Beasiswa Kecil-Kecilan Yang Tidak Kecil

Seperti sudah diketahui bersama oleh khalayak ramai dan penghuni Bikini Bottom, pacar saya sedang kuliah di Inggris, atas pembiayaan pemerintah. Beasiswanya kalau ditotal mungkin nyaris 1 Miliar, kali sekian ratus pemuda pemudi harapan bangsa yang disekolahkan ke luar negeri dengan harapan nantinya Indonesia punya pemimpin nan mumpuni untuk menghadapi bonus demografi. Saya berencana mengikuti jejaknya, tapi tentu saya harus menunggu huruf ketiga dari abjad mengganggu seluruh langkah hidup saya.

Berita_USD_10022011141414_GedungPusat_USD1

Kebetulan hari ini saya membaca sebuah status adek kelas juauhhhh bangedddddhhh di Farmasi dan di PSM tentang kuliahnya yang terjadi karena beasiswa. Saya kok lantas jadi mellow dan terkenang masa-masa silam. Bagian soal beasiswa ini juga saya sertakan di novel saya, Oom Alfa.

Saya tidak pintar. Jadi, mungkin nanti kalau saya apply beasiswa luar negeri, saya baru bisa diterima di universitas yang ada di Uganda dan Zaire. Inggris? Mungkin bisa juga, tapi di BSI London–misalnya. Seperti kata Obama KW, “Kuliah? BSI aja!”

Faktor ketidakpintaran itu yang kemudian membuat saya sempat keder untuk urusan per-beasiswa-an ini. Namun apa daya, keder itu berbanding terbalik dengan kebutuhan. Memang, kalau kepepet, semuanya itu pasti bisa. Entah bagaimana caranya. Apalagi saya kemudian kuliah di universitas swasta yang tentu saja harganya tidak semurah negeri. Saya masuk swasta karena sebuah alasan krusial: tidak diterima di negeri, bahkan bertahun-tahun kemudian, mau jadi pegawai negeri saja ditolak dua kali.

Alkisah, kala itu semester 3. IPS saya mencapai keadaan fitri, dua koma satu, sesudah dua semester sebelumnya juga dua koma. Mungkin kalau saya nggak butuh, nggak akan ada keberanian untuk mengajukan beasiswa. Tapi, ketika saya melihat sebuah beasiswa bernama BSF, saya mulai tersenyum. Dari satu rim kertas pengumuman yang memberikan informasi beasiswa, hanya BSF-lah yang relevan dengan IP saya. Sisanya, hanya mahasiswa dengan otak yang menetes di sela-sela lubang telinga (baca = ENCER) yang bisa mendapatkannya. Saya? Sebagai orang yang baru paham bahwa IP 2,1 itu jelek pada semester 3, tentunya tidak ada yang bisa diharapkan.

Berapa sih beasiswanya? Bahkan segelas Java Chip saja tidak bisa terbeli. Iya, cuma tiga puluh ribu rupiah per bulan, kali 6, jadi 180 ribu. Hanya 180 ribu saja, saudara-saudagar! Hanya 180 ribu, tapi begitu pengumuman memuat nama saya, rasanya ingin kayak sambil berteriak, “pucuk! pucuk!”, sebelum kemudian sadar pada saat itu teh botol plastik belum ada sama sekali di pasaran. Ingat, kala saya kuliah itu, pemerintahan masih berbentuk Republik Indonesia Serikat.

Beasiswa perdana itu kemudian saya belikan benda paling penting, tapi tak terbeli alias nggak enak kalau minta sama orangtua di rumah. USB Flashdisk. Seperti saya cerita tentang flashdisk di tulisan ini, kadang saya gelo ketika sekarang ikut seminar saja dapat flashdisk. Dulu, saya harus berjuang keliling kampus dan kampung untuk bisa mendapatkan beasiswa–hanya untuk beli flashdisk. Duit 180 ribu tadi dipakai beli flashdisk 512 MB, tinggal sisa 20 ribu dan habis untuk empat kali makan. Sesederhana itu selesainya. Tapi saya bangga, karena saya tidak harus membawa disket warna warni kemanapun saya berada. Beberapa diantaranya warna Pink lho, tanpa renda-renda.

Itu tadi terjadi di semester 4, diajukan berdasarkan nilai semester 3. Semester 1 tentu belum bisa mengajukan beasiswa, semester 2 tidak banyak beasiswa yang bisa saya ikuti, dan semester 3 sama. Memang seperti saya tulis di Oom Alfa, sangat mudah untuk membantu orangtua kalau kita pintar. Kalau kita bodoh, kita itu menyusahkan orangtua–kayak saya.

Semester 4 berakhir, ada gempa Jogja, kejadian itu juga saya tulis di Oom Alfa. Mungkin karena mendapatkan sumber pendanaan yang memadai, maka menjelang semester 5 kampus membuka beasiswa bernama SDSF gede-gedean, yang diutamakan untuk korban gempa. Beasiswa ini cukup menarik karena tidak memberikan uang mentah, tapi cukup menyediakan free uang kuliah tetap, atau free uang SKS. Bagi saya, mengingat setiap kali saya minta semesteran sudah pasti orangtua hutang ke koperasi, bank, atau kepada Budi (hutang budi-red), maka tampak lebih indah jika saya mengejar yang ini saja.

