Tag Archives: pesawat

Bagaimana Jika Kita Berjumpa Anak Ber-DNA Dajjal di Playground?

Sedang meluncur di Twitter, saya bertemu twit lucu yang satu ini. Lucu karena sangat relate dengan kehidupan saya.

Saya termasuk rajin menemani anak main ke playground. Sebut sajalah nama-nama playground zaman sekarang, mulai dari Kidzilla, Zoomov, Kidzoona, dan sejenisnya. Nyaris semua sudah. Walaupun harga tiketnya seharga sekali fullday meeting, tapi apa sih yang nggak kalau buat anak semata wayang?

Tentu ada masa vakum saat Isto tidak playground. Kurang lebih 2 tahun lamanya. Sebab sejak Maret 2020 dia benar-benar dikunci dari dunia luar. Baru main lagi sekitar pasca Gelombang Delta karena memang sayanya juga sudah mau masuk kerja lagi. Tapi itu juga ke Jakarta Aquarium. Kalau ke Kidzilla sih sekitar November. Bermula dari apartemen yang pemadaman listrik dan saya tidak punya pilihan lagi untuk menjaga anak sembari Zoom, maka saya bawalah ke Kidzilla.

Dan memanglah akan selalu ada saja anak ber-DNA seperti yang disebut di twit tersebut. Dan sejujurnya saya tidak pernah menyalahkan anaknya. Anak mah tergantung pendidikannya. Dan model begitulah yang terjadi. Biasanya, orangtua dari anak semacam ini yang akan selalu berkata, “namanya juga anak-anak” ketika anaknya menyakiti anak saya dan anak-anak lain di sekitarnya.

Padahal, kalau lagi di playground, saya selalu berada di jarak aman dengan Isto. Sekurang-kurangnya, untuk memastikan bahwa dia akan bisa diamankan jika cari perkara. Tapi sejauh ini, cenderung aman-aman saja. Ketika kemudian suasana sudah tidak baik dengan kehadiran anak-anak yang tentunya berpendidikan baik karena masuk playground itu jelas nggak murah, saya langsung menarik anak saya sudah tidak kenapa-kenapa.

Paling enak sih sebenarnya kalau ada bapaknya. Bapack-bapack pada dasarnya enggan untuk konfrontasi. Secuek-cueknya bapack-bapack menemani anak sambil lihat hape, biasanya selalu tanggap kalau anaknya mengganggu anak lainnya. Itu dia kalau seorang anak sedang bertanya sama bapaknya, saya masih bisa menahan Isto senakal apapun anak itu. Cuma kalau sebaliknya, mending saya bawa jauh-jauh.

Tapi ya nggak selalu demikian, sih.

Kemarin dari Jakarta ke Medan, saya sebelahan persis sama ada lah gitu anak semacam ber-DNA demikian. Sudahlah nggak pakai masker, ini anak juga petakilan nggak karuan di dalam pesawat. Pakai tidur segala dengan kaki mengusik kaki saya. Eh, begitu saya lihat, bapaknya malah turu. Ini salah satu contoh Bapak Dajjal memang~

Saya sebalnya adalah sudah tahu bawa anak, ya mbok preparasi. Saya pas sama Isto dari Solo itu benar-benar berusaha menaruh Isto antara jendela dan saya. Biar nggak mengusik orang lain kalau dia petakilan. Caranya? Ya kalau memang harus beli add-on saat pesan tiket ya lakukanlah. Jangan terus bikin anak jadi pengganggu orang lain.

Advertisement

Naik Pesawat Lagi

Waktunya tiba juga. Privilege yang sangat saya nikmati akhirnya berakhir juga sesuai masa kedaluwarsanya. Iya, sejak Maret 2020 ketika semua orang dianjurkan untuk di rumah saja ya saya pun demikian. Saking patuhnya, sampai 12 bulan kemudian saya itu pergi ke Jakarta (dari Tangerang Selatan) itu cuma untuk 3 urusan dan semuanya terkait COVID-19. Pertama, swab massal dari kantor. Kedua dan ketiga adalah vaksinasi.

