Aku Repa, sebuah jalan tanpa arah.
Aku baru saja keluar dari sebuah rumah, tempat dimana aku cukup lama tinggal. Ya, sebenarnya waktu itu niatnya mau mampir, tapi ketiduran, jadi mampirnya agak lama. Nggak apa-apa. Ini mohon dimaklumi. Aku sebenarnya hendak menuju ke Hera di sebelah sana. Tapi selalu tampak sedang sibuk atau tidak mau diganggu. Aku belum sempat kontak dia sebenarnya, apakah dia mau ditemui atau tidak. Karena hanya tampak saja, jadi ya aku mampir dulu. Minum-minum lalu mabuk.
Ketika sudah sadar, aku bangun dan sesekali melihat ke luar jendela. Aku agak pusing, jadi belum berani keluar rumah. Kebanyakan minum tuak soalnya. Di jendela, aku masih menemukan hati yang di sebelah sana itu. Masih sibuk juga dia. Jadi biarlah aku tinggal dulu sebentar.
Hmmm.. Tapi lama-lama waktu mendesakku untuk menuju ke Hera yang ada disana. Ya sudah, aku keluar dari rumah, lalu beranjak. Karena aku nggak bayar, jadi aku nggak boleh menginap lagi di rumah itu. Nggak apa-apalah, aku sudah sadar ini.
Bukan hal yang mudah ternyata. Hera masih sendiri dengan rumah terbuka. Tapi di papan yang nangkring di depan tempat tinggalnya tertulis “sedang menunggu”. Wah, payah juga ini. Ini menunggu siapa, dan kapan aku bisa masuk menemui Hera. Mau nunggu sampai kapan aku disini? Padahal aku sudah nggak nginap di rumah itu lagi loh.
Baiklah, aku tunggu deh. Kalau memang kelamaan, aku duluin saja. Kelamaan menunggu itu nggak baik, tapi tanpa menunggu itu juga sama tidak baiknya.
Dan ini hari ke dua ribu aku menanti, dalam panas dan hujan, dalam siang dan malam. Berharap papan “sedang menunggu” itu bisa dilepas.
Baiklah, aku akan terus menanti.
Like this:
Like Loading...