sama.”

You love me too?” tanyaku, tiga perempat tidak percaya.

I think.”

Done. Eh, hati, ini loh maumu udah terjawab,” ucapku sambil menengok ke arah ulu hatiku.

“Gila kamu, Kak,” sahut Key dan lantas tertawa.

Sesudah hujan ketika hati ini memperoleh jawab atas sebuah penantian berbilang tahun. Hati mungkin bisa beradaptasi pada sebuah keputusan dan konsekuensi, tapi pada titik tertentu ia akan memunculkan kembali keinginannya. Dan kini, hatiku memperoleh keinginannya.

🙂

 

Advertisement