Category Archives: Refleksi Singkat Saja

Berefleksi itu bisa dengan dipikir benar, bisa juga nongol tiba-tiba dari perifer..

10 Tahun: Merantau

Oalah.. Pantes Sabtu kemarin ngerasa ada sesuatu yang seharusnya diperingati. Tapi apa, malah lupa. Ingat punya ingat, ternyata 2 Juli 2011, bertepatan dengan hari pertama saya menginjakkan kaki di Jogja, sepuluh tahun silam. Yup, saya sudah sepuluh tahun merantau.

Sebenarnya, nggak jauh dengan posting sebelumnya yang berjudul 9 Tahun 9 Bulan, bedanya ini pas 10 tahun. Lama ya? Ibarat kata, kalau waktu saya merantau kala itu ada yang bikin anak, maka anaknya sekarang sudah SD tahap akhir. Sudah bisa baca, tulis, kali, bagi, limit, integral dan sejenisnya.

Sudah 2 digit, sepuluh, satu dan nol. Sudah macam-macam pernak-pernik hidup merantau yang saya alami. Yang suka banyak, yang duka, kita sebut saja sebagai ada. Yang senang, yang sedih, silih berganti datang sejak saya menaiki Bus Gumarang Jaya jurusan Bukittinggi-Jakarta.

Waktu mulai merantau sebenarnya sudah seru. Berangkat hari Jumat, tanggal 29 Juni 2001, naik Gumarang Jaya. Sampai Bakauheni hari Sabtu, 30 Juni 2001 agak siang. Sampai Kampung Rambutan sudah gelap pada hari yang sama. Lanjut sebuah bus yang saya lupa namanya, Jakarta-Cirebon. Lalu sampai Cirebon dini hari sekali, jam 3 kalau nggak salah. Menggedor-gedor pastoran Cirebon jam 3 pagi. Dasar gila. Langsung ikut misa paginya, lalu isi TTS, dan dapat uang dari Pakde atas TTS yang penuh saya isi. Nilainya bahkan lebih besar dari hadiah TTS di koran itu sendiri. Wkwkwk..

Lantas malam harinya, berangkat ke Jogja, naik kereta api. Yah, kalau naik di Cirebon, nggak usah diharap bakal enak. Disini saya mengalami yang namanya duduk di perlintasan gerbong, dengan goncangannya yang dahsyat. Pokoknya nggak bisa tidur deh.

Sampai Jogja pagi hari, langsung bergegas ke SMA Kolese De Britto. Satu-satunya pilihan. Well, saya tidak mempersiapkan pilihan apapun, jikalau kemudian saya gagal masuk JB. Tapi Tuhan tahu saya nggak menyiapkan pilihan lain, karena dengan proses yang sepertinya terlihat mudah, saya masuk. Tanpa proses tunggu menunggu, pada hari itu juga saya diterima. Dan disitulah perjalanan dimulai, 2 Juli 2001.

Kini Juli 2011, saya ada dengan profil saya sekarang, seperti ini. Buah dari apa yang saya lakukan selama 10 tahun belakangan, berupaya struggle saat orang tua ada ribuan kilometer nun jauh disana, dengan segala pernak-perniknya.

Itulah, 10 tahun, dan pasti akan terus bertambah. Saya yakin Tuhan selalu memberkati saya, juga memberkati kita semuanya.

Semangat!!! 🙂

8 Prinsip PPIC Untuk Kehidupan

Judul yang aneh ya? Hehehe..

