Yang Puasa Dua, Yang Buka Banyak

Oke, dalam ranah pergaulan Dolaners memang tidak mengenal perbedaan. Ehm, kalaupun perbedaan dikenali, itu adalah sebagai bahan ejekan. Halah. Ya, tapi memang itu yang terjadi. Selain itu, perbedaan juga dimaknai sebagai sumber oleh-oleh. Jadi ada kalanya, aku datang dari Bukittinggi membawa kaos gambar jam gadang, ditukar dengan kaos Toraja-nya Lani. Ada juga sandal Kalimantan-an Rani yang dibagi-bagi dan kemudian raib karena di kosku ternyata ada 4 sandal yang sama. Haduh.

Dan soal perbedaan agama, nggak signifikan juga. Waktu ke Ngobaran, aku dengan tenang bertapa di dekat sumur menunggu Ano selesai jumat-an. Semoga aku masih dilihat sebagai manusia, meski memang secara tampak agak sulit membedakan antara aku dan makhluk jadi-jadian.

Dan satu yang paling menyenangkan dari perbedaan ini adalah ketika bulan puasa, waktu Ano dan Chica berpuasa. Yak! Keduanya akan berada di lingkungan setan. Sungguh pahala mereka tinggi, karena selalu dirayu dan digoda. Bahwa setan-setan ini dosanya bertambah, anggap saja itu amal.

Bener? Bercanda ah!

Buka puasa bersama adalah agenda rutin bin wajib Dolaners. Dan berhubung Ano adalah perantauan agak riskan melakukan ritual buka puasa bersama di rumahnya, paling-paling ya beli kolak di pinggir jalan juga dia. Maka, Dolaners beralih ke rumah Chica, yang ada di bawah naungan orang tua yang baik hati. Plus, rumahnya nggak jauh-jauh benar dari sekitar kampus.

“Kapan ki buka puasa bersama?” tanya Chiko, ehm, masih si playboy kandas.

“Puasa ora, melu buka thok,” racau Roman.

“Halah, kowe yo ngono,” sergah Bona.

Dan obrolan macam ini nggak akan selesai kalau hanya di kalangan cowok-cowok. Maklumlah, meski tampan-tampan dan tampak pintar, tapi sejatinya isi otak kaum ini diragukan kebenarannya.

“Keburu lebaran lho,” ujar Aya. Nah, kalau kaum cewek Dolaners sudah berkata, baru deh agak lurus suasana.

Obrolan nggak jelas itu kemudian berakhir pada nggak bisa. Yah, memang, kesibukan sebagai mahasiswa dan (beberapa) sebagai pacar bukan hal yang mudah ditinggalkan. Para Dolaners sudah di semester 7, nggak semudah waktu membuat acara seperti ini di semester 3 atau 5. Ada yang kudu skripsi, ada yang kudu asisten, ada yang kudu latihan paduan suara, ada yang kudu ngopeni pacar.

Halah.

“Ayo cah. Kapan ke rumah?” tanya Chica, sesudah lebaran. Ketika para intelektual muda nan gamang ini berkumpul di tempat yang selalu sama, Pok-We.

“Lho, masih berlaku ki?” tanyaku.

“Yo orapopolah.”

“Mari direncanakan saudara-saudara,” ujar Chiko lantang. Hemmm, tampaknya lelaki ini sudah kelaparan. Hidangan-hidangan khas lebaran di rumah Chica tampak menarik untuk dikelola dalam perut.

Dan akhirnya event bertajuk Buka Puasa Bersama itu dihelat sesudah bulan puasanya lewat. Ehm, jadilah ini namanya makan-makan di rumah Chica sebagai pengganti buka puasa bersama. Ya, tampak lebih manis ya?

Maka di suatu sore yang gundah, karena cacing-cacing di perut mulai berteriak. Berangkatlah satu per satu ke rumah Chica.

Aku beranjak dari kos dengan Bang Revo, yang masih mulus, sambil kelelahan. Aku baru saja putar-putar Jogja mencari responden yang sakit kepala. Tampaknya tiada skripsi paling pusing daripada mencari orang pusing hingga pusing sendiri. Ah, kenapa ada topik itu sih?

Beberapa missed call sudah masuk, tandanya anak-anak Dolaners sudah berkumpul manis di rumah Chica. Perjalanan ke rumah Chica nggak jauh, hanya karena melewati persawahan jadi harus berjuang melawan ternak-ternak yang beterbangan di jalanan dan mengincar bola mata siapapun yang melintas.

Di kompleks perumahan dosen, di utara Jogja, aku membelokkan Bang Revo. Pada sebuah rumah yang banyak terparkir sepeda motor di depannya aku berhenti. Ada Grand AD AV, ada beberapa Supra Fit, beberapa sepeda motor yang aku kenal. Dan, eh, kok ada Satria F disini?

