“Apak Den Kepala Sekolah”

Jangan kaget sama judul di atas, itu semacam Bahasa Minang. Iye, sebagai orang yang numpang lahir dan numpang membesar di Bumi Minangkabau–walaupun sama sekali nggak punya darah Minang–saya kudu ngerti Bahasa Minang.

Artinya: bapak saya kepala sekolah.

Melintir sedikit, judul di atas sering saya dan adikadik saya pakai kalau lagi ketemu. Kira-kira begini:

A diang?! (apa lo?!)
Sia apak ang?! (bapak lo sapa?!)
Apak den kepala sekolah! (bapak gue kepala sekolah!)

Saya perlu tekankan bahwa dua kalimat pertama itu tergolong kasar untuk percakapan. Tapi, ya gitu deh, saya dan adik-adik emang kurang sopan kalau hal macam ini. Bahkan di depan orang tua kamipun, kami sering berlontaran kata “Asu”, tentunya tidak kepada orang tua–kepada sesama saudara saja, dan dalam konteks bercanda.

Oh iya, ujung-ujungnya, kalimat-kalimat di atas itu bisa begini:

Bagak ang?! (berani lo?!)
Den kecekan jo apak den ngko! (gue bilang bapak gue ntar!)
Tak omongke jo amak den lo beko! (gue bilang emak gue juga ntar!)

Atau…

Alah ko? (sudah nih?)
Alah, mangan sik, litak paruik (udah, makan dulu, lapar perut)

Iyeeee.. yang di-bold itu Bahasa Jawa. Peraduan kedua kami sekeluarga kakak beradik sesudah Bahasa Minang. Jadi, ketika ketemu… percakapan absurd macam ini PASTI AKAN TERJADI.

Hehehehehehe..

Kembali ke judul.

Dulu, jaman saya agak-agak baru lahir (ini entah terminologi jenis apa?!), Bapak saya pernah menjadi wakil kepala sekolah. Buat anak, pekerjaan orang tua itu kebanggaan. Dulu saya ingat betapa teman dengan suka hati bilang Bapaknya kepala bank, pemilik hotel, dan sejenisnya. Lha saya? Guru.. (sambil bisik-bisik).

Dan sampai saya gede, Bapak saya ya tetap guru.

Nah, baru belakangan setelah saya lulus (kalo nggak salah), kedua orang tua saya beroleh peningkatan jabatan. Diawali dengan Mamak yang jadi Kepala Sekolah TK. Nggak lama sih, karena segera mundur begitu Bapak diangkat jadi Kepala Sekolah SMP.

*padahal kan kereennnn, punya orang tua dua-duanya kepala sekolah*

Enak aje!

Jadi kepala sekolah itu, yang saya tahu, pusing dan banyak tekanan.

Lalu intinya apa?

Begini, ketika Bapak saya jadi kepala sekolah di era pendidikan (katanya) gratis dan anggaran 20% ini, godaan tentu besar. Iyalah besar karena ini terkait dana BOS, dana anu, dana itu, dan dana-dana lainnya. Yang mana daripada kepala-kepala sekolah lain dengan nyata saya lihat peningkatan signifikan pada hartanya.. hehehehehe…

Pastinya itu godaan besar banget. Saya kalau dikasih disitu ya nggak tahan juga mesti. Tapi agak ada untungnya juga ketika Bapak jadi kepsek, kebutuhan duit alias hepeng alias pitih itu sudah nggak sebesar dahulu kala, apalagi ketika punya 3 anak yang sama-sama kuliah di kampus swasta.

Poinnya adalah kok ya segala sesuatu itu pas.

Pas ketika waktu Bapak ditunjuk, performa SMP saya yang legendaris itu sedang di titik nadir.
Pas ketika godaan banyak, kebutuhan tidak lagi cukup banyak.

Kalau lihat sudut lain blog ini, ceritaalfa, bagian saya berpisah dengan Alfa, tentu ini poin yang sama. Tuhan itu memberikan segalanya pas. Pas butuh, pas ada. Entah bagaimana caranya. Which is kemudian saya tahu kalau si Bang Revo itu hasil utang bank, sesuatu yang amat sangat tidak saya sukai. *mending juga utang koperasi.. hehehe…*

The lesson is pada posisi apapun kamu berada, berbuatlah yang terbaik, dan seperti yang Kak Vienna (salah satu murid favorit Bapak dulu) begitu tahu Bapak jadi kepsek–he deserved it, indeed. Deserved itu akan diperoleh begitu kita berbuat yang terbaik kan?

🙂

3 thoughts on ““Apak Den Kepala Sekolah””

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.