Tapi ini serius. Saya 2 tahun berada di bidang ini. Jadi sedikit sharing saja beberapa faedah dan nilai-nilai yang cukup berguna untuk kehidupan. Sebenarnya sih, di bidang apapun anda berada, Quality, Production, Marketing, Maintenance, dll, pasti ada value-nya. Tinggal dituangkan dalam kata-kata saja. 🙂

Pertama: Segala Sesuatu Itu Harus Direncanakan

Hari ini mau ngapain? Besok mau ngapain? Tahun depan mau ngapain? Satu hal yang pasti, dalam manufacture hampir tidak mungkin kita memutuskan apa yang akan kita kerjakan hari ini pada hari itu juga. Kalau memang begitu, berarti PPICnya sudah gagal. PPIC tugasnya menyiapkan rencana produksi dalam rentang waktu yang ditetapkan. Schedule itu yang menjadi titik tolak semuanya, pemesanan barang, persiapan mesin, sampai ke kebutuhan personel. Kalau nggak ada rencana, darimana hal-hal diatas bisa diperoleh?

Sama dengan kehidupan tentunya. Mau jadi apa kita 1 tahun, 5 tahun, atau 20 tahun ke depan sudah harus ada gambarannya. Dari situlah kita akan berangkat mau melengkapi apa saja untuk bisa mewujudkan planning yang sudah kita buat. Bukan begitu?

Kedua: Segala Rencana Ada Dasarnya

Mau bertipe Make To Order atau Make To Stock, setiap planning yang dibuat selalu atas dasar order. Kalau MTS maka dasarnya forecast, kalau MTO dasarnya adalah order. Tidak mungkin kita membuat sesuatu tanpa tujuan, kecuali orang manufakturnya orang gila. Memang ada yang namanya trial dan sejenisnya, tapi itu kan juga ada tujuannya. Trial dilakukan untuk pemastian proses ke depan, itu adalah tujuan, dan sifatnya jangka panjang. So, setiap rencana pasti atas sesuatu yang harus dipenuhi.

Soal kehidupan, ya sama. Kita punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Kita punya cita-cita utama. Sebutlah itu misalnya, sukses. Dalam upaya mencapai kesuksesan itu, kita akan merencanakan hal-hal yang dibutuhkan untuk pemenuhannya. Entah itu bekerja keras, belajar, atau apapun itu. Sangat baik apabila kita melakukan sesuatu atas dasar, bukan karena hidup yang mengalir.

Ketiga: Selalu Ada Waktu Tunggu

Budaya instant sudah merebak, kata orang jawa, sak dek sak nyet. Minta sekarang, mau ada sekarang. Even kita minta tempe goreng, kalau si tukang tempe baru buka, ia bahkan perlu waktu untuk menyiapkannya. Sama dengan PPIC. Ketika ada planning, untuk menyiapkannya, ada lead time, baik itu bahan baku ataupun produksi. Boleh menyebut lead time itu dalam satuan menit, jam, hari atau bulan. Tapi tetaplah itu waktu tunggu.

Sama halnya dengan hidup kita, kalau mau sesuatu, kita juga perlu waktu dan usaha. Mau ke warung, setidaknya kita harus take time untuk berjalan kaki. Bahkan delivery pun, kita akan merelakan waktu untuk menelpon. Untuk hal yang lebih besar, cita-cita misalnya, kita tidak akan jadi pilot dengan seketika. Ada waktu, ada proses, demikianlah adanya.

Keempat: Ketaatan Pada Setiap Detail Transaksi Berpengaruh Besar Pada Kesuksesan

Sepele kalau ini. Berapa stok kita secara fisik, berapa di data kita. Itu saja deh. Kalau beda, dan apalagi beda signifikan, hasilnya adalah salah keputusan. Salah keputusan bisa berimbas banyak. Marketing ada opportunity loss atau potensial write off atau banyak yang lain. Bagaimana cara mengatasinya? Detail yang diperhatikan. Setiap pergerakan selalu dicatat dan jangan disepelekan. Itu saja.

Ini juga simpel sekali penerapannya dalam kehidupan. Ada di post lain blog ini yang membahas itu, judulnya Detail Kecil Yang Terlupakan. Silahkan dibaca disitu. Hehehe…

Kelima: Kelengkapan Sumber Kesempurnaan

Proses produksi akan berjalan dengan sempurna apabila seluruh komponen dari Bill Of Material terpenuhi lengkap. Kurang salah satu saja, maka potensi proses terganggu sangat besar. Itulah mengapa BOM yang disediakan lengkap akan menghasilkan kesempurnaan persiapan proses produksi. Imbasnya semua berjalan sesuai timeline.

