Kepanasan-Kedinginan

Alkisah, di suatu lingkungan, AC-nya menjadi dingin. Ya wajarlah, namanya AC yang dingin, tugasnya memang mengkondisikan udara supaya dingin. Beberapa ada yang bilang kedinginan. Ada juga yang bilang biasa saja.

Flashback sebentar, ketika AC mati. Semuanya berteriak ke PIC urusan AC ini, “panas… panas…”

So, dalam hal ini wajarkah untuk komplain?

Di satu sisi, saat suasana panas, ada keluhan untuk mendinginkan. Giliran sudah dingin, dikeluhkan untuk dipanaskan lagi.

Yah.. diakui atau tidak, itulah sifat dasar manusia yang tidak pernah puas.

Ini kan sama saja dengan saat cuaca panas, kita mengeluh “kapan ya ada hujan…” atau saat sedang hujan terus menerus “kapan ya cerah…”

Kita selalu berharap semuanya sesuai dengan kondisi kenyamanan kita. Di saat diberi panas, dan kita sudah tidak nyaman dengan panas itu, barulah kita berteriak minta hujan. Pun sebaliknya, ketika kita butuh suasana cerah untuk beraktivitas atau sekadar butuh panas untuk mengeringkan pakaian, kita berteriak minta hujan.

Ada miliaran umat manusia yang memiliki sifat yang sama. Lalu dengan Tuhan yang kita akui ada 1. Apa nggak pusing tuh dengan kehendak manusiawi yang beragam?

Sesekali, kita perlu belajar untuk menerima. Apalagi, kita nyata-nyata pernah meminta hal itu sebelumnya.

Semangat!!

Advertisement

Membahas Bahasa

Beberapa menit yang lalu, ada pesan muncul di chat FBku, bunyinya “Piye kabare?”

Sebenarnya itu ucapan yang sangat standar, biasa diucapkan. Tapi agak menggelitik ketika yang menyebutkannya adalah seseorang bermarga Batak. Semakin menggelitik lagi, ketika aku dalam posisi ngobrol langsung dengan sang pemberi pesan (dan saudara-saudaranya), mereka sangat fasih berbicara bahasa Jawa. Sebenarnya nggak aneh juga, toh sejak kuliah mereka sudah hidup di pulau Jawa. Jadi wajar jika kemudian sangat familiar berbahasa Jawa.

Negara kita tercinta Indonesia ini memang punya banyak keunikan, salah satunya bahasa. Negeri ini punya banyak koleksi bahasa, bandingkan dengan negara-negara lain yang bahkan menggunakan satu bahasa (misal Perancis) bersamas-sama. Kita punya Bahasa Indonesia dan segepok bahasa daerah.

Bahasa daerah seolah menjadi keharusan untuk bisa membaur dengan lokasi yang baru. Waktu masih kecil, dimana di rumah tidak dibiasakan berbahasa Minang, aku agak kesulitan juga saat berbahasa dengan teman. Sampai suatu momen, seorang guru menyuruhku memanggil anaknya, “Kecekan ka si X, diimbau amak”. Poin di percakapan tadi adalah kata Imbau. Pada saat mendengarnya, aku sama sekali tidak tahu artinya. Tapi malu juga mau tanya. Ya dilogika sendiri, kebetulan benar. Itulah yang aku sebut momen berbahasa.

Memasuki era kehidupanku di Jawa, beda lagi. Meski sudah dibekali siji loro telu sampai sepuluh di rumah, tetap saja aku belum memperoleh momen berbahasa itu. Uniknya momen itu didapat lewat kata yang agak kurang sip: Asu.. hehe.. Ceritanya di hari ketiga Masa Orientasi Siswa SMA dulu, ada forum diskusi. Seorang teman asli Jogja mengacungkan tangannya ingin berpendapat, eh ternyata diberikan ke teman yang lain. Spontan ia berucap, “Asu”. Yap, momen sepele, namun itu jadi momenku berbahasa. Perlahan-lahan, berbahasa Jawa mulai menjadi kebiasaan.

