Hidup Untukmu

“Udahlah, udah jelas nggak bisa juga.”

Panji menggumamkan frase tersebut sambil terus menerus menampar pipinya kiri dan kanan sampai berwarna merah merona. Belum cukup sesekali dicubitnya juga pipi kurus itu. Dan tanpa sadar disiramkannya air keras ke mukanya, ehm, maksudnya es batu sih.

Menjadi pemandangan unik ketika seorang pria duduk di meja kerjanya, dengan tumpukan dokumen di kiri-kanan-depan-belakang, tapi ia tidak sibuk dengan dokumen itu melainkan asyik menampar dan mencubit diri sendiri.

“Permisi, Pak!”

“Ealah, kenapa sekarang Tuhan? Belum siap saya,” bisik Panji dalam hati.

Suara bening Aline ketika bilang permisi itu berhasil membuatku tak berdaya, batin Panji. Tapi bagaimanapun, sebagai seorang atasan, ia harus bersikap profesional. Maka Panji berkata, “Ya, Aline. Kenapa?”

“Muka Bapak basah.”

Buset, perhatian bener ini anak, batin Panji lagi.

“Oh, iya. Kepanasan tadi,” jawab Panji asal. Dalam hati ia mengutuk perbuatannya sendiri mengoles-oles es batu ke muka,semata-mata hendak menyadarkan diri sendiri.

“Iyakah Pak? Perasaan AC disini adem,” ujar Aline sambil celingak celinguk.

“Iya, hati lagi panas. Halah. Iya, ada apa?”

“Oh, habis meeting sama marketing ya Pak? Hehe.. Ini mau minta approval slip permintaan bahan baku.”

“Yah gitu deh, tahu sendiri kalau habis meeting sama marketing rasanya kayak gimana, mana dokumennya?”

“Iya Pak, saya aja tobat Bapak aja meeting waktu itu.”

“Lha saya tobat berkali-kali dong? Haha.. Bagian dari proses saja ini,” cerocos Panji sambil menandatangani slip yang dibawa Aline.

“Iya kali Pak ya,” timpal Aline sambil tersenyum manis.

Buset lagi, suara bening itu muncul pada saat yang tidak tepat, bisik Panji dalam hati. Ingin sekali rasanya menampar pipinya lagi untuk menyadarkan diri.

“Ini,” ujar Panji netral, menyerahkan slip tanpa memandang Aline.

“Baik Pak, terima kasih.”

Aline berbalik dan meninggalkan ruangan penuh dokumen itu.

“Fiuhhh.”

Panji mengeluarkan seluruh Co2 yang ada di paru-parunya dengan gundah. Matanya sibuk menerawang dan tangannya siap menampar pipinya lagi.

sumber: jimjjg.blogspot.com

* * *

Kejadian barusan adalah akumulasi penyadaran yang butuh waktu. Admin-admin baru disini pasti melihat dari balik kaca ruangan dengan biasa saja. Tapi pasti rasa berbeda ada pada OB tua yang lewat barusan. Turn Over yang tinggi di kantor ini sedikit banyak menyelamatkan Panji dari omongan orang-orang.

Ya, sesuatu pernah terjadi antara Panji dan Aline. Di masa lalu.

* * *

“Makanya kalau naik motor itu pelan-pelan, Mas,” ujar Aline dengan manis sambil menyeka luka Panji yang mengerang sok manis di tempat tidurnya.

“Itu nggak kencang-kencang kok,” kata Panji, masih ngeles.

“Masih ngeles tak tinggal lho Mas.”

“Iya, iya. Ampun lah kalau gitu.”

“Dek Aline, makan dulu.”

Tiba-tiba Ibu Kos di tempat Panji tinggal sudah nongol di depan pintu, menawarkan makanan pula.

“Iya Bu, sebentar lagi.”

Kos tempat Panji tinggal sudah benar-benar seperti rumah sendiri. Mungkin hanya 1 dari sejuta kos-kosan di dunia yang menyediakan makan gratis bagi penghuninya. Mungkin juga hanya 1 dari seratus ribu kos-kosan di dunia yang menyediakan pelayanan yang sangat homy macam ini. Kalau Ibu Kos lain akan mencak-mencak jika ada lawan jenis yang masuk kamar, yang ini malah ditawari makan.

