Cerita Farmasi: Farmasetika (2)

Sesudah berkenalan dengan Pulvis, Pulveres, dan Capsulae, maka setiap Rabu selalu ada bentuk sediaan obat lain yang saya temui. Dan semuanya masih mengacu pada buku formula jaman sepakbola belum mengenal offside.

Berturut-turut sesudah trio maut tadi, saya menemui Pilulae-Granulae dan Suppositoria. Pilulae ini gampangannya adalah pil. Walaupun ini tentu beda dengan pil yang kita kenal sekarang. Kalau dibilang pil koplo, itu sebenarnya beda dengan bentuk pil yang saya bikin. Kemarin sempat lihat cara pembuatan pilus, dan… ya mirip cara membuat Pilulae.

Jadi adonan bahan obat dibuat sedemikian rupa sehingga panjang-panjang, lalu tinggal dipotong dan dibulatkan. Asli udah kayak main lilin-lilinan jaman kecil dulu. Bedanya yang dipegang adalah campuran daun Digitalis, obat jantung jaman dulu. Adapun Granulae hampir sama dengan Pilulae, tapi bentuknya saja yang jauh lebih kecil.

Sedangkan suppositoria adalah jenis sediaan yang penggunaannya dimasukkan ke lubang anus. Bentuknya seperti peluru, dengan ukuran kira-kira sepanjang dua buku jari kelingking. Ah, anak farmasi kok bikin ukuran kayak wartawan menyampaikan berita banjir.

“Pemirsa, banjir sudah setinggi kepala orang dewasa yang lagi push up..”

“Pemirsa yang budiman, air sudah menggenang setinggi pinggang orang dewasa. Kebetulan dia lagi boker..”

Dan sejenisnya.

Di praktikum pembuatan suppositoria ini, kekompakan sudah mulai terbentuk diantara anggota kelompok praktikum F. Dan karena saya ada di meja 1, maka jadilah kelompok ini dinamakan F1. Ini adalah kelompok praktikum paling keren, kalau ada mata kuliah ‘Teknik Praktikum Yang Berantakan’.

Sediaan suppositoria yang dibuat ini menggunakan basis Oleum Cacao, alias minyak kakao, yang tentu saja aromanya menggugah selera. Coklat men! Ya, menggugah untuk menit pertama, dan memuakkan untuk menit berikutnya mengingat obat ini digunakan dengan cara dimasukkan ke dubur.

Sumber: siskhana.blogspot.com
Sumber: siskhana.blogspot.com

Dari bahan-bahan penyusun suppositoria ini ada sebuah pewarna yang sangat keren, namanya Karmin. Ini pasti saudaranya Karmin Elektra dan Paimin. Kenapa keren? Karena cukup dengan sedikiiiittttt saja menuang serbuk ini, warna merah sudah bisa diperoleh. Dan di formularium juga ditulis penggunaannya yang sedikit. Sepertinya sih agar suppositoria yang didapat tidak coklat-coklat amat, alasan estetika.

Oya, di meja F1, selain saya, Tintus dan Andrew, ada Budiaji, Finza, Maria, dan Ita. Sejauh mata memandang, nggak ada yang agak benar dikit, selain Andrew. Bahkan mejanya BA–begitu Budiaji biasa disapa–dan Finza nggak kalah berserakan dibandingkan meja saya dan Tintus. Syukurlah, ada temannya untuk bagian kerapian dapat C.

Jam demi jam berlalu, campuran suppositoria tadi sudah dibekukan dalam cetakan dan sudah siap untuk diambil. Fiuh, akhirnya bisa juga saya praktikum agak bener. Setidaknya waktu diskusi, saya bisa membawa dua bentuk sediaan sesuai tugas yang diberikan di panduan praktikum. Dan bentuknya, setelah saya bandingkan dengan punya Andrew, nggak bubrah-bubrah amat.

Saatnya diskusi!

Diskusi dihelat bersama kakak kelas yang sudah tua, yang menjadi asisten praktikum. Kalau di kuliahan lain dikenal adanya asisten dosen, kalau di tempat saya kuliah adanya asisten praktikum doang sih. Apapun namanya, yang pasti mereka sudah tua.

Waktu diskusi ini, setiap mahasiswa harus mengeluarkan bentuk sediaan yang dihasilkan untuk kemudian dibahas bersama dan dituliskan di laporan untuk dikumpulkan pekan depannya. Begitu saja terus, sampai ujian praktikum alias responsi.