Lain halnya dengan era baru kehidupan di Palembang. Dari awal sudah ngeri, soalnya ada kesamaan dengan dua bahasa yang sudah kukuasai sebelumnya. Model banyak O ala bahasa Minang, dan kesamaan beberapa istilah dengan bahasa Jawa. Tapi, mau tidak mau, menguasai bahasa lokal itu penting. Kali ini momen berbahasanya tidak terlalu spektakuler, hanya muncul ketika seorang teman menyebut “Galak pempek dak?” tanya-tanya sedikit muncullah statement “Galak tu sama dengan Gelem” Owwww… Yah, sesederhana itu, dan sejak itu mulailah era berbahasa Palembang.

Memang, apa yang aku lakukan ini hanya mencakup permukaan saja, hanya memaknai bahasa-bahasa pergaulan. Jadi ingat dulu belepotan untuk menyebut gerah, nderek langkung, dan sejenisnya yang halus-halus. Namun setidaknya, ada bekal untuk sekadar mengerti bahasa lokal. Disadari atau tidak, banyak kok gunanya. Itu sebabnya aku agak menyesal hanya mengerti arti kata Awa’ai (selesailah sudah) ketika berada 9 hari di Nias. Dan aku masih memegang kata-kata: aya naon, sabaraha, kadie yang ternyata cukup untuk modal keliling Bandung sendirian.

So, what next? Semoga ada tantangan berbahasa yang baru.

Semangat!!!

Nyamuk

Banyak nyamuk di rumahku, gara-gara aku, tidak bersih-bersih..

Itu lagu lama, siapa ya yang nyanyikan? Sepertinya itu nongol waktu aku masih SD. Ya sudahlah, tidak penting juga untuk dibahas 🙂

Sebuah noda merah di dinding putih, hanya dua meter dari keyboard menggelitikku untuk menulis sedikit tentang nyamuk. Bukan tentang parasitologi nyamuk tentunya, karena dalam petualangan kesarjanaanku, soal parasitologi hanya dapat Cukup.. hehe..

Seekor nyamuk gemuk barusan melintas. Tahu lagi dibahas kali ya..

Nyamuk. Siapa yang suka nyamuk? Atau mungkin pertanyaannya bisa diganti, apa yang anda lakukan kalau melihat nyamuk? 90% aku rasa akan menjawab: akan segera memburu dan menaploknya sampai tuntas. Mungkin hanya 1% yang menjawab akan memakannya, dan kebetulan yang menjawab itu adalah golongan cicak.. hehe..

Ada ada dengan nyamuk? Hewan ini memang punya nuansa khusus kebencian.  Ya itu tadi, kalau melihat nyamuk, bawaannya pengen naplok sampai modar.

Tapi sikap kita, pada umumnya, terhadap nyamuk, sebenarnya mencerminkan sisi manusiawi yang unik. Nyamuk datang, menghisap sebagian kecil darah kita. Ya, hanya sebagian kecil sekali, bahkan bisa dibilang tidak terasa. Tapi kita seolah benci sangat dengan hewan itu. Apa pasal? Salah satunya, karena nyamuk meninggalkan rasa gatal, yang merupakan salah satu hal yang dibenci oleh manusia.

Lalu apa yang akan kita lakukan?

1. kita mungkin bisa memberi obat nyamuk. Perkara penamaan obat nyamuk ada baiknya dibahas tersendiri, pada intinya yang dimaksud adalah obat untuk membunuh nyamuk. Kita tinggal menyemprot atau memasang piranti dimaksud, dan berharap nyamuk tidak ada. Sesekali kalau kita menyapu, yang terlihat adalah mayat-mayat nyamuk yang bergelimpangan. Artinya, kita berupaya mencari kenyamanan dengan cara yang praktis, namun seraya berharap si pengganggu tidak akan kembali selamanya. Well, kita pun sering mencari suasana yang nyaman bukan? Bahkan mulai sering mencari kenyamanan yang praktis, kalau perlu tidak perlu mengeluarkan effort alias nggak mau rugi 🙂

