Kalau Doktor dan Profesor Saja Mempercayai Hoax, Siapa Lagi yang Bisa Kita Harapkan?

Pertama-tama, saya mohon maaf kalau tulisan kali ini rada serius, dan semoga tidak meninggalkan ariesadhar.com sama sekali. Serial Lost in Bangka masih akan berlanjut sesudah ini, kok. Tenang saja, nanti akan dilengkapi kesegaran kisah dari Palu juga.

Tadi sepulang dari Palu, saya membaca dinding Facebook. Sejujurnya saya sudah jengah dengan linimasa ini karena yang disebar makin lama makin banyak kebohongan. Ya, seperti sering saya bilang, karena jempol jauh dari otak jadi kadang nge-share berita nggak sempat dipikir dulu, jempolnya langsung jalan. Share dahulu, pikir belakangan.

Tadinya saya pikir, fenomena ini adalah semata-mata kelakuan orang yang nggak berpendidikan atau setidaknya orang berpendidikan yang baru kenal Facebook dan nggak tahu bahwa tombol SHARE itu bisa berdaya ungkit tingkat tinggi. Masih begitu isi pikiran saya sampai kemudian muncul shareshare gawat tentang obat dan makanan yang berkali-kali saya tulis di blog ini klarifikasinya. Mulai dari beras plastik, air minum dalam kemasan, hingga biskuit yang bisa terbakar.

Eh, sekarang rupanya nge-share yang semacam itu sudah tidak laku. Paling enak zaman sekarang adalah nge-share tentang agama dan Tiongkok. Sudah deh, itu jamak sekali yang nge-share. Nggak peduli benar atau tidak. Mulai dari tulisan tentang siapalah petinggi Republik Rakyat Tiongkok yang katanya ingin menyelamatkan etnis Tionghoa di Indonesia hingga foto-foto yang diyakini sebagai korban Rohingya. Padahal, ya kali pimpinan pemerintah di RRT mikirin rakyat Indonesia, lha wong di sana saja penduduknya kurang lebih 3-4 kali Indonesia. Belum lagi masalah foto kekejaman Rohingya yang sejauh bertahun-tahun silam sudah diklarifikasi sebagai foto kecelakaan atau foto penangkapan biksu di Tibet.

Yang semacam itu lebih laku dan kalau shareshare tentang obat dan makanan itu paling di-share sama ibu-ibu, kini mulai dari ibu-ibu, anak-anak, bapak-bapak, hingga kakek-nenek ikut-ikutan menyebar. Eh, menyebar tanpa cek dan ricek kembali.

Ketika saya percaya bahwa orang yang berpendidikan tidak akan ikut-ikutan menyebar hoax, tetiba muncul teman saya yang saya tahu benar pintar dan ibadahnya kuat, menyebar gambar korban kebakaran di Kongo dengan caption kekerasan di Rohingya. Mulailah saya kaget, ternyata yang namanya menyebar hoax itu lintas pendidikan juga.

Belakangan, tren hoax berganti. Kalau dahulu masih agak niat bikin blog abal-abal yang isinya layaknya penganut kopimisme, menempatkan Ctrl+C dan Ctrl+V sebagai simbol suci. Sekarang? Modalnya hanya printscreen kop website terkenal seperti detik.com atau kompas.com, judul nan bombastis yang saya pastikan redaktur nggak akan menyetujui judul semacam itu, plus foto boleh ngembat dari website lain. Toh Google sudah sedemikian bebasnya sekarang. Dahulu masih ada effort bikin postingan walau copas, sekarang cukup bikin judul bombastis provokatif lantas tempelkan ke postingan seolah-olah asli.

Dan betapa kagetnya saya ketika hari ini saya membaca seorang dosen, seorang doktor, seorang mantan pimpinan lembaga negara berkomentar tentang Nusron Wahid, dikaitkan dengan ludah-meludah. Sesuatu yang dimulai dari sebuah screenshoot editan, dan sudah diklarifikasi bahwa berita itu tidak ada sama sekali, eh, dituruti mentah-mentah oleh sang doktor dengan membuat status, beberapa kali pula.