“Nggak sholat, Dek?”

“Iya Mas, bentar lagi. Ini nanggung lukanya.”

Panji terdiam, memandang Aline yang dengan telaten merawat lukanya. Kekasih hatinya ini paling mantap kalau urusan merawat, maklum lulusan perawat. Cuma nasib saja yang membawanya jadi admin di pabrik. Panji masih terdiam, mensyukuri sekaligus mengutuk kondisi ini. Ada jurang besar diantara mereka.

* * *

Sebuah undangan warna merah terkapar di meja. Seonggok tisu terkapar pula di sebelahnya. Panji? Ikutan terkapar di lantai. Kamar kos yang sudah pengap itu mendadak sendu. Butiran air mata mengalir mulus di wajah Panji, seorang kepala seksi di sebuah pabrik, seorang staf yang selalu galak di depan mesin Marchesini, seorang auditor yang ditakuti oleh supplier-supplier, kini terkapar menangis.

Undangan warna merah itu tampak sederhana, tapi tentu maknanya jauh dari sederhana bagi Panji. Tentu saja, karena nama yang tertulis di undangan itu adalah Aline Fitriani. Dan bagian terburuk dari semuanya adalah disana tertulis bahwa Aline Fitriani akan menikah dengan sebuah nama, yang tentu saja bukan Kristoforus Panji.

Kalau saja operatornya melihat Panji sedang guling-guling di kamar macam ini, maka wibawanya akan musnah seketika. Tapi Panji kan juga manusia, menangis dan sedih adalah hak seluruh umat manusia. Panji pun terkapar sampai pagi tiba, dengan mata yang mulai bengkak.

* * *

“Mutasi, Bu?” tanya Panji pada Ibu Sum, manajernya.

“Bukan mutasi, Panji. Ini promosi. Bagaimana?”

“Promosi? Kenapa ke bagian lain?”

“Hahaha, kamu ini. Kalau mau tetap disini, mau nunggu kapan kamu jadi manajer?”

Panji terdiam. Promosi adalah perihal bagus kalau bicara soal gaji dan fasilitas. Tapi tentu saja beban kerja dan beban hidup mengikuti. Dan yang paling parah, mutasinya bukan ke tempat lain di pabrik itu, melainkan ke departemen Planning. Bukan perihal kerjanya, tapi tentang admin di departemen itu. Iya, namanya Aline Fitriani.

“Kalau gitu saya pikir-pikir dulu Bu. Terima kasih tawarannya,” jawab Panji sambil tersenyum.

* * *

“Sadar.. Sadar.. Udah jelas nggak bisa ini,” gumam Panji sambil tetap menampar-nampar pipinya.

Ada suatu masa ketika Panji sadar dengan kenyataan, tapi ada suatu masa lain ketika Panji merasa gila dan bodoh atas perjalanananya selama ini. Atas hubungannya selama 3 tahun dengan Aline yang berakhir tidak menyenangkan. Atas hidupnya yang penuh dengan Aline, bahkan hingga sekarang.

Sayup-sayup terdengar di telinga Panji,

“Tak pernah kumengerti, aku segila ini, aku hidup untukmu, aku mati tanpamu
Tak pernah kusadari, aku sebodoh ini, aku hidup untukmu, aku mati tanpamu.”

Panji menundukkan kepalanya, berusaha tenang atas pergolakan laten yang sedang memasuki masa timbul kembali. Tangannya bergerak ke kening, dada, bahu kiri, dan kanan. Sebuah tanda ini sejenak membuatnya tenang. Nafasnya mulai ringan, wajahnya perlahan mencerah. Sebuah kesadaran ternyata bisa muncul berkali-kali untuk hal yang sama.

* * *

*sebuah interpretasi dari lagu NOAH-Hidup Untukmu Mati Tanpamu

Advertisement

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.