10 Renungan Sederhana di Hari Guru

Pertama-tama saya perlu tekankan bahwa saya tidak peduli apakah hari ini sebenarnya adalah hari guru, atau hari PGRI, atau bahkan hari OOM ALFA. Satu-satunya yang saya pedulikan adalah Mamak saya dengan bangga menelepon saya untuk bilang bahwa hari ini adalah hari guru, dalam posisi saya sedang jadi moderator sebuah presentasi survei kepuasan pelanggan.

43_Pak_Guru

Kedua, saya tidak akan pernah lupa masa-masa miris kehidupan saya yang kemudian membuat saya se-emoh-emoh-nya jadi guru. Mungkin sejak kelas 3 SD sampai awal kuliah periode itu ada. Tidak miris-miris amat kalau dipikirkan sekarang, sih, tapi ketika itu saya sampai harus menggunakan buku rekondisi sebagai buku tulis baru saya di awal tahun ajaran. Bapak saya yang guru lurus itu menggunakan buku bekas ulangan murid, disobek bagian yang sudah terisi, kemudian menggabungkan 2-3 bekas buku ulangan sehingga menjadi 1 buku “baru”. Jadi kalau teman-teman yang lain memakai buku isi 40, saya bisa memakai buku isi 36B, 38, hingga 44. Saya juga tidak punya tas baru selama 3 tahun saya belajar di SMP. Saya juga harus membantu orangtua membungkus dagangan kalau saya tetap ingin jajan. Sekadar mengantar es mambo atau kerupuk ke kantin, bukan lagi hal yang saya anggap memalukan. Ya, aneka peristiwa itu membuat saya merujuk pada suatu kesimpulan: jadi guru itu kere. Kalimat itu kemudian mengantarkan saya pada pilihan, pokoknya bukan guru ketika lantas memilih jalur di kuliah dan seterusnya.

Ketiga, saya tetiba ingat sebuah obrolan dengan mantan saya yang pertama (#uhuk).

Kebetulan dia itu saking pintarnya, SMA saja cuma dua tahun. Dalam suatu obrolan agak serius, dia bilang, “memangnya ada universitas top (negeri) yang menempatkan keguruan sebagai jurusan unggulan?”. Dia benar dalam kategori cukup banyak. Sejak kuliahan bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan harus jadi Universitas, lihatlah, jurusan apa yang ditonjolkan oleh Universitas jelmaannya. Keguruan yang tadinya adalah core kemudian disaingi dengan fakultas lain yang dijual. Bahkan banyak kasus yang saya temukan bahwa jurusan keguruan tertentu masih membuka pendaftaran sampai saat kuliahan lain sudah mulai. Boleh jadi yang masuk itu ya orang-orang tertolak dari kampus-kampus lainnya. Bukan salah orang yang mendaftar tentu saja karena saya sangat mengapresiasi orang-orang yang ingin jadi guru, tapi yang lebih penting adalah kenapa institusi pendidikan sendiri justru memperlakukan calon guru secara tidak cukup proper?

Keempat, saya merasakan benar faedah jadi anak guru, justru ketika sudah agak tua. Segala urusan begitu mudah dengan embel-embel wali murid. Mulai dari mengurus SIM dan SKCK yang bebas jutek, sampai sekadar beli kerupuk di pasar. Untunglah saya punya orangtua yang bekerja sebagai guru yang baik, jadi tidak banyak ekses, yang ada justru hal-hal baik. Maksud saya, sampai pensiunnya Bapak saya ya begitu-begitu saja. Beda dengan beberapa cerita tentang guru yang kemudian harus pindah ke kota lain di usia sudah 50-an, semata-mata karena korupsinya ketahuan (waktu pegang jabatan), namun pihak sekolah masih berbaik hati dengan tidak melaporkannya ke Kejaksaan, tapi disuruh pindah saja daripada semakin berlanjut semakin ketahuan.

Kelima, karena kenikmatan soal relasi itu, yang kemudian berbanding terbalik dengan yang saya alami di Industri–di pabrik paling kenal 200 orang, itu kalau setia di satu pabrik sampai modar, saya sempat berpikir punya istri guru. Dasar nenek gayung bersambut, tiba-tiba ada guru yang katanya naksir. Sayang sungguh sayang, sayanya nggak sayang #tsahhh, dan pada akhirnya dia sudah dapat pasangan dan bakal menikah duluan, daripada saya. Nah toh, coba kalau dulu jadi menggebet saya? Heu. Oke, poin ini tampak kurang reflektif.

