Seperti saya tulis sebelumnya saat berkisah tentang Hotel Menumbing Heritage, salah satu yang tidak terduga adalah bahwa penginapan kami dekat dengan Gereja. Bahkan lonceng Gereja terdengar begitu dekat begitu nyata dari kamar. Ya, Gereja yang saya maksud adalah Katedral Santo Yosef. Di tempat inilah, teman saya Libertus Tintus mempersunting istrinya untuk kemudian perjalanan waktu membuat mereka memiliki Verena Freesia Ventus sebagai buah hati.
Mengingat hari Minggu adalah harinya jalan-jalan, maka saya dan istri memutuskan untuk misa pukul 6 pagi bersamaan dengan lonceng yang berbunyi. Saya mengetuk kamar sebelah, namun kamar sebelah tidak hendak ke Gereja. Gitu.
Saya dan istri berjalan bergegas meskipun sebenarnya perjalanan ke Gereja itu dekat sekali. Maklum, sudah terlambat. Pas masuk, langsung lagu pembukaan pula. Namun lagu pembukaan itu kemudian berakhir dengan tidak masuknya Pastor. Rupanya ada delay, dan lagu pembukaan diulang lagi 6.20. Heuheu. Baru kali ini ada misa delay, tapi lagu pembukaannya direpetisi. Nggak apa-apa, namanya juga para pelayan Gereja adalah manusia biasa, yang tak sempurna dan kadang salah, namun di hatiku hanya satu, cinta untukmu KEDALUWARSA!
Ehm, biasa saja. Plis. Biasa.
Mari menengok sejarah sejenak. Gereja Katedral Santo Yosef terletak di jalan Gereja dan dibangun pada tanggal 5 Agustus 1934, pada masa gereja Katolik Pangkalpinang dipimpin Pater Bakker, SS.CC. Gerejanya tidak tua-tua amat, apalagi dibandingkan katedral lain yang ada di Indonesia. Buku baptisnya sendiri dimulai sejak 4 September 1871. Lama sekali, kan? Sebelumnya, daerah Pangkalpinang dan sekitarnya di bawah Vikariat Apostolik Jakarta. Kenapa lama sekali selisihnya? Sebab utamanya adalah awal mula agama Katolik disebarkan di Pulau Bangka dengan pusat di Sungaiselan, kemudian Sambong, dan baru 1913 dipindahkan ke Pangkalpinang.
Perubahan status dari Vikariat Apostolik Pangkalpinang jadi Keuskupan Pangkalpinang baru dilakukan tanggal 3 Januari 1961 dengan Mgr. Gabriel Van Der Westen, SS,CC sebagai uskup perdana. Pada perkembangannya Keuskupan Pangkalpinang mengelola dua kevikepan yakni Kevikepan Bangka Belitung dan Kevikepan Kepulauan Riau. Jadi mencakup dua kepulauan, Bangka Belitung dan Riau.
Dari sisi bangunan, tentunya tidak semegah Katedral Jakarta yang secara arsitektur begitu wow. Katedral Pangkalpinang menawarkan kesederhanaan layaknya Katedral di Palembang. Ada tiang tinggi di bagian depan Gereja dengan tanda salib di bagian depannya. Bangunan ini juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Kebudayaan No. PM.13/PW.007/MKP/2010.
Sebagaimana katedral di kota-kota lainnya, tempat ini dipimpin oleh Pastor Projo. Sejauh mata memandang, tampak unsur tua dan kebersahajaan sebuah rumah ibadah. Apalagi, waktu saya misa, sound system-nya agak bermasalah. Walau begitu, dalam kantuk nan syahdu saya tetap menyelesaikan misa dengan bahagia. Sayangnya, jadwal padat membuat saya tidak sempat mampir ke Gua Maria yang ada di kompleks Keuskupan Pangkalpinang ini.
Nah, sudah catatan kelima. Berikutnya, sebagai pengisi hari Minggu, akan ada kisah-kisah dari pantai-pantai di Pulau Bangka, meski ada yang kena sial karena setiba di pantai justru hujan besar. So, nantikan terus kisah hilang di Bangka alias Lost in Bangka hanya di ariesadhar.com.
habis dari misa di Gereja ngapain mas ???
LikeLike
Nantikan di postingan selanjutnya. Heuheu.
LikeLike