Sama halnya dengan kehidupan. Kita mau ujian, tapi tidak memperlengkapi diri dengan hal-hal yang diperlukan saat ujian, pensil misalnya. Ya bubar. Itu pasti.

Keenam: Hidup Adalah Ketidakpastian

Berangkat dari forecast, planning produksi dirancang. Ketika forecast tidak terpenuhi, bergeserlah semuanya. Salahkah kita? Ya tidak, dari namanya saja sudah forecast, perkiraan, salah itu nama tengahnya. Jadi yang penting adalah selalu aware atas ketidakpastian ini.

Apalagi dalam kehidupan. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok? Tidak semua orang pastinya. Itulah pasal ketidakpastian, karena satu hal yang pasti di dunia adalah ketidakpastian itu sendiri. 🙂

Ketujuh: Tidak Mungkin Memuaskan Semua Pihak

PPIC berada di tengah-tengah, semuanya dapat. So, dalam pelayanannya, pasti bertemu banyak pihak, dan pasti tidak dapat memuaskan semua pihak. Spiritnya cuma 1: sesuai arahan atasan/perusahaan. Jadi kalau ada pihak yang mungkin merasa dikalahkan, dikorbankan, itu ya perasaan saja.. hehe.. Toh, intinya orang bekerja kan demi kepentingan perusahaan. Kalau nggak gitu, ya nggak digaji dong?

Di kehidupan apalagi. Ngimpi kita memuaskan setiap orang yang kita temui. Pasti ada kalanya ada pihak yang harus dinomorduakan, karena ada yang prioritas. Itu keniscayaan.

Kedelapan: Proses Yang Baik Adalah Hasilnya

Orang produksi, hasil: produk. Peneliti, hasil: laporan riset. PPIC, hasil? Nggak jelas memang. Hehehe.. Tapi sebenarnya, hasil yang diharapkan adalah terjadinya proses yang baik. Ketika seluruh proses sesuai timeline, sesuai planning, dan tepat sasaran, disitulah kesuksesan. Ada simpangan, itulah kegagalannya. Abstrak, tapi ya terasa sekali.

Soal kehidupan? Kadang kita hidup untuk tujuan tertentu, mungkin itu berupa benda berwujud. Tapi kita pasti juga berinteraksi dan tujuan kita adalah kebaikan bersama. Kecuali orang sinting, tidak ada yang berinteraksi dan bersosialisasi untuk keburukan. So, goal-nya adalah kebaikan bersama itu tadi. Agak sulit dicerna kalau yang ini. Hehehehe..

Itu sedikit renungan saja. Sekali lagi, bukan bermaksud mendewakan profesi saya sekarang. Toh, saya juga masih sering salah, error. Tapi dari kesalahan kita belajar soal kehidupan dan tentunya kesempurnaan. Bukan begitu?

Menjadi Lebih Baik

Perjalanan Cikarang-Bogor-Cikarang sambil terkantuk-kantuk (thanks a lot for Pak Asep hehehe..), membuat saya melakoni kegiatan rutin saat perjalanan: melamun. Dan keping-keping peristiwa terbaru mengarahkan saya pada suatu memori permainan WE/PES di Play Station.

Tulisan ini tidak bermaksud membuat makna bahwa main WE/PES di PS itu baik sempurna, tidak sama sekali. Saya hanya ingin berbagi memori bagaimana kita sejatinya bisa menjadi lebih baik.

