[Interv123] I’m Tough. I’m Struggler. I’m Happy.

Sekitar tahun 2000, saya mengalami sebuah kejadian sepele yang nyatanya sangat traumatis. Ketika sedang lewat di dekat SMP 1 Bukittinggi, berdirilah seorang pria brewok beralas kaki sepatu mirip safety shoes sedang ngoceh sendirian di tengah jalan. Ketika saya dan Sigit kala itu lewat, kaki kirinya melayang ke arah kepala saya yang waktu itu baru sepinggangnya. Nyaris, nyaris kena. Untung saja sempat memasang double cover yang dilanjutkan dengan langkah seribu. Sebuah strategi yang belasan tahun kemudian ditiru secara mutlak oleh Floyd Mayweather Jr di atas ring.

Ya, gila. Sederhana sekali ketika kita menyebut seseorang dengan stigma ‘gila’, tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. Pun sesudah tendangan maut itu saya lantas jadi takut pada segala jenis ‘orang gila’ bahkan meski dia adalah si Sore, penderita mental illness dekat rumah yang menurut kabar diperkosa secara semena-mena oleh lelaki hingga akhirnya melahirkan seorang anak. Ehm, saya nggak yakin si pemerkosa itu punya hati lelaki, mungkin dia hanya seonggok daging yang punya penis belaka.

Ketika saya kemudian menjadi mahasiswa farmasi, stigma ‘gila’ lantas menjadi hal yang tidak sederhana. Dalam PKPA, saya kejatahan pasien dengan mental illness. Jadilah saya memonitor penggunaan obat yang kerjanya menekan saraf-saraf pasien itu. Hasilnya? Setiap kali home care, saya hanya mendapati pasien saya sedang tidur. Kata keluarganya, kalau tidak tidur, dia ngamuk. Hanya dua itu hidupnya. Masyarakat sekitar dengan mudahnya memberi cap ‘gila’ tanpa melakukan apa-apa. Sebuah kegilaan di masyarakat kita yang terang benderang menjadi profil nyata. Pedih. Orang-orang itu pasti nggak pernah tahu bahwa Ry Kusumaningtyas dalam bukunya ‘Mereka Bilang Aku Gila’ dengan jelas menyatakan bahwa manusia semacam Abe Lincoln, Ludwig van Beethoven, hingga Frank Sinantra adalah juga penyandang bipolar disorder. Sebuah kondisi yang dengan mudah membuat orang dicap ‘gila’.

Nah, suatu kali saya ‘dipertemukan’ dengan tamu di Interv123 kali ini. Pakai apostrof karena kami sebenarnya juga nggak pernah benar-benar ketemu. Dia ini ketua PSM Cantus Firmus ketika menggelar Konser Poelang Kampoeng. Saya melihat dia, tapi tentu dia nggak akan ngeh juga siapa saya. Mungkin hanya seonggok alumni berbaju ungu yang sepanjang konser kebanyakan melakukan sinkronisasi bibir belaka. Atau se-ngeh-ngeh-nya adalah saya ini abangnya mbak MC konser itu. Sudah.

Hingga akhirnya saya mencoba mengerti bahwa tamu kita kali ini mengalami problematika yang jamak dikenal sebagai bipolar disorder. Untuk kata bipolar, begitu mudah bagi kita untuk mengingatkanya jika saya sebut nama Marshanda. Entahlah, saya nggak mau membahas ke sisi itu. Interv123 ini semata-mata bermaksud membuka mata kita semua tentang bipolar disorder dari sisi yang berbeda. So, sambutlah Bonaventura Sukintoko Pramudyo, S.Farm.

IMG_3943

Yes, lelaki yang hidup bersama bipolar disorder ini bukan dari kalangan main-main, dia Sarjana Farmasi dan sedang menempuh pendidikan profesi Apoteker. Lulus kuliahnya juga normal–kalau nggak bisa dibilang kecepetan. Ada pembaca blog ini yang lulus kuliahnya lama semata karena problematika mantan? Maaf, kamu kalah dari seorang penyandang bipolar disorder. Oh, dan jangan lupa, dia juga penyanyi, loh! Bahkan dia adalah satu dari sedikit anak farmasi yang bisa jadi ketua PSM CF, atau malah satu-satunya? Nanti saya cari tahu lagi. Bagaimanapun frase Jas Merah itu penting, jangan sekali-kali melupakan jas merah. *loh*

Halo, Bon! Piye? Sehat?