Saya gundah. Gundah karena saya dahulu mengidolakan sang doktor dan bahkan ikut rame-rame ketika sang doktor didongkel dari jabatannya. Gemas karena seorang doktor, seorang dosen, seorang mantan pimpinan lembaga negara termakan hoax hingga sedemikian adanya. Bahkan sampai minta memviralkan statusnya.

Lah lucu toh, hoax dianggap serius, lalu hoax yang dianggap serius itu dibakar, hasil bakarannya diviralkan. Nggak kebayang sama saya tentang dampaknya. Marah karena hal fiktif. Ibarat kata saya baca buku OOM ALFA yang kurang laku itu, kemudian kemarahan pada salah satu tokoh saya tulis di Facebook, dan minta tolong teman untuk memviralkan. Plus ketika saya menulis kegemasan dan kesedihan saya di Facebook, seorang dosen bilang bahwa status sang doktor itu dikomentari senada oleh seorang profesor.

Nah, loh.

Bagaimana bisa saya percaya dampak baik pendidikan kalau seorang doktor saja termakan hoax, dan lantas seorang profesor ikut serta emosi karena sesuatu yang tidak benar? Di Indonesia ini S1 saja tidak terlalu banyak dibandingkan proporsi masyarakat, apalagi S2, apalagi S3, apalagi profesor. Bagaimana jadinya jika yang duduk di puncak piramida pendidikan justru termakan hoax dan bahkan meminta menyebarkan kemarahan akibat sesuatu yang sebenarnya tidak ada? Kalau doktor saja begitu, profesor pun demikian, tidak heran kalau anak SMA bisa dengan mudah memaki-maki Presiden, berkomentar nggak sopan, dan sejenisnya.

Sekarang, masakan seorang kroco tidak berpendidikan kayak saya mengingatkan seorang doktor? Jelas tidak pantas, apalagi dari sederet komentar yang ada, sampai lima jam sesudah status diunggah, hanya sedikit orang yang kontra, sisanya sepakat. Padahal kan namanya juga kolega doktor, masak sih bodoh-bodoh kayak saya? Jelas tidak. Saya tidak mungkin mengingatkan orang pintar, saya tidak mungkin mengingatkan profesor. Saya lebih baik mengingat tagihan kartu kredit yang belum dibayar saja.

Sedih, sih. Tapi saya bisa apa? Memenuhi kebutuhan rumah tangga saja belum lurus, masak mau mengingatkan doktor untuk tidak marah pada berita yang sebenarnya tidak ada? Walau bagaimanapun, saya tetap percaya bahwa di Indonesia masih banyak orang, entah berpendidikan atau tidak, yang tidak mudah terpancing oleh hoax, yang tidak lantas gelap pikir hanya karena kebencian yang tadinya mungkin hanya secuil.

Ya, mungkin kita tidak bisa berharap kepada para doktor dan profesor yang telah marah pada sesuatu yang nisbi, tapi kita masih bisa berharap pada orang-orang baik lain yang masih minum air dari bumi Indonesia.

Sebab, Martin Luther King Jr berkata:

Darkness cannot drive out darkness; only light can do that. Hate cannot drive out hate; only love can do that.

10 thoughts on “Kalau Doktor dan Profesor Saja Mempercayai Hoax, Siapa Lagi yang Bisa Kita Harapkan?”

  1. Setuju bang. Saya juga sudah bosan sama dinding facebook yang semuanya share2. Dan yang bikin malas, yang banyak ngeshare ya orangtua saya 😑 orang orang sekarang kalau sudah setuju sama satu pihak pasti ngesharenya tentang ituuu aja, kebenciannya jelas banget. Padahal sumbernya juga belum tentu benar.

    Like

    1. Kebenaran kalah sama preferensi. Yang ditakutkan ya orangtua juga ikut-ikutan, padahal kita tahu ada yang salah. Kita kan nggak mau orangtua jadi kebebanan dosa gara-gara facebook yang terlalu liar ini kan ya 😦

      Liked by 2 people

  2. Sepakat. Sekarang medsos isinya begitu-begitu aja. Rasanya mau nge-remove orang-orang yang nyebar hoax, nge-add alay. Alay lebih menghibur daripada mereka. Atau, sekalian nggak kenal medsos deh. Asyik main Tumblr juga udah cukup.

    Liked by 1 person

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.