Aku datang, sendiri, ke tempat yang sangat aku rindukan ini. Sebuah tempat di ketinggian, dengan suasana sunyi senyap nyaris horror. Tapi meski ada dua pohon beringin disini, aku tidak merasa ketakutan. Sosok tersenyum yang menjulang di depanku membuatku tidak merasa takut sama sekali.
“Mengapa kau datang anakku?”
“Sekadar ingin bertanya.”
“Tanyakanlah.”
“Aku mensyukuri yang aku dapat sepenuhnya, terima kasih sepenuh hidupku untuk itu. Tapi ada sedikit yang aku heran.”
“Apakah itu?”
“Aku memohon untuk satu hal, namun yang datang kepadaku justru hal lainnya. Apakah maksud dari itu?”
Sosok itu tersenyum penuh ketenangan. Damai yang tidak pernah aku rasakan. Ah, mana ada damai di dunia yang semakin keras? Mana ada damai ketika semua sibuk mengetengahkan ego sendiri dengan dalil kepentingan bersama? Mana ada damai ketika semua sibuk membenarkan diri sendiri? Mana ada damai ketika setiap masukan yang diberikan dianggap sebagai aib?
Hanya senyum itulah yang menenangkan.
“Kamu bermasalah dengan yang datang itu?”
“Tentu tidak.”
“Kamu bersyukur?”
“Dengan sepenuh hidup.”
“Kenapa kamu masih bertanya?”
Aku terdiam. Sebuah pukulan balik untukku.
“Kamu berdoa sepanjang waktu untuk sebuah permohonan. Aku meyakini itu bukanlah yang terbaik untukmu.”
“Artinya aku mendapat yang lain, yang sejatinya lebih baik?”
“Aku hanya memberikan yang terbaik untukmu.”
“Terima kasih untuk itu.”
“Pulanglah. Nikmatilah berkatmu.”
Aku menunduk sedikit, lalu mundur. Kedamaian ini memang hanya berlangsung sebentar. Sedikit lagi aku akan menikmati lagi dunia tanpa damai. Ah, itu kan nanti.
Anak tangga yang kecil-kecil itu kupijak dengan santai. Setiap pijakan mengingatkanku pada percakapan tadi. Aku memohon dengan sangat untuk suatu hal, namun aku justru diberikan hal yang lain. Sebuah hal yang pada akhirnya menjadi nyata bahwa itulah yang terbaik untukku. Jadi untuk apa aku mempertanyakan?
Bahwa jalan terbaik untuk hidup adalah bersyukur. Aku perlahan mencoba memahami itu lewat anak tangga yang membawaku pada dunia yang sebenarnya.