Aku selalu bingung mas tiap ditanya, “sehat?” Hehe. Tapi bolehlah aku jawab, aku sehat luar biasa.

Oke, mulai ya. Di Interv123 sesi ini namanya LIMAWESATUHA. Pertama, KAPAN, terus kepiye carane kamu sadar kalau kamu itu menyandang bipolar disorder dan lantas bisa sampai tahap mengontrol diri sendiri untuk kondisi itu?

Mungkin lebih tepatnya aku disadarkan menyandang bipolar disorder oleh psikiaterku. Aku didiagnosa menyandang bipolar bulan November 2014 setelah proses panjang selama 2 tahun konsultasi sama psikiater setiap bulan. Tapi awal aku sadar ada yang nggak beres dari tubuhku pas awal tahun 2013, waktu itu aku inget banget malam sekitar jam 23.00 di kos temenku, aku mendengar suara bocah-bocah seperti bermain, tapi saat aku tanya temenku, dia nggak dengar suara apa-apa. Setelah itu aku sering merasa putus asa, menangis tanpa tahu penyebabnya, merasa bersalah, sampai yang paling parah percobaan bunuh diri. Akhirnya bulan Juni 2013 aku minta Bapak pergi ke Jogja untuk menemaniku konsultasi dengan psikolog di P2TKP Sanata Dharma karena ingatan traumatis masa kecil muncul terus di pikiranku. Aku juga pergi konsultasi ke psikolog di RSJ Ghrasia, dari sana aku mendapat cara relaksasi agar aku bisa tidur karena insomniaku sudah parah. Waktu itu 3 hari berturut-turut aku nggak bisa tidur, tubuhku dah capek tapi otakku seperti nggak mau tidur, akhirnya waktu itu aku memutuskan sekitar jam setengah 2 pagi aku keluar kos di Paingan, aku jalan kaki sampai Jalan Solo, waktu udah capek banget itu aku bisa tidur selama 4 jam di emperan toko, sekitar jam 9 pagi aku pulang jalan kaki ke kos. Ah itu sungguh seperti zombie kondisiku.

Jauh bener…

Tapi dari konsultasi psikolog itu aku nggak dapat perubahan, relaksasinya nggak mempan, mungkin jelekku saat itu pengen hasil yang cepet biar kondisiku kembali lagi. Akhirnya aku memutuskan pergi ke psikiater di RSUP dr.Sardjito. Psikiater yang menanganiku saat itu, namanya Dokter Wikan kaget karena dengan kondisiku yang sudah kayak gitu, aku pergi ke psikiater sendirian. Saat itu aku diberi obat anti depresan dan anti psikotik untuk mengatasi halusinasiku. Bulan berikutnya aku kontrol lagi dengan kedua orangtuaku dan Mbak Ellen, orang baik hati yang sangat membantuku.

Yah, mamak satu itu emang baek orangnya. Lanjut!

Dokter Wikan waktu itu bilang kalau aku mengalami depresi berat disertai gejala psikotik. Setelah itu aku rutin konsultasi, sampai pernah putus obat karena aku merasa udah sembuh, lalu pengobatan lagi karena kambuh. Sampai pada akhirnya, akhir November aku melakukan percobaan bunuh diri dengan menyilet pergelangan tanganku. Sebelum percobaan bunuh diri itu, aku sempet nulis di status BBM, “Semoga besok aku masih hidup” dan sempet nelpon bapak supaya lekas datang ke rumah di Godean. Waktu itu aku mendapat bisikan dalam diriku agar bunuh diri saja. Aku sudah gak berguna hidup, lebih baik mati saja, kata-kata itu yang mengelilingi pikiranku, sampai akhirnya darah sudah banyak keluar dan aku sadar, aku melakukan kesalahan dan nangis terus. Waktu bapak datang bapak juga ikut nangis dan mengantarku ke RSUP Sardjito, sakitnya bukan main pokoknya. Aku langsung ditangani Dokter Wikan dan perawat di UGD, waktu itu perawat bilang kalau untung sayatanku gak sampai menembus nadi. Saat di opname di bangsal Teratai RSUP Sardjito akhir November 2014 itulah aku tahu kalau aku didiagnosa gangguan afektif bipolar disorder (Bipolar Affective Disorder) dengan episode depresi berat. Terlihat drama banget ya Mas, ya begitulah.