Alkisah, pada tahun 2009, dua orang rekan bergabung di permainan bola di PS yang di-liga-kan setiap periode tertentu. Dalam upaya tidak bikin malu, saya dan dua rekan itu rutin berlatih setiap Jumat malam, Sabtu, dan kalau perlu Minggu, tentunya di rental PS sesudah bekerja. Dengan anggapan akan dipakainya permainan PES, kami berlatih PES sepanjang waktu2 itu.

Saat permainan, muncullah WE sebagai basis liga. Persiapan kami hancur, dan kami menjadi 3 terbawah, pun juga jadi lumbung gol.

Beberapa liga kemudian, salah satu dari rekan tersebut hadir kembali di liga, tanpa latihan sama sekali karena tidak sempat, namun hasilnya: JUARA 1.

Well, apa intinya?

Banyak kisah from zero to hero di dunia ini, dalam lingkup yang dipersempit, mungkin kisah tadi bermakna sama. Kita dulu mungkin bukan apa-apa, tetapi dengan terus mendapat inputan, dengan terus berproses, dengan terus berupaya melakukan update diri, pasti ada perubahan.

Oke, rekan tadi memang tidak latihan sama sekali sebelum juara, tapi jauh sebelumnya, ia sudah bermain berkali-kali sampai pagi. Bahkan pernah dalam suatu liga, ia baru tidur subuh karena latihan, dan hasilnya gagal total. Disitu poinnya, setiap kegagalan selalu ada selanya. Ketika gagal di even pertama, jelas perbedaan basis game jadi soal. Solusinya, sesuaikan latihan dengan game yang dipakai pada pertandingan. Ketika kalah banyak, amati terus permainan lawan pada liga-liga berikutnya, dan pasti kita akan menemukan sesuatu. Demikian terus, setiap kesalahan-kesalahan mengumpan misalnya, akan hilang dengan rutin melakukan koreksi.

Tujuannya sederhana, menjadi lebih baik.

Sebenarnya, dalam beberapa hal pasti sudah saya dan kita lakukan. Pun ketika saya berubah dari 3 terbawah dan perlahan ke 3 teratas, bersama rekan tadi. Itu butuh proses, butuh usaha, dan butuh banyak hal yang saya sebutkan di atas. Ketika kita menjadi lebih baik dari sebelumnya, maka disitulah keberhasilan kita dalam melakukan koreksi.

Tinggal sekarang, gimana ya caranya menerapkan pada hidup sehari-hari, karena hampir selalu saya sendiri, sering terjebak (seperti kata Badai) di Kesalahan Yang Sama?

Apa jawabnya?  Itulah gunanya kita diberi otak untuk berpikir.

Selamat pagi sobat. Semangat!!! 🙂

Tanda Tanya

Bolehlah mau disebut sebagai komentar film, karena tulisan ini dibuat setelah menonton film “?”. Yap, film ini memang sedikit membuat heboh. Eh, sedikit apa banyak ya? Soalnya di bioskop tadi penuh, sampai ada yang nonton di depan bawah alias menyiksa leher. Hehehe..

Ya, setiap segala sesuatu yang terkait dengan SARA pasti heboh. Itu pasti. Nggak peduli itu film, poster, issue atau apapun.

Dalam hal ini, konflik-konflik agama dan SRA lainnya, pasti akan menyinggung satu dan lainnya. Coba anda seorang muslim, dan menonton kisah dilarang sholat. Komentar Soleh pun pasti mengemuka. Atau anda Katolik, bisa terjadi juga apa yang diminta oleh Doni untuk membubarkan aksi peragaan Jumat Agung hanya karena yang jadi Yesus-nya orang Islam.

Atau kala Hendra memutuskan memilih jadi mualaf dengan segala latar belakangnya, sampai Rika yang menjadi Katolik karena tidak mau dipoligami. Itu pasti akan menyinggung salah satu. Nggak bisa dipungkiri soal itu.

Sebenarnya apa sih yang dipermasalahkan? Tuhan yang kita akui bersama itu sebenarnya SATU. Kita menuju Tuhan dengan cara yang kita yakini masing-masing, itu saja bedanya. So, soal ini sebenarnya sih tidak akan menjadi masalah ketika pola pikirnya demikian. Sayangnya, belum semua orang mampu berpikir demikian.

