Cuaca yang khas di sungai ini, sebuah kondisi yang sinonim dengan kerinduan. Dahulu aku sering berlama-lama di tepi sungai ini. Okelah aku tidak bisa berenang, tapi memandang air mengalir, pun kapal-kapal yang berjalan silih berganti di atasnya, adalah suasana yang dirindukan.
“Ngeliat apa?”
Suara manismu mengusik sore penuh memori. Yah, di tempat ini, aku dan kamu, duduk memandang air bergerak di depan sana.
“Nggak. Nggak ngeliat apa-apa kok.”
“Nggak baik ngelamun. Kesambit ntar.”
“Loh, aku kan sudah kesambit hatimu.”
“Gubrak!”
“Kenapa?”
“Dasar gombal.”
Kita tertawa lepas, dan segera ditelan oleh angin sore yang bertiup dengan riang. Tangan mungilmu, lengkap dengan jam tangan anak-anak yang membalut lenganmu, menggantung manis di sisi kananku. Kutautkan saja tangan nganggur itu dengan tanganku yang juga tanpa pegangan.
“Hayo, pegang-pegang.”
“Nggak boleh?”
“Nggak.”
“Lha kok nggak dilepas?”
“Lha kan kamu yang megang.”
“Trus?”
“Hmmmmm…”
“Hahahaha…,” tawaku kembali lepas. Berdua denganmu selalu menjadi saat yang menyenangkan.
“Eh, kamu tahu nggak?”
“Tahu apaan?” Wajahmu beralih menatap wajahku, meninggalkan pemandangan sungai di sore hari ini.
“Tahu nggak, kalau cinta itu misteri?”
“Maksudmu?”
“Yah, kayak kita sekarang ini. Bisa duduk disini, berdua, gandengan. Siapa yang ngira bisa begini?”
“Ehm, ya mungkin memang begitu.”
“Setidaknya aku punya pemikiran baru.”
“Apakah?”
“Ya itu, dalam hidup yang begini ini, kita nggak perlu melawan kehendak Tuhan. Dulu aku pikir, apa yang aku rencanakan itu sesuai, tapi nyatanya Tuhan punya cara lain.”
“Maksudmu?”
“Ya, kalaulah aku tidak meninggalkan tempat ini dulu, maka mungkin jalanku nggak begini. Jadi memang aku waktu itu harus pergi, dan sekarang pada akhirnya disuruh kembali.”
“Yah. Jadi jalani saja. Bener kan?”
“Yup. Jalani saja sambil berdoa agar cintamu tetap untukku. Haha.”
“Apa coba?”
“Nggak apa-apa, sayang.”
“Cinta itu tetap kok. Tenang saja. Aku nggak akan nambah cinta untukmu.”
“Kok gitu?”
“Cinta itu harus pas. Kalau kamu dapat cinta berlebih, kamu bakal bagi-bagi ke orang lain. Kalau kamu dapat kurang, ehm, kamu nyari yang lain ntar. Iya kan?”
“Hmmm.. Iya juga. Pinter kamu ya?”
“Biasa aja ah. Lebay.”
Senyumku dan senyummu menghantarkan sore hari terindah sepanjang aku berdiri di tepi sungai ini. Keindahan ketika cinta dua hati menyatu dalam kesepahaman akan misteri Ilahi. Keindahan yang sederhana.
“Say?”
“Iya, kenapa?”
“Aku sayang kamu.”
Kamu tersenyum, menyandarkan kepalamu di bahuku. Ah, benar juga, indah itu sederhana, pun bahagia. Di sore hari, di tepi sungai itu, aku memeluk keindahan dengan bahagia.
🙂