Kelengkapan beasiswa ini sungguh bikin malas, tapi bagaimana lagi, saya butuh. Surat dari pastor paroki, surat dari mana, slip gaji orangtua, rekening listrik, surat bukti ketampanan, hingga sertifikat-sertifikat. Waktu itu, teman saya berjuang mencari beasiswa adalah si Cawaz yang sudah kawin, sedangkan saya belum. Untungnya, selama 4 semester sebelumnya, kami sudah merintis diri menjadi pejabat farmasi. Jadi, kalau cuma mau mencari Pembantu Dekan sampai Dekannya sekalian bukan hal yang sulit. Bahkan pernah kami mengintimidasi anak PKL di tata usaha untuk meminta cap, karena dua jam lagi deadline pengumpulan.

“Mau minta cap, Mbak.”

Mbak? Anak PKL itu jelas-jelas pakai seragam SMA,Waz!

“Nggak boleh, Mas.”

*saya sih bisa paham, mereka pasti nggak berani asal ngasih cap kampus*

“Nggak bisa, ini buru-buru. Nanti bilang aja ke Mas Narto, ya!”

Keduanya tertegun saja melihat kami main cap-cap di kolom yang seharusnya di cap. Kebetulan waktu itu saya belum pernah ke Dufan, jadi nggak kepikiran ngecap tangan. Soal cap ini bukan sekadar cap fakultas, tapi juga cap BEM yang kadang katanya disimpan bendahara, ternyata dipegang wakil. Katanya disimpan wakil, ternyata dipegang pacarnya, dan mereka lagi marahan, jadi nggak berani minta. Pelik, sungguh pelik.

Status sebagai mahasiswa yang ada dimana-mana memang membantu di pengurusan beasiswa. Umumnya beasiswa malas mengurus tetek bengek nan sungguh membuncah ini karena itu, malas ketemu Pak Ini dan Bu Itu, pejabat struktural di fakultas. Padahal, mereka umumnya nggak akan melarang seorang anak yang ingin mencari beasiswa. Plus, menulis seabrek aktivitas kemahasiswaan rupanya juga menjadi poin bagi penerimaan beasiswa era saya. Saya itu kan BEM iya, PSM iya, PSF iya, JMKI iya, semuanya saya lakoni demi cari jodoh dan cari makan gratis. Jadi terbilang mudah merayu pewawancara kalau ditanya soal aktivitas kemahasiswaan. Lumayan buat menutupi IP.

Nah, menjadi pengikut SDSF adalah keuntungan besar bagi saya karena di semester 6 dan 7 saya bisa lanjut ikut, hanya tinggal wawancara ulang, tanpa harus mengurus kelengkapan anu-anu yang banyak itu tadi. Bahwa mengurus memang harus, tapi tidak seribet awal. Lebih untung lagi karena saya kemudian berhasil mendapatkan free UKT dan free SKS. Jadi saya kuliah gratisan! DUA SEMESTER!

Kebetulan waktu itu UKT sudah saya bayarkan dan karena free, jadi saya bergumul lagi dengan pengembalian. Waktu itu sejumlah 800 ribu. Uang itu tidak saya kembalikan ke orangtua, tapi saya belikan monitor yang beberapa bulan kemudian dilengkapi PC-nya oleh orangtua. Lumayan, kan? Harga monitor ya 800 ribu. Jadi saya nggak nilep apapun. Semua hasil beasiswa saya gunakan untuk membiayai sesuatu yang nggak tega kalau saya minta ke orangtua. Memang, sih, ketika saya melihat orangtua dari pendaftar lainnya, tampaknya gaji orangtua saya paling besar. Ada yang hanya 200 ribu, 400 ribu, 800 ribu, sementara gaji orangtua saya kalau digabung sudah lima juta. Tapi tentu, ada tiga adek yang sekolah dalam waktu bersamaan, itu juga menjadi poin yang kiranya dipertimbangkan oleh dosen yang menilai kelayakan saya.

Dengan biaya kuliah yang hanya 2 jutaan per semester, secara value tentu beasiswa saya kecil. Paling kampus hanya keluar 2,7 juta + 3 juta + 800 ribu + 180 ribu, tidak sampai sepuluh juta. Itu mungkin hanya habis buat pemondokan pacar saya di London sana. Tapi saya tetap bangga dengan beasiswa saya itu, karena kala itu memang butuh-butuhnya. Kalau tidak ada itu, entah bagaimana nasib kuliah saya. Saya bangga keluar masuk perpustakaan mengetik konsep surat, memfotokopi sertifikat macam-macam, meng-SMS Pak Kristio sekadar minta tanda tangan, juga Pak Yuswanto, mencari cap BEM keliling Planet Paingan, menunggu afdrukan foto di dekat Instiper, ngebut ke Mrican karena mengejar jam tutup pendaftaran. Saya bangga dengan semua perjuangan itu, karena sekarang saya bisa dengan tenang menulis “S.Farm, Apt” di belakang nama saya, berikut NIP di bawahnya, karena itu semua.

Terima kasih, Sanata Dharma!

Advertisement

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.