17 Agustus 2012, di saat seharusnya menyaksikan upacara di TV, aku malah tersudut di pojok kanan belakang travel Maestro yang membawaku dari Bandara Minangkabau ini. Ah, lama sekali. Kakiku sudah menekuk tidak karuan. Untung saja umurku masih 25, bagaimana kalau ini terjadi 25 tahun lagi? Pasti kakiku sudah membengkak karena penyakit.
15.45, aku mengingat angka itu tampak di dashboard mobil travel persis ketika meninggalkan parkir Bandara dan memulai perjalanan panjang menuju Bukittinggi. 17.45, aku mengingat angka itu tampak di tempat yang sama ketika nama “Padang Luar” sudah tampak di sisi kiri dan kanan.
Tapi kenapa sampai 18.30, mobil ini masih terjebak di macet Simpang Tarok?
Sigh!
Mobil ini masih hendak ke Gadut, masih hendak ke Inkorba, dan Ganting terakhir. Mungkin jam 9 malam aku sampai.
“Lurus!” teriak Polisi di pertigaan yang macetnya sudah mirip Pasar Serang.
Mobil travel ini masih dalam posisi hendak belok ke kiri, ke jalan menuju arah Gadut, kalau aku tidak salah.
“Lurus! Ini nggak bisa jalan,” teriak Polisi itu lagi.
Supir travel ini mengeluarkan pose malasnya. Perjalanan dari bandara sudah cukup melelahkan, pas puasa pula, aku mencoba memahami itu. Ia kemudian mengarahkan mobil ke arah Aur Kuning dan berbelok masuk ke arah Koto Dalam.
“Kalau lewat siko, ka Ganting se dulu, Da.”
“Ganting?”
“Ganting Permai.”
Supir itu diam, tidak menolak ataupun mengiyakan.
Perempatan Bay Pass yang semakin lama tampak sempit bagiku, supir itu belok kiri. Kupikir ia menolak permintaanku, tapi ternyata tidak. Di sebelah Gon Raya, ia berbelok naik. Yah, ini jalanan yang 11 tahun lalu kulewati dengan berjalan kaki sesudah turun dari Ikabe 08.
“Turun depan ajalah,” gumamku ringan.
Oke, ini travel yang seharusnya mengantarku sampai di depan pintu rumah. Tapi buatku, berjalan sedikit mengenang memori mungkin bisa lebih berguna, alih-alih membuat orang lain sebal karena jalan ke rumahku bukanlah mudah untuk ditunjukkan. Berhenti di depan kompleks, tentu akan mempercepat mereka sampai ke Gadut atau Inkorba. Sementara aku cukuplah berjalan sedikit sambil mengenang kisah lama.
“Mokasih, Da.”
Kataku setelah menutup pintu geser mobil travel itu. Semoga selamat sampai akhir ya.
Aku berjalan memasuki kompleks berlabel “Wisma Ganting Permai” itu, perlahan dan sungguh pelan-pelan. 18.45 di daerah Sumatera Barat belumlah terlalu gelap karena matahari belum sepenuhnya terbenam, jadi aku masih bisa menikmati sisa kenangan.
Langkahku bertambah terus, sampai kemudian aku tiba di sebuah rumah.
Rumah itu, rumah tempat aku bisa menyebut satu kata: PULANG.

* * *
“Kemana, Pak?”
“Mau lihat rumah kita nanti.”
“Horeee..”
Aku, kelas 3 SD, diajak Bapak melihat tempat yang disebutnya rumah kita nanti. Apapun itu, aku sebenarnya tidak tahu.
“Mana rumahnya?”
“Belumlah,” kata Bapak.
Aku hanya melihat tanah kosong, dengan sapi yang sedang buang air besar dengan enaknya plus rumpun bambu rimbun di bagian lain tanah kosong itu. Tidak ada yang lain.
Aku hanya terdiam, mencoba berimajinasi bentuk apa yang akan berdiri di tempat sapi itu berada sekarang.
Beberapa bulan kemudian, Bapak kembali mengajakku ke tempat yang sama dengan pemandangan yang sudah berbeda. Sebuah rumah mungil berwarna putih, pintu biru tua, dan papan-papan bercat ungu. Oh iya, atapnya asbes. Sebuah rumah yang hanya terdiri dari 1 ruang tamu, 1 kamar tidur, dan 1 WC, serta sebuah kran air di belakang WC.
“Kecil ya?” gumamku.
Aku hanya mendapati raut puas Bapak melihat sudah ada bangunan yang berdiri disitu, entah puas akan apa.
Beberapa bulan berikutnya, aku dibawa lagi ke tempat yang sama. Kali ini sudah ada bangunan lain disana. Sebuah bangunan plester semen, tanpa cat dengan sebuah pintu. Bangunan itu membentang dari belakang WC hingga ujung tanah yang berbatasan dengan tetangga. Di dalamnya, ruang panjang itu disekat menjadi 3 bagian.
Dan tak lama kemudian, sebuah ritual dilakoni kembali, dan Bapak-Mamak berjanji ini yang terakhir: PINDAH.
Keluarga kami adalah keluarga kontraktor alias hobi pindah-pindah mengontrak. Setiap kali sebuah rumah aku anggap cukup, pindah menjadi jawaban. Tentu saja, kontrak habis, kalau mau perpanjang mungkin harga naik, dan segala tetep bengek lain yang coba kucerna dari obrolan orang tuaku, dengan otakku yang baru kelas 3 SD.
“Ini yang terakhir kan?” tanya adikku yang cewek. Bahkan di usianya yang baru 5 tahun, ia sudah capek berpindah-pindah rumah.
“Iya.”
Maka pada suatu minggu, pindahlah keluarga kami. Menempati sebuah sudut Perumnas, sebuah tempat yang bisa kami sebut RUMAH, karena ini memang rumah milik sendiri, tidak lagi mengontrak seperti rumah-rumah sebelumnya.
Rumah ini nyaman? Itu relatif.
* * *
Aku sampai, kulihat Bapak di depan pintu, dengan setelan jas-nya yang rapi. Sejak jadi kepala sekolah, Bapak memang jauh lebih rapi. Lagipula, masak sudah punya dua anak sarjana–tepatnya tiga tapi yang satu belum wisuda–masih berdandan kayak dulu?
Aku mencoba tampil biasa, membuka pintu gerbang seperti halnya aku melakukannya dulu dengan seragam SMP.
“Weh? Nyampe juga,” kata Bapak.
Aku tersenyum saja. Yah, aku pulang, ke rumah.