“Mana hujan, nggak ada ojek, becek…”
Terima kasih kepada Cinta Laura yang sudah mempopulerkan ucapan ini. Setidaknya tukang ojek jadi dapat promosi gratis. Tapi kalau bicara kata-kata di atas, yang saya ingat adalah ketika saya memasukkan handphone saya yang mendadak berbunyi dan lupa saya silent ke dalam tumpukan sampah kemasan sebuah produk suplemen makanan ternama, hanya gegara 3 meter dari saya sedang duduk seorang manajer Quality Assurance paling galak se-Jalan Raya Bogor. Untungnya beliau lagi fokus pada pekerjaannya sehingga nggak dengar Motorola L6 saya dengan alaynya memperdengarkan lagu Cinta Laura tersebut. Meskipun saya agak kurang yakin itu beneran Cinta Laura pernah bilang begitu, sih.
Baiklah, kita lupakan sejenak Cinta Laura dan beralih pada inti dari postingan ini: ojek. Sebuah fenomena dalam dunia transportasi. Soalnya dibilang tergolong moda kok nggak juga. Dibilang kendaran umum, lah platnya hitam. Jadilah saya bingung. Satu hal yang pasti, kalau OOM ALFA digunakan untuk ojek, bisa dipastikan penumpang tidak akan sampai ke tujuan.
Satu hal yang pasti dialami oleh para pengguna ojek sedunia akhirat adalah soal tarif, terutama pada rute yang memang tidak biasa digunakan. Iya kan? Nah, di postingan ini saya hendak berbagi beberapa tarif dan rute berikut tingkat kelogisan tarifnya. Ada satu alasan utama saya terpaksa membuat posting ini, dan kira-kira itu karena sakit hati sama ucapan seorang tukang ojek.
Tarif ojek di berbagai kota bisa dibilang sangat bervariasi. Dan tentu saja, sama halnya dengan semakin mahalnya es teh di sebuah kota, demikian pula kiranya tarif ojek. Sebagai mantan penghuni kota Jogja, kalau sudah mencicipi tarif ojek di Jakarta pasti akan geleng-geleng karena tarif yang ada di Jogja itu sebegitu murahnya.
Sebagai produk Jogja, maka saya cukup terbiasa dengan tarif ojek di Jogja. Selain karena tukang ojeknya cenderung lebih ramah, tarifnya juga oke punya. Sebagai contoh, nih, saya pernah naik ojek dari Jalan Kaliurang ke Terminal Condong Catur dengan tarifnya HANYA 6000 rupiah saja, dengan harga bensin 6500, untuk jarak hampir 3 kilometer. About 2000 rupiah per kilometer. Seharga tarif boker di rest area tol Cikampek.
Ketika saya naik itu, kebetulan domisili sudah di Cikarang, jadi patokan saya bahwa 6000 untuk 3 kilometer itu murah banget. Soalnya, ketika di Cikarang tarifnya lumayan menggugah dompet untuk menangis. Misalnya, nih, dari Jalan Kedasih ke Pintu Jababeka II, itu sekitar 7000 untuk jarak yang juga lumayan. Profilnya begini:
Nominal 7000 untuk jarak 2,2 kilometer. Menurut saya sih tergolong biasa ketika kelamaan tinggalnya di hatimu Cikarang. Nah, ada beberapa nih trek yang juga rutin saya lakoni di Cikarang, semisal dari kos ke eks kantor yang tarifnya sama-sama 7000.
Mirip-mirip kan, 7000 untuk sekitar 2 kilometer, jadi 3500 per kilometer. Sudah berasa tuh selisihnya dengan di Jogja. Dan kebetulan pula ada rute lain di Cikarang yang biasa saya lewati dengan 15000 dengan jarak sekitar 4 km. Kira-kira ya benar sih, 1 kilometer sama dengan 3500 rupiah. Ini rute dari Cikarang Baru ke pintu tol dan biasa digunakan untuk berangkat naik bis, atau pulang. Saya pernah lupa nanya, main lompat aja ke jok ojek dan begitu sampai kos langsung ditodong 20 ribu. Siaul.
Satu tempat yang tarifnya lumayan bersahabat dengan kantong adalah Cimahi. Dengan jalan yang lumayan mirip kampung halaman Ninja Hattori, tarif yang dikenakan hanya 7000 saja. Itu juga pacar bilang kalau aslinya 5000. Kalau semacam ini sih saya nggak berasa dikadalin. Hitung-hitung sekitar hampir 3000 per kilometer. Masuk akal dan masuk bujet.
Di rute ini saya pernah bertemu dengan seorang tukang ojek yang masih SMK kelas 3 dan lagi galau karena pacarnya adalah operator di sebuah pabrik–dia brondong. Pacarnya itu dijodohkan dengan cowok pilihan orangtuanya yang bawa mobil Avanza. Dan semakin galau ketika mamang ojek itu diundang ke pertunangan pacarnya! Saya sempat menatap mamang ojek itu sejenak untuk memastikan bahwa saya tidak sedang syuting FTV.