Iya, saya yang biasanya sehari bisa Tangerang Selatan, Jakarta, lalu Bekasi atau Bogor atau pernah juga seminggu Denpasar-Jakarta-Tangsel-Bandung-Tangsel-Jogja benar-benar menikmati kehidupan di rumah saja dan merasa aman dengan tidak kemana-mana. Cuma ya bagaimana lagi, periode kuliah saya ada batasnya dan kebetulan selesai pula. Jadi ya sesuai dengan SK yang dimiliki, maka saya kudu ngantor. Demikianlah adanya.

Hanya 4 hari sesudah wisuda, saya sudah dinas lagi. Untungnya ‘cuma’ ke Surabaya. Maksud saya, walaupun Jatim itu kasusnya termasuk tinggi, tapi ya setidaknya kalau ada apa-apa, nggak jauh-jauh amat dari rumah. Kalau misalnya di Manowkari atau Aceh kan saya mungkin kebingungan.

Sesungguhnya, terakhir kali saya naik pesawat itu Desember 2019 dari Padang. Dan tentu saja di masa pandemi ini semuanya berubah sehingga saya benar-benar sempat linglung. Tanpa pandemi pun mungkin saya juga linglung soal buka gesper, mengamankan ponsel, dll. Ditambah pandemi, maka segala elemen swab antigen, masker berlapis, dan lainnya juga menambah kompleksitas.

Sesungguhnya, saya melihat ada upaya dari penyedia jasa baik di bandara maupun maskapai untuk menjaga protokol kesehatan. Bagaimanapun, untuk suatu virus yang telah dinyatakan airbone, tempat sempit seperti pesawat terbang adalah sebuah arena yang tepat untuk virusnya beterbangan dan hinggap sana-sini. Cuma ya itu, ada saja penumpang yang mungkin bernafas dengan dagu sehingga maskernya diturunkan ke dagu dan nunggu pramugari lewat dulu baru menaikkan maskernya. Wis gedhe kok yo ngono ae kudu dikandhani.

Saya tidak tahu, apakah dalam waktu dekat akan terbang lagi. Dari hati kecil, saya sih berharap tidak. Cuma ya namanya sekarang sudah aktif bekerja, siapa yang tahu. Yang jelas saya hanya berharap akan selalu sehat dalam periode ini. Periode yang tampaknya angka kasusnya sudah turun, tapi kita tidak tahu ada apa di depan.

Sehat-sehat selalu untuk kita semua.

123 Hal Yang Sebaiknya Tidak Dilakukan Saat Berada di Dalam Pesawat Yang Sedang Terbang

1. Membuka sabuk pengaman orang lain yang duduk di sebelah kamu
2. Apalagi kamu nggak kenal sama dia
3. Apalagi kalau di sebelahnya ada suaminya, nanti kamu dipliriki kayak gini:

012414hu2sh-e14205145757664. Mengajak penghuni hot seat untuk bertukar kursi
5. Ngobrol sama kondektur
6. Minta rokok sama kondektur
7. Meminta pilot untuk ngeblong
8. Menyemangati pilot untuk menyalip Rosalia Indah
9. Atau Kramat Djati
10. Menurut ngana, ini Pantura?

Masih 100-an lagi, baca yuk!

Cerita Liburan: Memang Tidak Terbalaskan

Salah satu pesan yang saya terima sebelum mudik kemarin adalah mengetik program kerja Mamak saya. Lalu pesan berikutnya adalah membuat DVD yang diputar di DVD Player bisa dilihat di TV.