Lah, itu kan periode pas jadi Ketua PSM CF kan?

Iya, di tahun 2013 itu kebetulan aku menjabat sebagai Ketua PSM CF. Aku mendengar banyak omongan bahwa aku mengalami kondisi seperti itu karena stres dengan jabatan sebagai ketua, stres mengurus program World Choir Games (WCG). Disini aku juga klarifikasi ya, bahwa bukan itu penyebabnya, terlalu rumit untuk menjelaskan penyebabnya. Dan di sekitar bulan Oktober 2013 aku memutuskan mundur dari ketua panitia WCG, karena pertimbangan dari psikiater dan orang tuaku. Setelah itu, Mas Arie bisalah membayangkan apa yang aku terima setelah memutuskan mundur. Oh ya bulan lalu aku baru saja menjalani CT Scan dan EEG Test, untuk mencari penyebab sakit kepala yang seperti ditusuk-tusuk jarum, tapi hasilnya nihil, gak ada apa-apa, ini yang disebut psikosomatis.

Aku sampai pada tahap bisa mengontrol diri itu ya berawal dari di opname di Sardjito itu. Perawat disana selalu mensupport agar aku tetep berjuang walaupun sakit dan sulitnya bukan main. Aku dibantu mencari cara mengatasi sendiri ketika aku mengalami panic attack di jalan atau dimanapun, ketika aku depresi. Awalnya dulu aku waktu didiagnosa depresi berat oleh Dokter Wikan, aku menyalahkan dan menghakimi Tuhan, aku nggak terima kenapa aku diberi penyakit kayak gini. Penyakit yang bagi mayoritas masyarakat adalah penyakitnya orang gila, yang ada di RSJ. Aku tertekan dengan stigma itu, aku dulu sangat menutupi apa yang aku alami karena aku merasa ini semua menjijikkan. Tetapi seiring berjalannya waktu aku justru bersyukur dan menganggap ini anugerah karena Tuhan memilihku menjadi orang yang layak menerima anugerah ini. Aku lebih dibantu lagi saat mengikuti terapi support group saat di opname di Sardjito itu. Aku dipertemukan dengan Galang (pasien skizofrenia) dan Mas Diksa (pasien depresi berat dan ketergantungan narkoba), mereka orang yang membuatku harus bersyukur. Di situlah aku semakin menerima keadaanku dan semakin terbuka untuk bercerita. Aku mulai bisa mengontrol diriku sendiri, tidak hanyut dalam perasaan atau mood swing ekstrim yang dialami.

DIMANA saja kamu menghabiskan masa-masa itu?

Banyak tempat yang menjadi saksi bisu saat aku mengalami masa-masa itu. Aku sempet dini hari, pergi ke Gua Maria Sendangsono sendirian sambil nangis di jalan. Aku sempat mengalami panic attack di Jalan Solo, lalu dipeluk oleh seorang ibu-ibu yang menenangkan aku. Aku beberapa kali ikut misa harian di Gereja Kotabaru saat aku masuk episode depresi, yang cuma bisa nangis terus. Aku sempet tiba-tiba nangis tanpa sebab di kelas waktu kuliah, saat seperti itu pasti aku langsung lari ke toilet, nangis. Dan tentunya di kos, dan di rumah Godean, tempat saksi bisu aku melalui episode manic ataupun depresi.

Dari awal itu, sampai pada tahap kemudian bisa dibilang terkontrol kira-kira dari KAPAN sampai kapan, atau, hmmm, berapa lama?

Sejujurnya sampai saat ini aku juga beberapa kali gak bisa mengontrol diriku, dan membiarkan perasaan atau pikiran yang gak bener muncul. Tetapi setelah di opname di RSUP sardjito akhir 2014 itulah aku mulai bisa mengontrol diriku sendiri.

