Kemarin bantu-bantu di Balai Kesehatan di sebuah kompleks perumahan di daerah Cikarang. Sebagai apoteker galau yang (kalau kata orang Palembang) katek gawe, jadilah bantu-bantu sejenak dilakoni.
Menjelang akhir keluarlah resep hiperlipidemia, isinya Allopurinol dan Simvastatin. Saya nggak perlu nyebut merknya lah ya? hahaha..
Well done.
Well done sampai kemudian, sesuai prosedur, saya menyobek kemasan doos dari salah satu obat itu. Begitu suara sobekan terdengar, mendadak saya sadar, bahwa produk yang kemasannya saya sobek barusan ini berasal dari tempat kerja saya yang lama.
Dan produk ini, lebih tepatnya item kemasan yang baru saya sobek ini, dikelola dengan suatu mekanisme njelimet yang bikin telinga saya sampai kebal dan otak saya nyaris hang.
Saya lihat nomor batchnya, tepat di bulan saya pindah.
Artinya, benda yang saya sobek ini yang pernah bikin saya sakit kepala. Dan sekarang saya juga yang menyobek dan memasukkannya ke tempat sampah?
ASTAGA!
Itulah kemasan sekunder. Kalau bicara kemasan primer alias kontak langsung dengan produk, kita nggak bisa permisif, dia lekat dengan produk. Kalau sekunder? Coba deh, berapa persen (sebutlah) doos yang sampai ke konsumen? Atau berapa banyak brosur yang dibaca oleh konsumen?
Atau sepengalaman saya ikut di bala bantuan gempa, seberapa banyak tenaga kesehatan yang membaca brosur? Tidak cukup banyak. Apalagi hanya untuk obat-obat yang terkenal macam dua yang di atas.
Kemasan sekunder itu fungsinya hanya mengantarkan isi berupa kemasan primer. Itupun dari pabrik ke distributor. Sesudah itu, mayoritas dari mereka akan hinggap di tempat sampah.
Itulah yang kadang bikin saya merasa sia-sia berpusing2 ria mengurusi benda yang pada akhirnya juga harus musnah.
Tapi..
Pernahkah kita berpikir begitu? Kalau iya, salah!
Ini pola pikir busuk.. Sama saja dengan buat apa bikin obat dengan kualitas prima toh nanti juga ED di apotek, pola pikir yang keluar saat pemusnahan obat di apotek. Buat apa masak banyak2 kalau akhirnya jadi busuk juga.
Kalau kita berpikir soal akhir yang buruk, kita nggak akan berkarya. Kalau kita masih menganggap suatu kerja akan sia-sia, maka nilai dari kerja kita akan jadi minimal. Coba deh kalau saya bilang, ngapain yang begini ini diurusin? Selain saya pasti dimarahin bos, saya juga bisa menganggap proses dari pabrik hingga sampai ke distributor itu bukan proses bernilai. Padahal ada penjagaan kualitas, ada pihak yang terlibat disana.
Jadi sebaiknya sih, jangan kayak saya. Kalau bekerja atau mengerjakan sesatu, pikirkan saja dampak baiknya. Itu agaknya lebih menambah value dari sesuatu yang kita kerjakan.