Ketika Hendra memilih menjadi mualaf, itu ada pilihannya, pun dengan Theresia Rika. Yang penting, kita menjadi lebih baik dengan mengarungi jalan yang kita pilih sendiri itu. Thats It. Nggak perlu-lah kita mengurusi kepercayaan orang lain, terlebih mendoktrinnya.

Kita masing-masing punya tujuan yang sama: TUHAN kita. So,pilihan berjalan tentu akan kembali ke kita masing-masing. Dengan syarat itu tadi, pastikan bahwa itu menjadikan kita lebih baik.

Thanks buat film yang sangat mendidik itu.

Hanya 1 catatan utk film ini: doa Bapa Kami itu “Bapa Kami Yang Ada Di Surga” bukan “Bapa Kami Yang Di Surga”, might be ini kelolosan ngedit.. hehehe..

Semangat!!!

Menyoal Helm

Pagi-pagi bangun,

(skip)

aku pergi ke bandara. Naik motor. Giliran sudah sampai di tempat yang agak joss buat ngebut, tiba-tiba ingat suatu fenomena, yang buatku cukup menarik.

Kalau nggak percaya, boleh dicoba.

Lakukan perjalanan membonceng dengan menggunakan helm standar. Lalu lakukan juga perjalanan yang sama dengan menggunakan helm ciduk, atau tidak pakai helm.

Memangnya kenapa?

Ya boleh dicoba dulu, tapi berdasarkan pengalaman, mengobrol dengan menggunakan helm standar lebih mudah, dan itu terjadi semata-mata karena telinga lebih mudah menangkap informasi yang disampaikan orang di belakang.

Agak unik menurutku, karena secara logika helm standar menutupi telinga kita, tapi kenapa bisa mendengar dengan lebih baik dibandingkan telinga yang tidak ditutup?

Sebenarnya sederhana saja, informasi suara itu berupa gelombang. Ketika telinga kita dibatasi, maka ada medium yang direduksi benar kemampuannya: udara. Jadi ketika informasi disampaikan, lubang kecil yang ada di sela-sela helm standar mampu menjadikan telinga kita fokus menangkap informasi yang ada. Bedakan saat telinga itu bersentuhan dengan udara bebas, maka telinga kita masih harus menghadapi udara dan segala gelombang lain yang terbawa olehnya. Which is mean informasi yang seharusnya bisa kita terima dengan mudah, jadi terhambat.

Well, poin yang menarik disini sebenarnya tak kalah simpelnya. Kala kita mendengar, ada baiknya kita fokus mendengarkan suara yang ingin kita dengar. Jangan sampai suara itu tertutupi oleh faktor luar yang menyebabkan pada akhirnya kita tidak mendapatkan informasi yang kita inginkan.

Anggaplah suara itu adalah suara hati.

Beranikah kita memakai helm standar, agar kita betul-betul mendengarnya dengan baik?

Demi hidup yang lebih baik, Semangat!! 🙂

Kita Punya Kualitas

Capek nian hari ini. Dari jam 8 pagi sampe jam 7 malam ikut Seminarnya Detik.com. Tapi, senang.. Serasa kembali ke dunia lama, dunia dimana passionku berada. Yeah, this is my passion!!!!

Hmmm.. cukup menarik dapat ilmu2 dari founder Detik.com, dan sedikit inspirasi dari Raditya Dika. Selain itu, dapat tambahan pula di workshop citizen journalism. Dan yang lebih penting dari semuanya adalah GRATIS!!! hahaha…

Satu hal yang menarik, tapi aku nggak bermaksud apa-apa. Cuma perlu berbagi nilai yang mungkin berguna.

