Senja Di Matamu

Batu kali yang sedikit tajam dan tidak licin adalah peraduan yang tampak pas sore ini. Aliran sungai yang masih jernih terdengar gemericik penuh dilema. Aku memasrahkan pantatku pada batu sebagai tempat bersandar. Mataku menerawang ke sekeliling.

Tempat ini sudah berbeda.

Masih kuingat ketika kita menikmati masa bersama-sama di aliran sungai ini. Ya, bersama-sama dengan yang lain tentunya. Sebuah kebersamaan yang indah dibungkus oleh kenyataan bahwa aku tidak bisa mendekatimu. Ironi dibalik senyuman. Tak apa, sejauh aku bisa dekat denganmu, itu adalah kebahagiaan terbesar.

“Rrrrttttttttttt….”

BB-ku bergetar. Mentions. Ah, hari gini, bahwa mentions di Twitter saja sudah dibuat sepenting SMS dan telepon. Mentions itu paling menarik, tapi kurang menarik kalau semata RT tanpa komen. Yah, tak apa juga sih, RT itu kan bentuk apresiasi. Sayangnya, kamu tidak bisa RT semua Tweetku, karena tidak ada namaku di Timeline-mu. Mau mentions kamu, aku malu. Jadi ya sudahlah. Mengecek timeline-mu adalah bentuk hiburan yang tak kalah indahnya dari duduk di batu kali ini.

Sehelai daun jatuh, aku melihatnya dengan jelas. Aliran air membawanya turun mengikuti gravitasi. Tampaknya daun ini bisa sampai ke laut kalau beruntung. Mungkin di laut dia bisa bertemu dengan dunia yang lebih luas. Dia bisa menikmati hidupnya sambil santai kayak di pantai.

Tapi lebih baik kalau kusapa sejenak.

Daun itu kuambil, kuangkat setengah meter dari permukaan air, kubersihkan, dan kupandangi. Ini daun sendirian, terlepas dari batangnya, hendak mencari kehidupan di tempat lain. Mirip sekali denganku. Huh…

Senja mulai turun. Aku suka sekali ini. Menikmati senja di atas batu dibantu gemericik aliran air. Sungguh alunan melodi alam yang tiada duanya. Senja sekali mengingatkanku pada hari itu.

Sebuah senja, bertahun-tahun silam, aku dan kamu, berdua di tempat ini, dalam keramaian teman-teman kita. Aku dan kamu yang duduk terdiam menanti senja. Sesekali saling menatap. Sebuah senja yang sederhana, penuh diam, dan terbenam pada perasaan yang tidak terungkapkan.

“Kita akan selalu jadi teman baik kan?” katamu.

Aku hanya menganggukkan kepala.

Aliran airnya masih sama. Senjanya juga demikian. Hanya satu yang beda, aku sendirian di tempat ini, menikmati keadaan di sekitarku. Alunan air bisa mengingatkanku bahwa air tidak setiap kali akan masuk muara dan laut. Air bisa saja menunggu lama sebelum sampai ke laut. Di jalan bisa diambil orang. Seperti itulah aku memendam rasa kepadamu.

Dan senja bersiap menutup hari. Aliran air membasuh kakiku yang berjalan ke tepian. Aku berharap air ini akan sampai ke laut. Janganlah seperti aku, hanya mengikuti aliran air itu, menanti di titik yang sama ketika diambil orang, lalu berjalan kembali ketika orang sudah membuang air itu. Air ini berhak diperlakukan lebih berharga. Kamu juga.

Dan senja menutup hari, ketika aku tidak dapat lagi melihat aliran sungai itu.

 

 

Advertisement