2. Kita membeli lotion anti nyamuk, mulai dari merk Soffel sampai MOSKY. Kita memakainya dengan mengoleskan lotion ke tubuh kita, sambil kemudian membiarkan nyamuk berkeliaran di sekitar kita tanpa bisa menggigit kita. Dalam hal ini, kita mencari kenyamanan, mengeluarkan effort, pun kita masih membiarkan si pengganggu tetap eksis. Dalam kasus ini, kita pun bisa win-win solution dengan nyamuk ^_^

3. Kita membeli seperangkat raket nyamuk. Ini model sadis. Ketika si nyamuk lewat, kita akan mengejarnya sampai dapat. Dengan sedikit sentuhan listrik, nyamuk akan lemas. Kalau yang model sadis tadi akan membiarkan nyamuk meledak lewat sengatan listrik (diakui atau tidak, aku termasuk pelakunya hehe…) Yah, kita sebagai manusia punya batas juga. Kita pun bisa jadi sadis. Kalau mau contoh ekstrim, orang-orang bermuka baik banyak yang muncul di televisi sebagai pelaku kriminal, termasuk perlukaan pada orang lain. Terkadang itu dilakukan sebagai bagian dari pembelaan diri. Manusia memang punya limit untuk bisa menjadi ‘bukan dirinya’.

4. Kita akan memburunya sampai ke ujung ruangan, menggapai-gapai, menangkap, sampai menaploknya dengan puas. Bahkan saat kita menemukan ada bercak merah disana, kita bergumam puas, salah satunya: “modar kowe”. Mau ditampik atau tidak, ada sisi dari kemanusiaan kita yang demikian. Kita sedemikian dendamnya dengan sesuatu yang mengambil bagian dari diri kita, mengejarnya sampai batas kemampuan, menemukannya, menuntut balas, bahkan tidak peduli bahwa darah yang sedikit itu tidak akan kembali. Lagi-lagi, itu sisi kemanusiaan kita, tidak melulu terhadap nyamuk. Kadang kita lakukan juga untuk sesama kita manusia.

Nyamuk yang kecil pun ternyata memberi sedikit perspektif untuk berpikir.

Oya, sebagai catatan, nyamuk yang dibahas disini adalah nyamuk kampung. Soal nyamuk-nyamuk dengan penyakit berat ada baiknya dibahas di sisi kefarmasian dan kedokteran saja. Ada banyak yang lebih bisa menjelaskannya, toh ini hanya sekadar tepian daya pikir 🙂

Semangat!!

Oalah, lewat lagi, tak tabok tenan kowe, muk….

Keluar Dari Rel

Tadi sore, bersama seorang teman, aku pulang ke kediaman. Yah, habis belanja-belanja sedikitlah. Seperti biasa, senin sampai jumat mencari uang, sabtu dan minggu menghabiskannya. Kata-kata yang sesuai untuk fresh graduate, namun terkadang masih aku anut sampai nyaris 2 tahun menjadi pekerja.

Tapi bukan itu intinya.

Ketika pulang, memasukkan sepeda motor, dan hendak menutup pagar, ada kendala. Pagar itu tidak bisa ditarik dengan mudah seperti biasanya. Cek punya cek, ternyata roda dari pagar itu keluar dari rel-nya. Segera pagar diangkat, ditaruh kembali diatas rel-nya, kemudian pagar pun bisa ditutup kembali dengan sempurna.

Simple sekali sih. Roda pagar yang keluar dari relnya. Tapi coba sesekali kita berpikir soal ini.

Dalam hidup, kita punya rel masing-masing. Ada jalan yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan untuk kita. Kita dapat bergerak dengan bebas dan lancar dengan rel itu. Sesekali memang ada batu atau gumpalan daun sisa banjir yang teronggok di rel, namun dengan sedikit pemaksaan, halangan itu bisa dipindahkan.

Tapi sesekali, entah karena apa sebabnya, kita keluar dari rel yang sudah disediakan itu. Apa yang terjadi kemudian?

Kita tidak bisa bergerak dengan mudah. Kita tidak punya arah untuk berjalan. Kita menjadi sebuah pagar yang hanya bisa diangkat untuk bisa bergerak. Kita bukan lagi pagar yang bisa melindungi, bahkan kita menjadi pagar yang menyusahkan, karena tidak bisa ditutup, dan butuh perlakuan khusus.