Jadi, ada test membuat berita sederhana. Dan beberapa orang diuji coba hasilnya (kalau belum dihapus bisa dilihat di lokal.detik.com). Orang pertama, dapat nilai 6.5, lanjut 3 orang yang lain dapat 5.5, pas giliranku, dites-tes dapat 7. Weww…. Ga rugi lulusan CasCisCus.. haha..

Lalu ditantang, siapa yang merasa karyanya lebih baik dari nilai 7 ini, boleh ngacung. 3-4 orang ngacung, dibahas, dan tidak ada yang lebih besar dari 7.

Apa valuenya?

Teman, selalu percayalah pada diri kita sendiri, selalu tekankan pada diri kita sendiri bahwa: Aku Punya Kualitas! Kita Punya Kualitas!

Mengapa?

Karena pada dasarnya kita adalah makhluk-makhluk biasa, tapi kita dianugerahi KARYA yang LUAR BIASA. Hanya terkadang, dilingkupi pola pikir yang membelengguku selama ini, bahwa terkadang kita minder, rendah diri. Pun aku sebagai orang yang prefer pesimistis daripada over optimis, minder adalah impresi pertama. Tapi selalu percayalah teman, selalu yakinkan diri bahwa kita mampu, kita bisa, kita punya kualitas.

Hari ini aku diajak untuk bangga pada diri sendiri, percaya bahwa aku bisa. Karena ternyata, bangga dan percaya pada kualitas pribadi kita sendiri bukanlah cara yang buruk dalam menyikapi sesuatu. Bahkan memberi banyak suntikan positif.

Kalaiu kata ripley, PERCAYALAH!!

Semangat!!!

Pinjam Meminjam

Huahhh… sudah lama nggak nge-blog.. Sebenarnya banyak ide di kepala, tapi giliran ada, jaringan payah atau malah lagi nggak di dekat komputer. Hilang deh. Ini kebiasaan buruk, nggak boleh diteruskan. Kisah kali ini adalah kisah lama beberapa pekan silam. Jadi membangkitkan memori saja. Semoga masih mengena..

Suatu episode Spongebob Squarepants, Spongebob dan Patrick ingin memiliki balon, namun tidak punya uang. Karena ‘didikan yang salah’ dari Tuan Krabs, mereka meminjam balon. Saat asyik2, balonnya pecah. Mereka pun jadi heboh, merasa bersalah, kabur, sampai akhirnya harus kembali karena tidak tahan dengan ketidakjujuran telah memecahkan balon yang dipinjam.

Well, pinjam meminjam itu hal biasa di dunia ini. Orang yang memiliki sesuatu yang terkadang belum dipakai, pada saat orang lain melakukan proposal untuk memakainya, maka terjadilah transaksi pinjam meminjam.

Hal yang penting adalah bagaimana kita menjaga barang pinjaman itu.

Satu poin penting adalah barang itu adalah milik orang lain yang kita pakai. Artinya, ketika suatu saat kita harus mengembalikannya kepada yang empunya, kondisinya harus tetaplah sama, bahkan kalau bisa lebih baik. Beberapa kali motorku dipinjam, ketika kembali sudah terisi penuh dengan Pertamax. Itu yang bikin terharu.. hehe… Itu contoh saja, banyak hal lain, meskipun tidak termasuk dalam hal ini pinjam uang. Itu beda kasus.

Ada kalanya benda pinjaman itu menjadi rusak, atau setidaknya berada pada kondisi yang lebih buruk ketimbang saat dipinjam. Apa yang akan terjadi jika kita mengembalikannya? Hampir bisa dipastikan yang meminjami akan tobat untuk meminjamkan lagi. Hampir bisa dipastikan itu.

Sama halnya dengan hidup kita. Kita kan sadar sepenuhnya bahwa hidup kita ini punya Yang Kuasa. Dan kehidupan kita dipinjamkan pada kita untuk memberikan karya. Kalau hidup itu kita isi dengan hal-hal yang baik, tentunya yang punya bakal senang. Lain kasus jika kita isi dengan hal-hal yang merusak hidup itu sendiri.

