Jadi ceritanya saya baru–barusan aja–kena marah sama kakaknya pacarnya temannya adek saya. #nahlohbingung. Si temannya adek saya nongol di newsfeed lagi di bandara, mau balik ke suatu kota yang mana daripada saya pernah hidup disana selama 2 tahun. Baca profil saya aja biar tahu ya. Nah saya komen beberapa, salah satunya bilang kalau LDR di kantor saya yang lama itu biasanya putus. Sudah saya tambahkan hashtag untuk memperjelas kesan bercandanya, sudah saya tambah haha dan hehe. Menurut saya sih sudah cukup ya? Oh, bahkan hipotesa saya sudah dibantah dengan lugas dan tegas–juga dengan bercanda–oleh temannya adek saya. Ya sudah saya kalah. Mestinya cukup kan ya?
Ternyata nggak, saudara-saudari. Saya kena semprot sama kakaknya pacarnya temannya adek saya. Katanya saya harus berhati-hati untuk berkomentar, katanya lagi YOUR WORD REPRESENT YOUR PERSONALITY. Yah, berhubung saya juga nggak kenal dengan kakaknya pacarnya temannya adek saya itu, saya nggak perlu ajak ngopi-ngopi untuk meluruskan suasana. Eh, suasana kok lurus?
Saya cuma mau cerita. Mirip dengan kisah yang barusan saya komen. Kebetulan saya dan pacar kan LDR, nih. Beberapa hari sebelum pacar berangkat ke London, teman di Balkes, Mas Didit cerita tentang temannya. Teman itu namanya Ari (juga), dulu kerja di market leader (juga), dan ditinggal LDR ke luar negeri (kebetulan yang ini New Zealand, malah lebih dekat). Ceritanya pahit habis. Si laki-laki itu sudah bela-belain pindah agama, eh si perempuan pulang dari New Zealand malah bawa cowok bule!
Mas Didit bercerita dengan gamblangnya, dan beberapa kali bilang, “hati-hati loh, Mas”. Saya sih hanya ketawa saja. Kalau saya mau, saya bisa banget untuk tersinggung ketika Mas Didit bercerita kisah itu sepanjang perjalanan dari Cibiru sampai Cikarang Baru.
Ya, seperti yang saya ceritakan di tulisan tentang menulis komedi, dahulu saya adalah orang amat-sangat-mudah-tersinggung. Sampai saat ini, dalam beberapa situasi hal itu muncul sih, tapi selalu berusaha saya redam. Saya berusaha mengubah diri dengan cara menulis komedi. Saya tulis disitu bahwa hal-hal yang bikin tersinggung itu kadang bisa ditertawakan. Dan menurut pengalaman saya, daripada tersinggung, lebih baik tertawa. Makanya, ketika Mas Didit cerita itu, saya memilih tertawa. Apapun yang terjadi nanti, ya terjadilah. Yang jelas cerita Mas Didit nggak bikin saya tersinggung, saya dan Mas Didit tetap baik-baik saja, dan saya malah bisa belajar untuk tidak seperti yang diceritakan oleh Mas Didit.
Memang, ada hal-hal yang membentuk saya. SMA di De Britto, gaul di UKF Dolanz-Dolanz, hingga DCFC, semuanya sangat pedas dalam berkata-kata. Kalau diturutin tersinggung terus, seperti yang saya alami di awal-awal SMA, sayanya malah stress gila. Memang kalau urusan jodoh itu sesekali bisa bikin spaneng. #apacoba.
Sebenarnya pelajaran juga bagi saya untuk bercanda. Sebagai penulis yang mengarahkan produknya ke komedi, baik di blog maupun di buku, saya terbiasa menulis bebas, sesuka saya, lha wong blog-blog saya, buku juga buku saya. Si kakaknya pacarnya temannya adek saya tadi ada benarnya untuk meminta saya hati-hati menulis di wall/status/foto seseorang. Boleh juga, sih. Beneran saya harus belajar untuk memilih dan memilah serta untuk mengerti bahwa tidak semua orang bisa menerima sebuah komedi. Makasih loh, Mbak.
Saya berani komen seperti itu, karena bapak-bapak DCFC juga pernah berkomentar hal yang sama kepada saya. Sekali lagi, saya bisa tersinggung, tapi ketika itu saya tidak memilih untuk tersinggung, dan benar sesuai yang teman saya bilang, LDR saya itu justru berakhir ketika saya sudah tidak LDR kok. Bahkan ketika saya dibercandai, “sudah dibelain pindah malah putus” ya akhirnya tetap biasa saja. Kalau ingin dituruti, ya sedih juga kan ya?
Begitulah pelajaran hari ini. Semoga si teman baik-baik saja sama kakak iparnya, sebaik saya dan calon adik ipar saya. Serta sebaik adik saya dan calon kakak iparnya. Amin.