Yah, saya melihat banyak benda baru di rumah, meski terakhir saya mudik itu baru Desember 2011 silam. Ada TV masa kini yang gede banget, ada laptop (ini sih milik kepala sekolah), dan yang bikin terpana, ada TV kabel segala. Selintas saya berandai-andai, kalau segala fasilitas ini sudah ada ketika saya SMP. Hmmm, saya pasti hanya akan menjadi bocah kecil yang manja, yang akan selalu tergeletak di depan laptop dan di depan TV menikmati hidup. Dalam hal ini saya justru bersyukur (banget).

Nah, bagian paling unik adalah ketika saya kemudian “mengajari” Bapak menggunakan laptopnya yang jauh lebih canggih daripada si lappy. Memori-nya 3 kali lipat, processor masa kini, sudah windows 7 pulak. Parahnya, laptop bagus itu hanya bisa buka MS Word karena MS Office-nya bukan versi Purchase. Buat saya ya sayang, seharusnya–karena ini barang dari pemerintah–budgetnya bisa banget kalau untuk beli license, tapi ini kok begini? Beli Windows 7-nya kuat, beli MS Office-nya nggak. Yak opo iki?

Nah, berikutnya saya diminta mengajari merapikan program kerja matpel yang diajarkan Bapak, yang barangnya sudah ada di laptop. Maka beraksilah saya. Kadang saya heran, kalau benar Bapak kursus, kenapa sekadar “block” hingga “copy paste” saja seperti nggak ngerti? Atau lupa? Atau bagaimana? Ah, entah..

Tapi saya menikmati sekali proses ini. Termasuk kemudian ketika saya memindahkan foto dari HP Bapak ke komputer rumah dan terus kesusahan karena memang HP itu belum pernah dibuka slot memory-nya. Juga memindahkan foto dari BB Mamak yang isinya foto artis lokal semua (kalau saya bilang sih, emak-emak labil.. hehehe… *ampun makkkk* *ditabok*). Juga ketika kemudian saya membuat panduan cara nge-burn CD. Hingga lantas membuat DVD yang diputar bisa terlihat di TV baru.

Huffffttt…

Saya nggak ngerti apa ini, tapi saya lantas ingat posting Bocah Rantau yang satu ini. Bahwa bocah tua nakal ini BENAR 100%. Yah, saya mungkin hanya mengajari hal yang dianggap remeh di masa kini dan lantas tampak pintar. Apa sih CTRL + C dan CTRL + V? Apa sih mindahin foto dari HP ke laptop? Itu semua simpel, tapi buat saya, kemarin ini, bermakna dalam.

Yah, kalau kemudian saya tahu soal CTRL + C, kita perlu bertanya, siapa yang membuat saya mengerti huruf “C”? Nggak lain, kedua orang tua saya. Ketika kemudian saya tahu bahwa untuk membuat TV bisa menayangkan DVD itu harus menekan tombol INPUT di remote, siapa yang membuat saya mengerti bahwa benda itu adalah remote control? Nggak lain juga, kedua orang tua saya. Kalau kemudian ketika saya asyik dengan laptop, lalu kebelet pipis, dan saya bisa pipis dengan lancar, siapa yang mengajari saya cara pipis? Tidak ada yang lain, kedua orang tua saya.

Begitulah hidup. Bocah tua nakal menulis soal kasih yang tidak akan pernah bisa terbalaskan. Saya menambahi, memang tidak terbalaskan. Apalagi ketika saya selesai dengan laptop atau DVD, segelas teh panas sudah tersedia. Ketika saya beres dengan merapikan program kerja, sepiring ayam kampung dengan sambel merah merona sudah siap. Bahkan ketika saya tidur dengan malas, sebuah selimut sudah ada menutup badan saya di pagi hari ketika terjaga. Demikian pula dengan sepiring nasi goreng dan segelas jus yang rasanya mantap. Apalagi yang perlu saya minta kalau sudah begini?

Huwaahhh… Begitulah.. Kasih orang tua pada anaknya, memang tidak terbalaskan. Kenapa? Semata-mata kadarnya yang nggak akan mungkin tercapai. Itu terlalu besar, sobat 🙂