Artinya, selayaknya kita menghargai hidup kita, layaknya orang menjaga barang yang dipinjam. Dan yang paling penting adalah jangan membuatnya menjadi lebih buruk dari kondisi sebelumnya.

Sedikit renungan pasca rabu abu.. 🙂

Semangat!!!

Cerita Jumat Sore (Masih Dengan Supir Taksi)

Jumat sore, secara umum sudah sangat begah. Aku yakin itu pasti terjadi pada semua pekerja. Jadilah aku bergegas mengangkat tas yang sudah seminggu menemani dan mencari taksi untuk satu tujuan: Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.

Kupanggil taksi yang nongkrong di depan Titan Center, segera naik, dan segera menyebutkan tujuan. Untuk kasus bertaksi ria aku memang punya standar sendiri. Kalau memang si supirnya tidak mengajak ngomong macem2 ya aku diam saja. Lain hal kalau supir taksinya mengajak ngobrol, aku ladeni.

Kali ini aku bertemu dengan Sudarto, 31 Tahun, asli Wonogiri, tinggal di Bekasi, sudah berkeluarga dan beranak 1. Itu semua pengakuannya lho. Aku kan tidak bisa mengecek kebenarannya, ya kan?

Banyak cerita dalam perjalanan ini, mulai dari kisahnya yang pernah jadi supir mobil box, supir pribadi, maupun supir taksi. Kisahnya bertemu penumpang-penumpang, sampai soal harta warisan mertua di kampung. Tapi poin menarik dari perjalanan panjang sore ini adalah ketika sudah memasuki kawasan bandara, ia melontarkan pertanyaan menarik.

“Kerja 2 tahun sudah dapat apa aja mas?”

Wew.. agak dalem kalau yang ini. hehe.. Ia pun berkisah soal motor supra fit yang sudah lunas dan sebuah kontrakan yang harus dibayar dari bulan ke bulan sebagai bagian dari apa yang sudah ia dapat.

Dan aku?

Hmm.. yang pasti adalah pengalaman, yang tentunya punya value tersendiri. Bukan begitu?

Yah, diluar itu, memang aku perlu menginventarisasi apa saja yang sudah aku dapat selama bekerja. Dan obrolan sore ini menyadarkanku untuk hal itu. Tentunya adalah secara materi, karena itu adalah parameter yang countable, bisa dihitung, dan jelas wujudnya. Ternyata itu perlu, agar kita punya parameter yang jelas untuk hal yang dilakukan sehari-hari.

Menurutku sih begitu.. 🙂

Bapak Supir Taksi

Hmm..  Hari ini aku naik RIA Taksi, supirnya bapak tua, wajarnya sih dipanggil simbah, terutama dilihat dari keriput dan rambutnya yang memutih. Sebenarnya agak berjudi juga memilih bapak ini sebagai supir taksinya, tapi mengingat terakhir naik taksi Balido SMB-Lr Famili aku dijadikan objek balapan oleh supir muda, mungkin sesekali memilih supir tua adalah solusi yang baik.

Nggak banyak cerita sebenarnya, hanya suatu momen ketika membayar.

“Piro pak?”

Argo menunjuk angka 31 ribu sekian, kuanggap 32 ribu.

“tambah parkir 2000”

Aku tidak berhitung soal berapa-nya saat itu, karena uangku pecahan 50rb, so dijamin akan ada kembalian. Jadi kuserahkan saja uang biru itu ke pak supir taksi.

Sejurus kemudian ia menyerahkan yang sebesar 21 ribu.

Aku terdiam sejenak, dan baru mulai menghitung, kok ada yang aneh, emang tadi ongkosnya berapa, dsb..

“nggak salah pak?”