Ini pertanyaan profesional sebagai calon apoteker, GIMANA sih posisi obat-obat psikotik terhadap penanganan bipolar disorder itu sendiri? Penting, nggak penting, nggak usah diminum, atau kepiye? Terus..terus.. kowe ngerti lah nek obat antipsikotik itu efek sampingnya nggak ringan. Pasti kamu pernah ngalami. Dan banyak pasien yang berhenti minum obat karena itu. Menurutmu, pendekatan APA yang mesti dilakukan ke pasien biar mereka tetap rajin minum obat?

Jadi aku dapat 3 obat yang aku minum Mas, yaitu: depakote, risperidone, sama trihexyphenidil (THP). Kalau depakote itu buat mood stabilizer. Kurang lebih gini, otak kita terdiri dari bermiliar-liar sel saraf yang secara konstan menyampaikan informasi dari satu sel ke sel lainnya. Nah hal itu perlu dijaga kestabilannya biar konstan, untuk menjaga kestabilannya itu otak produksi neurotransmitter untuk pembawa pesan dan isyarat dari otak ke bagian tubuh lain. Contoh neurotransmitter itu dopamine, serotonin, dan norepinephrine. Nah bipolar disorder itu disebabkan karena ketidakseimbangan kadar neurotransmitter itu. Depakote, zat aktifnya natrium divalproat kerjanya menstabilkan kadar neurotransmitter. Risperidone itu obat antipsikotik, anti halusinasi, soalnya aku sering mengalami halusinasi. Kalo THP itu buat mengatasi efek samping dari risperidone yang bikin tremor. Bagi penyandang bipolar disorder, menurutku sangat penting untuk minum obat, karena sangat membantu dan mengontrol agar kondisi moodnya tetep stabil.

Tadi aku sempet cerita aku sempet putus obat, dan akhirnya malah aku kambuh lagi. Karena saat itu aku merasa aku sudah sembuh, aku udah tidur normal, dan udah sangat enaklah badanku. Memang nggak boleh obat itu penggunaannya dihentikan secara mendadak. Sewaktu awal awal mengkonsumsi obat-obat itu, rasanya pengen tidur terus, buat jalan itu rasanya melayang, mungkin begitu rasanya ngefly, Hehe. Tapi lambat laun mulai bisa beradaptasi dengan efek sampingnya. Sesungguhnya untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat perlu kolaborasi yang baik antara dokter, apoteker, pasien, serta caregivernya (keluarga, sahabat,dan kerabat). Karena ya itu tadi, bisa jadi saat pasien merasa sudah sembuh, terus langsung nggak minum obat. Tenaga kesehatan aku rasa harus memberi edukasi yang lengkap terkait terapi yang diberikan kepada pasien, biar pasien tidak hanya aware tapi juga terlibat dalam terapi yang diberikan. Peran caregiver juga krusial karena pasien terkadang lupa minum obat, caregiver bisa mengingatkan untuk minum obat. Hal itu juga menunjukkan perhatian kepada pasien sehingga pasien bisa merasakan bahwa hidupnya masih teramat berguna dan support agar lekas sembuh.

Selama menjalani periode pergulatan itu, SIAPA yang berperan paling penting dalam hidup kamu?

Keluarga dan teman-temanku. Mereka tak henti hentinya memberi dukungan kepadaku. Dan merekalah yang menguatkanku tiap kali aku down atau depresi. Itu semua sungguh berarti bagiku selain pertolongan Tuhan tentunya.

Nah, kamu kan aktif di banyak forum bipolar disorder–sampai mendunia di Facebook (foto Bona dipasang di akun FB International Bipolar Foundation sebagai aksi dalam Hari Bipolar Disorder sedunia pada tanggal 30 Maret 2015)–sakjane KENAPA sih sampai semangat menyebarkan informasi soal bipolar disorder dan mental illness ini? Dan KENAPA pula begitu terbuka di linimasa bahwa kamu penyandang bipolar disorder? Aku nginterview kowe ki yo dalam rangka kagum karo semangatmu dan karena kamu seterbuka itu di linimasa.

Iki pertanyaan bagus, Mas.

Iyo, ncen aku bagus. Uhm, oke, lanjutkan.