Keenam, saya juga nggak pernah lupa kejadian 1-2 tahun lalu ketika saya mengikuti sebuah lomba choir di Mal Central Park. Waktu itu ada 3 juri, dan juri berkumis yang katanya adalah pelatih vokal artis itu kemudian memberi komentar dengan menguliahi choir saya tentang Bahasa Inggris dalam sebuah lagu natal. Juri kampret itu pastinya nggak tahu bahwa di deretan orang yang dia kuliahi Bahasa Inggris itu ada setidaknya TUJUH guru Bahasa Inggris. Saya yakin, kalau dia tahu, pasti langsung pelukan sama Jonru.

Ketujuh, saya baru terhenyak beberapa pekan terakhir begitu mengetahui gaji Bapak saya sebagai honorer–sesudah beliau pensiun. Dalam 1 bulan, gajinya itu SERATUS ENAM PULUH RIBU. Walau saya masih dalam proses finansial kembali fitri, tapi jika mengacu pada Standar Biaya Umum 2014, jumlah 160 ribu dapat saya peroleh hanya dengan diklat 1 hari di Bogor. Cukup ngantuk-ngantuk, coffee break, ngantuk lagi, makan, ngantuk lagi, bobo, bangun, ngantuk, terus pulangnya saya dapat 160.000. Bapak saya, dan guru-guru honorer lainnya? Berdiri berjam-jam, koreksi, menghadapi siswa nakal, dan lainnya untuk bisa mendapat uang berjumlah sama.

Kedelapan, saya ingat benar curhat Bapak saya 2-3 tahun silam. Beliau bilang bahwa jadi guru itu sekarang nggak mudah karena adanya Undang-Undang Perlindungan Anak. Saya sih mahfum. Dulu sampai saya SMP, namanya dipukul penggaris, dilempar penghapus, ditabok jarinya pakai rotan kemoceng adalah hal biasa, dan itu tidak mempengaruhi respek saya kepada guru. Justru saya takut melapor ke orangtua karena takut dapat bonus hukuman, walau itu nonsense karena guru yang kasih hukuman itu kan satu kantor sama orangtua saya, ya pasti ngasih tahu. Sekarang? Mau mukul saja sudah takut bakal ketemu Si Komo, eh, Kak Seto. Saya bukan mengakomodasi kekerasan, tapi nyata-nyata UU Perlindungan Anak itu justru diterjemahkan berbeda sehingga berubah menjadi UU Penyebab Anak Ngelunjak. Atau mungkin dalam konteks yang berbeda, sekarang kan lagi zaman video-videoan di IG sama YouTube tentang anak sekolah. Silakan hitung berapa video yang sangat mendeskriditkan guru? Menjadikan guru sebagai bahan olokan? Dan semua senang karena itu! Gila, kalau menurut saya.

Kesembilan, waktu saya sedang kerja di Palembang, Mamak saya menelepon dan minta privat instalasi LINE. Bukan apa-apa, Mamak saya tampaknya rindu dengan calon menantunya yang paling cantik (berhubung dua adek lelaki saya belum melakukan launching calon menantu kepada Mamak), yang sedang main ke London selama setahun. Nah, dalam proses mengajari instal LINE itu saya lantas mengalami ketidakmudahan. Well, ini cuma install LINE! Bayangkan betapa susahnya mengajari seorang anak untuk bisa membaca? Bagaimana mengajari anak untuk bisa perkalian, sementara di dalam hatinya Mamak saya harus mengalikan jumlah cicilan hutang? Dan orangtua saya melakukannya dengan baik, setidaknya dari ribuan murid yang pernah menjadi anak didik mereka.

Kesepuluh, dengan sepenuh hati saya mengucapkan terima kasih kepada guru-guru yang telah mengajar saya, tentu saja terutama kepada Bapak dan Mamak, dua guru utama dalam hidup saya. Saya juga mengucapkan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua teman yang memilih profesi sebagai seorang guru. Sungguh, dibandingkan jadi PPIC, bagi saya profesi guru itu jauh lebih mulia.

Sekali lagi, selamat hari guru!

Advertisement

3 thoughts on “10 Renungan Sederhana di Hari Guru”

  1. kasian para guru disini bukannya dihargai malah seperti pegawai biasa. seharusnya guru juga perlu di apresiasi seperti anggota dpr dll, mereka juga berperan penting bagi kemakmuran calon generasi bangsa

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.