Ita, Maria, Andrew, Tintus, dan saya melewati bagian ini dengan cukup baik, yah ada masalah sedikit karena suppositoria punya saya agak retak-retak. Mungkin kurang benar waktu proses sebelum mendinginkan dan mengeraskan.

Tibalah giliran BA mengeluarkan suppositorianya.

……

….

“Hahahahahaha.”

Dan satu F1 ngakak melihat suppositoria buatan BA. Soalnya warnanya merah banget, persis lipstik!

Sumber: ceriwis.com
Sumber: ceriwis.com
Sumber: intanjait.blogspot.com
Sumber: intanjait.blogspot.com

“Kamu pakai karmin berapa banyak?” tanya Kakak Asisten.

“Satu sendok.”

* * *

Setelah praktikum suppositoria, kelompok F1 harus bertemu dengan Unguenta-Cremoris, serta Solutio-Mixtura.

Namanya aneh-aneh ya? Tapi itu semua familiar banget kok dengan kita. Unguenta itu nama tenarnya adalah salep, sedangkan Cremoris itu nama populernya adalah krim. Kalau sering pakai obat oles luar, ya pastinya dari kedua jenis ini.

Solutio dan Mixtura, apalagi itu? Keduanya adalah bentuk sediaan obat bertipe larutan. Katanya sih, kalau solutio diberikan kepada sediaan yang hanya mengandung 1 bahan terlarut, kalau banyak namanya mixtura.

Nah, di praktikum Solutio-Mixtura ini, anak F1 diberikan dua resep yakni obat batuk hitam dan larutan penyegar. Ditunjang oleh skill praktikum yang mulai terasah, maka praktikum bisa dimulai dengan riang gembira.

Saya dan Tintus kemudian asyik bercumbu dengan timbangan, yang masih saja belum ganti jadi timbangan digital. Kali ini rada seru karena yang ditimbang adalah bahan berbentuk cairan. Yeah, menimbang cairan dengan menggunakan timbangan logo pengadilan.

Di sebelah kanan, saya melihat Andrew dengan cekatan dan lugas mencampur-campur segala bahan tanpa sedikitpun menyentuh timbangan logo pengadilan itu.

Kok bisa ya?

“Udah kelar lo?” tanya Tintus.

“Udah dong.”

“Kok bisa? Gue aja baru nimbang.”

“Ngapain juga ditimbang?”

Saya dan Tintus lantas keheranan. Terus kalau nggak ditimbang, diapain dong?

Andrew kemudian membuka lemari kaca di bawah meja kerja dan mengambil sebuah benda yang belum pernah saya sentuh selama kami praktikum: gelas ukur.

“Disitu suruh timbang berapa?”

“100 mililiter,” jawab saya sambil ngecek ke formula standar.

“Tinggal tuang disini kan? Ada garisnya 100 mL,” terang Andrew sambil menunjuk ke garis yang ada di badan gelas ukur.

Sumber: nurindasarii.blogspot.com
Sumber: nurindasarii.blogspot.com

Iya juga ya? Di panduan dan di formula kan cuma disuruh timbang sekian, dan nggak dibilang nimbangnya pakai apaan. Dan mungkin ini efek praktikum-praktikum sebelumnya yang menggunakan bahan dasar padat, yang memang harus menggunakan timbangan neraca.

Kadang orang kalau terlalu biasa, jadi nggak kepikiran out of the box yah?

Segera sesudah dapat ilmu dari Andrew soal ‘menimbang’ dengan menggunakan gelas ukur, pekerjaan saya dan Tintus menjadi lebih cepat. Ya karena memang bagian yang paling makan waktu sebenarnya adalah menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Eh, salah. Menyeimbangkan timbangan kiri dan kanan.

Obat batuk hitam jadi dengan aroma Succus Liquiritiae yang manis-manis gimana gitu. Sekarang saatnya membuat mixtura, berupa larutan penyegar. Mas penunggu lab alias laboran sudah menyediakan botol soda bekas, sekaligus penutup dan talinya, karena sediaan ini akan mengeluarkan CO2 sehingga kalau nggak ditutup dan ditali, maka tutupnya akan terbang dan lepas bebas ke angkasa.