Ada beberapa tujuan kenapa aku aktif menyebarkan informasi mengenai mental illness dan begitu terbuka bercerita soal bipolar disorder, Mas. Pertama, karena ini sudah menjadi passionku, aku ingin menjadi aktivis mental health dan mental illness, untuk meningkatkan awareness teman-temanku akan hal tersebut dan mengubah stigma negatif akan orang dengan mental illness. Kedua, aku ingin teman-temanku yang sehat (mental) untuk tidak hanya menjaga kesehatan fisik tapi juga kesehatan mental, karena percayalah, hidup dengan mental illness itu sangat berat untuk dijalani. Ketiga, itu sebagai cara agar aku bisa membantu teman-temanku yang mengalami hal yang kurang lebih sama tapi masih takut mengakuinya atau bingung cerita ke siapa, setelah aku terbuka kalau aku menyandang bipolar disorder, aku menjadi lebih banyak menerima curhatan temen-temenku tentang masalah yang dihadapi, kerjaku hanya mendengarkan dengan baik dan sharing cara yang kulakukan dalam menghadapinya, karena pada dasarnya mereka cuma butuh didengarkan sampai tuntas.

Penyebab kematian terbesar dari mental illness kan suicidal attempt. Nah, APA pendapatmu, terus upayamu menjauhkan diri dari suicidal attempt itu GIMANA?

Oke, bukan bermaksud membela orang yang melakukan percobaan bunuh diri atau membenarkan bunuh diri tersebut, tetapi menurutku tak ada satupun orang yang mau bunuh diri. Jangan kaitkan bunuh diri dengan hal agama atau apapun. Karena aku sering mendengar orang yang bunuh diri nggak diterima di surga, sok tahu banget yang bilang begini.

Kayak pernah ke surga aja ya.

Sebetulnya orang yang melakukan percobaan bunuh diri nggak berniat lari dari masalah kok, tapi ingin menyudahi nyeri atau penderitaan yang dialami. Aku mengutip dari artikel seorang psikiater, dr. Andrew Slaby, “Bayangkan nyeri fisik terhebat yang pernah anda rasakan–patah tulang, sakit gigi, atau sakit bersalin—lipat gandakan sepuluh kali dan bayangkan anda tidak tahu penyebabnya, barulah anda mungkin dapat mengira-ngira seberapa menyiksanya depresi itu”. Atau bisa juga orang yang dianggap bunuh diri sejujurnya ia mendengar bisikan yang menyuruhnya untuk bunuh diri dan dia nggak bisa menahan dorongan itu. Aku hanya berharap masyarakat tidak lagi memberi stigma negatif bagi orang yang bunuh diri, kenapa tidak mendoakan saja? Upayaku untuk menjauhkan diri dari percobaan bunuh diri itu ya selalu mendekatkan diri dengan Tuhan, bagiku iman ampuh dalam menjadi benteng saat pikiran negatif atau berpikir untuk bunuh diri muncul. Saat pikiran untuk bunuh diri muncul, aku selalu berdoa dan mensugesti diri bahwa keluarga dan teman-temanku masih mengharapkan aku hidup, bahwa masih banyak mimpi yang belum aku wujudkan.

Ngomong-ngomong, SIAPA tokoh dengan bipolar disorder yang kamu kagumi? Alasannya juga dong ya.

Sebenernya aku belum punya tokoh dengan bipolar yang aku kagumi, tapi aku punya tokoh yang kujadikan role model. Pertama, Sigmund Freud, dia ini pencipta psikoanalisis, pasti anak psikologi tahu, aku kagum karena saat dia mengalami depresi berat karena belum bisa keluar dari masa lalunya, saat itulah dia mencoba meneliti dirinya sendiri hingga akhirnya dia bisa mengatasinya bahkan mampu menciptakan teori psikoanalisa serta interpretasi mimpi. Yang kedua, John Forbes Nash, dia ini matematikawan, penerima nobel bidang ekonomi, dan algoritma yang ia ciptakan dapat diaplikasikan sebagai penentu tiket murah bagi maskapai penerbangan, dan dia penyandang skizofrenia. Aku sangat kagum dengannya karena saat mengalami skizofrenia, dia tak pantang menyerah dan berusaha serta berjuang sekuat tenaga untuk dapat mengatasinya, mengatasi halusinasi yang sangat mengganggunya bahkan mengancam hidupnya, sampai akhirnya dia mampu menerima nobel prize. Dan film A Beautiful Mind yang menceritakan tentang kisah John Nash menjadi film yang wajib aku tonton tiap kali aku depresi, sudah puluhan kali aku nonton film itu.

