Menurut kabar, Indonesia sedang berduka karena kegagalan (lagi) tim nasional-nya PSSI untuk menjuarai Piala AFF 2016. Kalau menurut Ahmad Dhani dalam salah satu lagunya–dengan sedikit penyesuaian, “seperti final-final yang sudah-sudah”. Agak beda kisah dengan 2010 kala kita begitu jumawa di lapangan sejak awal namun kemudian bubrah di Kuala Lumpur, meski kemudian menang di Jakarta. Kali ini, kita bahkan tidak mendukung tim nasional kita sendiri pada awalnya. Apalagi pada pertandingan pertama kalah, pertandingan kedua seri dengan menggemaskan, pertandingan ketiga ketinggalan duluan sebelum kemudian berjaya via gol Andik dan Lilipaly.
Lagi-lagi Indonesia tumbang di final, tapi dengan segala latar belakang yang menyertai, sebenarnya dan seperti biasa orang Indonesia kita harus melihat keuntungan dari tidak juaranya Indonesia dalam Piala AFF kali ini.
Tanpa Kompetisi Resmi
Sejak dicabut pembekuannya oleh FIFA, PSSI belum lagi menggelar kompetisi resmi. Negeri ini hanya mengenal Indonesia Soccer Championship yang berformat ala kompetisi sebagai tempat para pemain berkreasi di lapangan. Pemain-pemain yang ada sebagian besar adalah pemain di kompetisi itu. Ya, walaupun bosnya liga adalah orang-orang yang itu-itu juga dan masih eksis di PSSI terkini, namun bagaimanapun secara jelas dan terang bahwa liga nan resmi, nan berjenjang, dan berada dalam naungan federasi, serta kemudian juaranya dapat bermain di AFC Cup tidak ada sama sekali. Jika Indonesia juara, tentu menjadi justifikasi kurang baik bahwa tidak butuh kompetisi resmi untuk menghasilkan tim yang juara di ASEAN.
Aturan Gila 2 Pemain
Pernah mendengar FIGC membuat peraturan bahwa tim nasional Italia hanya boleh memanggil 2 pemain saja untuk mengikuti Piala Eropa atau Piala Dunia? Jika begitu, maka Antonio Conte tidak akan bisa memainkan Gianluigi Buffon, Leonardo Bonucci, dan Giorgio Chiellini secara bersamaan. Bahkan untuk memilih 23 pemain, boleh jadi Giampiero Ventura sekarang ini harus memanggil pemain Crotone. Nah, di Indonesia hal itu terjadi. Sebuah kompetisi yang tidak terafiliasi dengan AFC bisa-bisanya menetapkan aturan 2 pemain dalam 1 klub yang dipanggil. Sebuah peraturan yang hanya ada di permainan seperti Fantasy Premier League. Juara dengan peraturan begini hanya akan jadi pembenaran bahwa aturan ala FPL itu adalah solusi bangsa.
Rekrutmen Menggelikan
Kita paham bahwa performa baik tim nasional Indonesia tidak lepas dari arahan dari Alfred Riedl. Pelatih lawas yang sempat menjadi harapan kita dengan permainan mantap di AFF 2010. Tapi kalau kita melihat bagaimana Opa Riedl direkrut tentu bikin dahi berkerut duluan. PSSI menyebut bahwa pelatih tim nasional dipilih melalui seleksi ala ala fit and proper test. Kita tahu dari publikasi PSSI bahwa yang menjalani fit and proper test itu bukanlah Opa Riedl. Jadi ibarat perusahaan bikin rekrutmen, yang dipanggil interview itu si A, B, C, dan D, yang diterima X. Sekali lagi, terlepas dari pada akhirnya Opa Riedl telah berhasil memberikan asa (lagi) kepada kita, jelas bahwa kalangan yang menunjuk Opa Riedl jelas perlu dipertanyakan.
Mengurus Tiket
Opa Riedl pernah bilang bahwa tidak banyak yang berubah sejak dia terakhir kali meninggalkan tim nasional. Salah satu yang tidak berubah itu adalah urusan tiket. Sesudah balada antrean tiket pada semifinal dan final AFF 2010, seharusnya ada yang belajar tentang pengelolaan tiket yang baik. Hasilnya? Ya, tiket dijual online, tapi ada yang offline, dan dijual di tempat yang sama sekali bukan tempat jualan tiket. Kisruh demi kisruh tetap menjadi menu klasik pengurusan tiket. Dan menjadi juara dengan manajemen semacam itu, kiranya akan menjadi sarana tepat untuk menutupi borok-borok yang ada.
Tidak usahlah saya menyebut publisitas televisi yang gila-gilaan termasuk kemunculan mantan kapten muda Indonesia Syamsir Alam di panggung Dahsyat dan bukannya di lapangan, ataupun bagaimana tokoh politik masuk sana sini meski tidak seekstrim kelakuan PSSI pada 2010 silam. Pada intinya, kita percaya bahwa manajemen yang baik akan memberikan hasil yang baik. Omongan pembenahan PSSI itu sudah ada sejak tahun era sepakbola gajah bahkan sebelumnya. Hasilnya? Sampai gajahnya beranak, pembenahan selalu berbalut gelut sana sini tiada karuan dan soal prestasi pada akhirnya ya harapan palsu yang tampaknya masih palsu hingga kini.
Bagaimanapun, kita tetap patut memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para pemain tim nasional Indonesia yang mampu membalikkan prediksi dan cibiran banyak orang menjadi penampilan gemilang, selalu mencetak dua gol kecuali pada final leg kedua. Memberikan harapan akan keberagaman Indonesia adalah kunci untuk maju.
Semoga PSSI kali ini benar-benar berbenah, tidak lagi penuh janji tanpa realisasi seperti yang sudah-sudah meski jika melihat komposisi pengurusnya, optimis menjadi hal yang sulit.
Tabik.
pas diakhir berantem dikit ya
LikeLike
Untunglah aku gak nonton, krena yakin kalah udah :p
Kunjungi balik ya gan
LikeLike
Siap, gan!
LikeLike