Yak, tampaknya ada Dolaners yang baru beli motor.

Aku, yang sudah telat, memasuki arena yang masih kosong dari makanan.

“Motore sopo kuwi?” tanyaku.

“Chiko kuwi,” ujar Prima, masih dengan tampangnya yang penuh kebajikan.

“Wooo.. Ngeriii.. Sugih.. Nyembah aku,” ujarku. Kemarin-kemarin memang Bang Revo jadi yang termulus di kalangan Dolaners, sekarang ada gantinya.

Makanan mulai datang silih berganti. Mama Chica mensuplai dengan lancar dari dapur. Kami duduk ngemper di garasi sambil menikmati hidup. Ah, ini sudah semester 7, mungkin ini terakhir kali bisa begini. Iya kan?

“Eh, Yama. Kowe nek noleh biasa wae loh,” kata Bona sambil menunjuk Yama yang lagi kesulitan menoleh alias tengeng.

“Asem.”

“Wo, ngapuro kowe Bon. Keno azab meneh ngko,” ujar Chiko. Yak, menurut catatan medis, atlet bernama Bona ini pernah mengalami dengkul mlingse tidak lama sesudah ngece Yama. Sejak itulah, kami menganggap bahwa menghina Yama itu ada azab. Tapi, mulut mana yang tidak hendak tertawa melihat Yama yang tegang leher itu susah payah hendak menengok ke belakang?

Inilah godaan duniawi.

“Eh, eh. Iki sik wis jadian urung do ngaku.” Prima membuka topik baru.

“Lha sopo? Kowe karo sopo Prim?” tanya Chiko.

“Asem lah. Yo dudu aku. Kowe kuwi.”

Beberapa mata mulai melihatku dan Chiko bergantian. Eh, eh, ini bukan bermakna aku dan Chiko yang jadian ya. Bagaimanapun aku masih normal, demikian pula playboy kandas yang satu itu.

“Ayo, konferensi pers nek ngene,” tukas Bayu.

Huh, ini bocah, mentang-mentang pendekatannya belum final, bisa teriak-teriak ya. Nantikan pembalasanku.

“Yo kowe sik Ko.”

“Kowe no.”

“Kowe wae lah.”

Dan,seperti biasa, meski sudah semester 7, kami masih saja tetap tidak cetho.

“Yowis. Tak dhisikan. Ya, seperti yang sudah diketahui. Aku wis jadian. September kemarin,” beber Chiko.

“Karo sopo Ko?” sergah Prima. Ah, bapak yang satu ini walaupun muka bajik, kepo juga.

“Cintia.”

Senyam senyum nggak jelas dari pemirsa konferensi pers ini memang menandakan bahwa mereka puas dengan wahana pengakuan ini. Jadi begini, kegagalan demi kegagalan cinta yang silih berganti kami alami membuat dalam hati ada tendensi untuk menyembunyikan kisah pendekatan sebelum kemudian launching ke muka publik. Jadi bukan koar-koar masa muda ketika bilang kalau sudah pedekate, tahu-tahu nggak jadi.

Dan ternyata itu bukan pikiranku saja. Chiko itu tanpa ada tanda-tanda, tahu-tahu sudah ujug-ujug pacaran. Dan aku…

“Kowe saiki,” suruh Chiko.

“Hedeh. Yo. Aku ya udah jadian. Baru sih, beberapa minggu.”

“Karo sopo?” Bapak bajik nan kepo kembali bertanya. Kali ini ditimpali yang lainnya.

“Yesi.”

Sorak sorai khalayak membahana, bukan apa-apa, karena Yesi sebelumnya ada kisah dengan Roman. Sehingga ini sedikit-sedikit ada hawa telikung teman. Padahal kan aku ya nggak ngerti kalau Yesi pernah dekat dengan Roman. Yah, anggap saja itu kebetulan. Kebetulan dapat. Halah.

Makanan berangsur luput oleh mulut besar orang-orang yang ada disini. Kegembiraan dalam balutan tajuk buka puasa bersama ini tidak dapt ditukar oleh apapun. Entah kapan lagi ada momen seperti ini.

Yang puasa dua, yang buka banyak. Yang dikenang? Bahkan aku tidak mampu menghitungnya.

Advertisement

One thought on “Yang Puasa Dua, Yang Buka Banyak”

  1. yang puasa banyak..yg buka dua..lhohhh..
    tp yg dikenang? ga akan bisa terhitung
    sampai sekarang pun masih..kalian ada di memori itu
    dengan berjuta2 pelangi utk masing-masing pribadi
    *aayyyyeeee

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.