Inspirasi Dari Matthew

Agak bingung hendak menulis posting ini di ariesadhar.com atau di blog lain saya yang judulnya “Catatan Umat Biasa”. Tapi karena sepertinya inpirasi dari seorang bocah ini bisa digeneralisasi ke agama lain, maka biar ditulis disini saja, hitung-hitung ngisi posting di bulan April yang kering ide ini.

Malam Paskah kemaren saya misa di gereja Maria Fatima di Lembah Karmel, Lembang, bersama keluarga pacar. Kebetulan berangkatnya agak cepat, jadi dapat duduk di dalam. FYI aja, gereja di Lembang ini terbilan kecil, jadi kalau datang telat sedikit yang duduk di luar. Buat saya, ke gereja dan duduk di luar itu ibarat pacaran tapi nggak cinta. Nggak sreg. Nah, kebetulan posisi bangkunya pas untuk 6 orang, sementara saya plus keluarga pacar hanya 5 orang. Otomatis satu tempat di sisi kanan saya itu kosong, sementara di sisi kiri ada mbak-mbak yang mirip bidadari. Mirip doang, kok. Jadilah saya boleh berharap bahwa yang akan menduduki 1 bangku kosong di kanan saya adalah seorang gadis muda kece badai berusia 17 tahun dan berbadan seksi.

*ini contoh gereja salah fokus*

Nah, 15 menit sebelum misa, seorang bocah laki-laki nongol, lalu bertanya, “kosong, Koh?”

OKE! INI DUSTA! Aslinya sih dia bertanya, “kosong, Om?”

Ya saya jawab saja kosong, dan si bocah langsung duduk. Orang tuanya lalu bingung dan meminta anaknya itu di luar bareng dengan rombongan keluarga mereka, tapi si bocah nggak mau. Dia maunya duduk di dalam. Pasti karena Om-Om disini sangat mempersona

*muntah*

Akhirnya si bocah jadi duduk di samping saya, dengan neneknya di belakangnya persis, sementara emak dan bapaknya di luar. Ini sudah pemandangan keren bin absurd ketika seorang bocah rela pisah duduk sama orangtua demi duduk di dalam.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa misa malam paskah itu adalah salah satu misa terlama dalam perayaan misa umat Katolik. Bacaannya saya dua kali lipat yang normal, plus aneka prosesi yang khas. Saya langsung meragukan bahwa seorang bocah akan tahan untuk durasi selama itu. Jangankah bocah, orangtua aja banyak yang nggak tahan untuk nggak BBM-an sepanjang waktu itu.

Selepas upacara cahaya dan sesudah menyalakan lilin, saya mulai ngeh dengan kelakuan bocah di samping saya. Dia memegang buku perayaan lalu membolak-balik mencari bagian yang sedang berlangsung. Sambil bolah balik tanya neneknya di belakang. Daripada dia repot bolak balik, saya lalu berinisiatif menjulurkan jari untuk menunjuk bagian yang sedang berjalan di buku si bocah.

Pas bacaan 1 kan lektornya agak membosankan, saya lalu bolak balik buku misa, lah si bocah malah ngikutin saya bolak balik buku. Saya jadi nggak enak ngajarin hal yang jelek sama bocah, langsung deh saya diam. Sejak itu saya lantas mengamati si bocah lebih intens, tentu tanpa melupakan esensi misa. Dalam porsi masa kini, pemandangan bocah seperti di samping saya sungguh barang langka. Dia bocah, dan tidak ada orangtua yang memberikan supervisi langsung, dan dia anteng ngikutin misa. Bukan kayak bocah lain yang lari-larian, gulin-guling, hingga pura-pura mati di tengah-tengah misa.

Menjelang persembahan dia bilang ke neneknya kalau dia mau pipis, dan 10 menit kemudian dia bealik lagi, untuk kemudian anteng lagi mengikuti tata perayaan ekaristi.

Lebih luar biasanya, dalam beberapa kalimat jawab berjawab, bocah ini ikut mengikuti, bahkan pada bagian-bagian yang nggak biasa di misa-misa pada umumnya. Bahkan ada orang dewasa yang nggak peduli dengan tata perayaan ekaristi ini.

Ketika kemudian dia anteng sewaktu konsekrasi, saya baru yakin ini bocah istimewa. Apalagi untuk ukuran bocah yang bahkan tingginya hanya sepinggang saya. Bocah ini melakukan tindakan sederhana yang seharusnya dilakukan banyak orang dewasa di masa kini.

Ketika komuni, saya lalu bertanya namanya, tentu dengan bahasa Indonesia. Ya maklum anak hari gini lebih ngerti boso enggres daripada boso mbokne dewe.

“Namanya siapa?”

“Matthew.”

“Kelas berapa?”

“Kelas 1.”

MEN! Ini bocah kelas 1 SD! Duduk sendiri dan sama sekali nggak neko-neko. Banyak orang dewasa yang nggak tahan dengan kelakuan yang dia tampilkan selama mengikuti jalannya misa dengan baik. Apa yang dilakukan oleh Matthews sejatinya sangat menampar saya. Padahal secara pencitraan, saya ini cukup oke agamanya. Tugas di gereja lumayan sering, apalagi pas di Cikarang. Misa juga rutin setiap minggu. Tapi saya lantas sadar bahwa yang saya lakukan belumlah apa-apa.

Saya kalah dari seorang bocah.

Terima kasih, Matthew!

Advertisement

5 thoughts on “Inspirasi Dari Matthew”

  1. He is so loveable! Apalagi teringat insiden tisu hihi. Semoga Matthew tumbuh besar dengan baik dan benar, tanpa mengharap setiap ke gereja yang duduk di sampingnya adalah gadis muda kece badai berusia 17 tahun dan berbadan seksi. Amin.

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.