Campur, campur dan campur. Akhirnya sampai juga pada tahap menutup botol dan mengikatnya. Beres deh. Sediaan berwarna putih bening kayak soda itu sudah bisa dibawa ke diskusi.

“Boleh diminum, Mbak?” tanya saya kepada Mbak Asisten sesudah diskusi berakhir.

“Boleh aja kalau mau.”

Yah, kelihatannya enak. Padahal siapa yang tahu tanggal kadaluarsa bahan-bahan yang ada di lab itu? Bahkan air yang digunakan untuk bahan utama, meskipun namanya aquades, tapi diambil juga dari jerigen. Cuma kok nggak kepikiran aja sampai disitu. Yang terlintas cuma kelihatannya enak, dan boleh dong sekali-sekali nyicip hasil kerja sendiri. Kalau kemarin-kemarin, yang dibuat Pilulae obat jantung sama Suppositoria. Males banget kalau mau nyobain.

Anak-anak F1 segera memposisikan botol menghadap ke taman di depan lab. Menurut teori, isi botol ini akan banyak CO2, jadi begitu tali pengikat dilepas, tutup botol akan terbang dengan tekanan tertentu.

“Plup. Plup. Plup.”

Benar saja, tutup botol berterbangan dengan radius beberapa meter dari tempat kami berdiri. Andrew, Maria, dan Ita segera membuang isi botol tersebut ke wastafel.

Saya malah mendekatkan mulut botol itu ke mulut sendiri.

Cicip.

“Enak juga.”

Rasanya memang mirip larutan penyegar serbuk yang sekarang ramai dijual, dan iklannya mulai saling merendahkan satu sama lain. Karena juga sudah siang dan haus, maka satu botol mixtura itu habis juga. Lumayan ngirit nggak usah beli es teh.

Sementara itu di wastafel lab…

BA berdiri dengan mulut botol masih menutup, dan menghadapkannya ke dalam wastafel. Jadi jarak tutup botol dengan dinding wastafel bahkan kurang dari 30 cm.

Kalau tadi tutup botol saya bisa terbang 5 meter. Berarti yang ini kalau dilepas….

“Plup.”

“Budi!”

Suara tutup botol lepas, diiringi gemercik air di lantai, diakhiri suara marah Bu Agatha.

“Kamu bersihkan sekarang!” lanjut Bu Agatha, masih marah.

Ya iyalah, Bud. Kalau di luar tadi tutup botol bisa terbang 5 meter. Gimana di wastafel? Kalau di luar tadi saja, air di botol masih nyiprat dikit meskipun posisi botol sudah 45 derajat miring mengadap ke atas, gimana kalau botol 45 derajat menghadap ke bawah?

Air di dalam botol soda itu akhirnya ya nyiprat kemana-mana. Lab yang sudah dibersihkan oleh masing-masing praktikan menjelang berakhirnya praktikum kini basah karena mixtura punya BA.

“Iya Bu.”

Saya dan Tintus ngakak habis sambil meninggalkan lab untuk makan siang, karena jam 1 ada praktikum lagi, Kimia Dasar. Bukannya senang karena teman menderita loh, tapi yang dilakukan BA itu benar-benar lucu, apalagi kalau lihat tampangnya yang mirip tampang pengantin bom unyu, sesaat sebelum menarik detonator, eh… menarik tali penutup, sampai kemudian terdengar suara, “plup.”

Satu jam kemudian, kelompok F sudah berkumpul kembali di lab bersiap praktikum Kimia Dasar. Dan ada yang aneh dengan BA.

“Bud, jas lo kok kotor?” tanya Tintus.

“Iya tadi ngepel.”

“Lo ngepel pakai jas lab?”

“Iya.”

“Hahahahahaha.”

Bukannya belajar buat pre-test–tes sebelum memulai praktikum–seantero kelompok F malah ngakak nggak berhenti-berhenti mengetahui kalau BA baru saja mengepel lab Farmasetika dengan jas labnya yang putih bersih itu.

* * *

Malam Hari

Badan saya mendadak panas, pusing melanda, dan pada akhirnya tidak bisa tidur sepanjang malam. Awal mula mimpi Halle Berry, terus kemudian Halle Berry-nya menjelma menjadi Berry Prima. Gimana saya bisa tidur kalau gitu?

Baiklah. Mencicipi sediaan buatan sendiri cukup kali ini saja.

5 thoughts on “Cerita Farmasi: Farmasetika (2)”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.