“32 tambah parkir 2 ribu, jadi 34, brarti kembaliannya…”

“16”

“Maaf ya, maklum sudah tua”

Well, sejujurnya waktu tadi bertanya kembali, ada sejurus pikiran, ambil nggak ya, lumayan 5rb. Tapi untunglah Tuhan memberi sisi baik pada manusia berdosa sepertiku untuk tidak melakukannya.

Kalau mau dipikir-pikir, ini taksi argo, jadi berapapun output dari argo itu adalah benar biaya yang harus kita bayar karena memakai jasa taksi, yang juga berarti segitulah jatah si bapak. Kalau memang segitu jatahnya si bapak, apa haknya kita mengambil? Nggak ada kan? Kalau aja si koruptor-koruptor di atas sana mikir kayak gini ya. Aku juga heran tiba-tiba dikasih wangsit untuk bertindak baik. hehe..

Satu lagi, meski kesalahan yang ia lakukan sejatinya menguntungkan diriku, tetap saja si bapak bilang maaf.. Menurut pengalamanku, sangat sulit untuk kita meminta maaf ketika kita merasa rugi, atau kesalahan kita menguntungkan orang lain.. Iya nggak sih?

Terima kasih kepada bapak supir taksi atas pelajarannya yang sungguh menarik. 🙂

Menembus Awan

Baru kali ini posting di blog sederhana ini memakai foto karya sendiri.. hehe..  Baiklah, mari kita mulai. Ini sebenarnya efek dari kesukaanku duduk di seat A atau F setiap kali naik pesawat. Mengapa? Duduk di seat A dan F itu sesuai dengan kepribadianku.. halah.. Ya jadi begini, kalau duduk di seat C atau D kan pasti kudu cepat-cepat berdiri kalau pesawat berhenti. Padahal aku orangnya comply, baru melepas sabuk pengaman kalau lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. haha..

Perihal kesukaan duduk di seat A dan F inilah yang membuatku bisa mengambil foto di samping, foto ini sudah lama, dari rangkaian banyak foto awan lainnya. Tadi, waktu naik SJ 083, melihat-lihat awan, pengen foto lagi, tapi apa daya kamera sudah tergeletak di bagasi atas.

Hmm.. Mengapa awan? Lama-lama, melihat awan itu ada sisi menariknya juga. Awan itu kan terlihat begitu masif. Tapi pesawat bisa melewatinya, meski kadang dengan guncangan-guncangan. Ini yang menarik.

Aku terlahir dengan pesimisme. Mungkin bukan terlahir kali ya, efek lingkungan mungkin.. Tapi whatever lah, yang aku tahu, aku orang yang pesimis. Begitu melihat suatu target yang muncul pertama kali di pikiran adalah “ah… ketinggian..”. Sisi baik dari orang pesimis adalah begitu mudah mencapai target. Kenapa? Kalau kita menempatkan sub standar sebagai target kita, lalu kita mencapai keadaan standar, itu tandanya kita melampaui target kan? Itu yang aku suka. Lagipula, terlalu optimis juga jadi masalah. Sakit hatinya itu yang nggak nguati.. hehe..

Tapi soal pesimisme ini menjadi mentah oleh filosofi menembus awan. Kalau kita berkutat dengan pesimisme, awan yang masif itu akan terlihat sebagai rintangan yang tak terlewati oleh kita. Kita akan minggir, mlipir, mencari jalan yang nggak berawan. Hasilnya? jalan tambah jauh, entah dapat jalan yang tidak berawan atau nggak.

Coba kemudian kita memandang awan sebagai suatu hal masif yang bisa dilewati, meskipun dengan goncangan ketika melewatinya. Kita bisa masuk menembus awan itu untuk kemudian melihat bahwa sesudah itu yang ada adalah langit bersih tanpa awan lagi. Awan ada di bawah kita, menyaksikan bahwa kita telah sukses melewatinya. Well, cukup menarik untuk dipraktekkan, terutama dengan kebiasaan yang menetapkan sub standar sebagai target.. hehe..

Baiklah, satu posting dari ruang tunggu A3 🙂