Melenceng dikit, nanti lulus mau kerja DIMANA?

Hmmm lulus aku pengen kerja di perusahaan farmasi bagian marketing, alasannya bukan karena aku nggak passion di klinis, aku sangat passion di klinis tapi aku menyukai dunia marketing dan pengen belajar juga bagian marketing. Nah kalau udah punya modal agak lumayan, aku pengen mengembangkan bisnis pie yang sudah dirintis bersama temanku Sita dan Vento, dengan brand name “Laksita”. Kalau tabungan sudah cukup, aku pengen les Bahasa Inggris sampai fasih karena aku masih punya impian kuliah S2 di John Hopkins University, karena aku mendapat jurnal-jurnal penelitian tentang mental health dan mental illness banyak dari sana, tujuannya agar aku bisa lebih profesional lagi dalam hal tersebut dan pada akhirnya bisa aku gunakan untuk menjadi aktivis mental health dan mental illness dalam lingkup yang lebih besar lagi. Kurang lebih alurnya demikian.

Wow! Well-planned sekali! Nah, sekarang namanya pertanyaan 123. Sebutkan 1 pendapat kamu tentang stigma umum mental illness di Indonesia!

Mayoritas masyarakat menganggap bahwa pasien gangguan mental itu orang yang berbahaya, merupakan sebuah aib, dan erat kaitannya dengan hal-hal klenik, misalnya sebenernya halusinasi tapi dianggap bisa lihat setan atau diguna-guna.

Sebutkan 2 obat yang menemani kamu selama ini!

Depakote, Risperidone (ada satu lagi: THP)

Ya udah, tiga juga nggak apa-apa. Last one, sebutkan 3 pesan, kesan, saran, atau apapun kepada siapapun yang membaca blog dan Interv123 ini terkait dengan bipolar disorder pada khususnya dan mental illness pada umumnya!

Pertama, terima kasih buat Mas Arie yang sudah memberi kesempatan kepada saya untuk bercerita dan semoga bisa bermanfaat bagi pembaca blog dan Interv123 ini.

Lha, aku sing matur nuwun, Bon.

Kedua, mental illness bukanlah sebuah kutukan atau hal yang menjijikkan atau aib bagi saya, mental illness khususnya bipolar disorder adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada saya agar saya menjadi manusia yang lebih dewasa lagi, lebih kuat, dan lebih peduli dengan sesama. Ketiga, bagi teman-teman pembaca blog dan Interv123 ini, jangan lupa untuk juga menjaga kesehatan mental tidak hanya kesehatan fisik dan bersyukurlah selalu karena bersyukur bagiku merupakan salah satu cara berterima kasih pada Tuhan, semesta, dan sesama. Kebetulan bulan ini adalah Mental Health Awareness Month, saya berharap teman-teman juga meluruhkan stigma negatif terkait mental health mental illness. Mungkin ini sebagian kecil dari apa yang kualami yang bisa aku ceritakan, tetapi semoga ceritaku ini mampu menginspirasi teman-teman bahwa berjuang sudah menjadi kewajiban manusia untuk tetap hidup.

Oke, Bon. Suwun. Ndang lulus yo! Heuheu.

* * *

Orang bilang Mayweather Jr itu cuma lari-lari di ring dan menang, banyak yang menyebut curang, tapi nggak sedikit yang sepakat. Bahwasanya di dunia ini rupanya banyak yang tidak kita ketahui dan sayangnya ketidaktahuan itu tidak menjadi alasan kita untuk berhenti memberikan justifikasi. Karena ini adalah bulan kepedulian pada kesehatan mental semestinya kita bisa mulai berpikir dari perspektif yang berbeda. Jadi, sesudah bertemu Bona, apakah kita masih akan dengan mudah memberi stigma?

Jawabannya dalam hidup kita masing-masing. Salam Interv123!

Advertisement

2 thoughts on “[Interv123] I’m Tough. I’m Struggler. I’m Happy.”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.