Saya juga pernah ke Semarang dan mencoba ojek dengan tarif 8 ribu rupiah dari Hotel Serrata ke Jamu Jago. Jarak yang ditempuh sekitar 2,5 kilometer sehingga kira-kira 1 kilometer setara dengan 3000-an rupiah. Masih lebih murah daripada Cikarang, sih. Dan itu juga saya terpaksa naik ojek karena saya malas jalan kak. Gitu doang, sih. Kebetulan malah dilewatkan jalan-jalan perumahan yang kalau disuruh ngulangin lagi pasti nggak bakal ketemu. Termasuk juga nggak ketemu kamu. Iya, kamu.
Mana lagi ya? Sesudah Jogja, Cikarang, dan Semarang masih ada satu rute yang agak familiar bagi saya. Rute dari sekitar depan STAN ke stasiun Pondokranji Bintaro, dengan angka argo 10 ribu rupiah. Berhubung saya naiknya hanya di waktu malam, jadi ini memang pilihan paling bijak daripada 2 kali naik angkot plus nyeberang jalanan yang kurang manusiawi bagi pejalan kaki.
Wah, dihitung-hitung ternyata mahal juga ya. Untuk jarak 2,2 kilometer saya harus bayar 10 ribu rupiah. Sekitar 4000-an per kilometernya. Lebih mahal dari Cikarang, padahal dulunya saya pikir di Cikarang itu sudah mahal. Eh, ternyata di Bintaro lebih mahal. #akurapopo
Sesudah bertualang dengan tarif ojek sana-sini, mari kita beranjak ke ibukota tercinta kita Jakarta. Saya pernah naik dari daerah Kramat menuju Percetakan Negara dengan rute sebagai berikut:
Jarak yang ditempuh sekitar 3,2 kilometer dengan harga 15000 jadi sudah hampir 5000 per kilometer. Wah, Jakarta memang edan ya. Eh, sebentar. Yakin tarif nyaris 5000 per kilometer itu edan? Ini dia saya kasih tarif ojek paling sinting se-Indonesia Raya. Tempat itu adalah Stasiun Kramat, Jakarta Pusat.
Untuk sebuah jarak yang hanya 1 kilometer–iya, SATU–tukang ojek disana menawarkan tarif 15000 rupiah. Satu kilometer yang saya maksud adalah sebagai berikut:
Ya, 15000 UNTUK 1 KILOMETER! Bahkan kalau yang di Kramat Raya tadi saya bilang 5000 per kilometer itu mahal, yang ini apa namanya ya? Bagian paling bikin nggonduk adalah ketika saya menawar hingga 5000 alias goceng, ya mana saya pernah menggunakan bajaj dengan tarif segitu untuk jarak yang sama, si tukang ojek hanya bilang, “Goceng? Pakai angkot aja tuh, murah!”
Seketika saya pengen menyobek duit 15000 di depan mata si tukang ojek, tapi kemudian niatnya saya batalkan karena saya nggak punya duit. Hanya saja penawarannya sungguh nggak masuk akal dan kalau memang mau nolak ya silakan tolak tanpa embel-embel nyuruh saya naik angkot.
Begitulah, posting ini sebagai healing atas sakit hati saya terhadap ucapan si tukang ojek. Semoga tulisan bisa menyembuhkan, karena saya tahu bahwa writing is healing. Saya ingat pernah bertemu beberapa tukang ojek yang baik hati dan tentu saja saya akan menambahkan nominal yang relevan dengan isi kantong saya. Tentu sama ketika ada supir taksi baik hati lalu kita kasih tips, sebenarnya ya sama saja. Berbagilah rejeki pada tukang ojek yang baik, dan sebaiknya simpan rejeki untuk tukang ojek yang baik ketika kita bertemu tukang ojek bermulut kurang ajar.
Salam becek!
tukang ojek kadang memanfaatkan momen . masa pernaik naik ojek lebih mahal dari taksi (gondok
LikeLike
Hahaha.. Sama kyk tukang ojek stasiun kramat dong :))
LikeLike
wah aku pernah tuh naik ojek dari tempat A kerumahku 15rb… sekali waktu hujan dan terlalu capek untuk turun naik angkot. akhirnya bela-belain naik taksi aja… eh tau tau tariff taksi dari tempat A kerumahku cuma 16rb! mending naik taksiiiii -_____-
LikeLike
Supir taksi dan tukang ojek jangan2 incomenya lebih besar tukang ojek karena supir taksi kan masih harus setoran ke pool.. Banyak tukang ojek baik, tapi yang ngawur kayak di St. Kramat itu yang bikin gemes.
LikeLike
gojek bagus ojek pangkalan mejerit banyak yang ceray gara gara ada gojek
LikeLike
lha emang saya nulis gojek, om?
LikeLike
Selamat siang dan selamat beraktivitas
Kami salah satu taxi motor yang beroperasi di kota yogyakarta dan sekitarnya ingin menjadi bagian dari keseharian dan aktivitas warga jogja.
Pelayananan yang kami berikan :
1. Antar jemput
2. Delivery services (barang dan dokumen)
Hubungi : 085743954744
LikeLike