Jadi, apa gunanya keluar jalur? Toh, tidak ada jalur lain yang dipersiapkan untuk kita? Seumur-umur, aku belum pernah melihat satu pagar dengan dua rel. Ya, hanya ada pagar dan relnya masing-masing.

Refleksiku, kalau memang Tuhan sudah memberikan rel sendiri-sendiri, ya silahkan dijalani. Hal yang sulit, karena terkadang ada rintangan di rel itu, namun ternyata tidak lebih sulit ketimbang kita keluar dari rel itu. Untunglah Sang Pemberi Hidup selalu memberikan kita kesempatan kembali, mengangkat kita, agar kembali ke rel-nya.

Berefleksi itu mudah, yang sulit: mengaplikasikannya.

Semangat!!

🙂

Tarik-Dorong

Dua hari yang lalu, saya masuk ke pusat kebugaran. Ketika berada di depan pintu dengan tulisan DORONG, saya berpapasan dengan seorang bapak dari arah dalam. Mengingat tulisannya adalah DORONG, jadi saya pede saja berjalan lurus. Tanpa diduga, pintu itu justru mengarah ke saya, alias si bapak tadi menDORONG pintu tersebut dari dalam. Nyaris saja terbentur pintu. Tanpa bermaksud menyalahkan bapak itu, ketika masuk, saya cek tulisan yang tertera di pintu itu: TARIK.

Yah, kebiasaan manusia. Saya tidak perlu menyebut ini kebiasaan Bangsa Indonesia, walaupun nyata-nyata meski tulisan PUSH-PULL di pintu jauh lebih kecil font-nya, tetap saja orang-orang luar negeri yang saya temui di beberapa kesempatan berurusan dengan pintu, sangat patuh pada kasus TARIK-DORONG dan PUSH-PULL ini.

Apa sih susahnya mengikuti perintah yang tertera di pintu tersebut? Apa sih susahnya patuh pada aturan? Itu mungkin misteri hidup manusia 🙂

Tapi itulah refleksi hidup kita. Kadangkala dalam menyikapi sesuatu, kita melakukan hal yang sama. Saat situasi emosi, misalnya, ketika kita seharusnya TARIK agar suasana adem, kita malah melakukan DORONG sehingga suasana tambah panas. Percaya atau tidak, kita pasti punya arahan yang datangnya entah darimana (saya yakin dari Tuhan). Ketika mencapai suasana emosional, arahan itu meletakkan petunjuk TARIK. Tapi bisa saja kita malah melakukan DORONG.

Kenapa?

Hmm.. secara fisik, melakukan aktivitas DORONG cenderung lebih mudah daripada TARIK. Ketika melakukan aktivitas TARIK, kita mengerahkan tenaga dan semuanya bertumpu ke diri kita. Kontrol ada pada diri kita. Bandingkan dengan saat melakukan aktivitas DORONG, kita menumpukan beban pada pintu. Pintu akan bergerak sesuai beban yang kita berikan.

So, wajar sekali kan? Kita lebih suka memberikan beban kepada yang lain, alih-alih menanggungnya sendiri. Meskipun ini demi kebaikan bersama.

Yah, namanya juga manusia.. 🙂

Penilaian

Apa makna penilaian?

Sesuai kata dasar dan imbuhannya, berarti kita memberikan NILAI pada sesuatu. Ketika kita memberikan NILAI, maka ada makna yang terselip di balik itu. Ya, nilai itu membentuk suatu posisi saat kita memandang sesuatu.

Apa yang terjadi saat kita melihat lantai kotor?

Apabila kita bebas nilai, maka yang terjadi adalah hanya sekadar lantai yang dipenuhi debu.

Apabila kita sertakan etika yang diajarkan kepada kita waktu kecil, maka yang muncul adalah rasa jorok, dan pendapat bahwa seharusnya ini bersih.

Apabila kita ditambah fakta bahwa lantai kotor itu karena orang yang mengurusnya sedang sakit, maka ada rasa kasihan disitu.

Jelas sekali, setiap hal bisa dilihat dan dinilai dari cara yang berbeda, dan NILAI yang berbeda pula. Semua sangat tergantung kepada: siapa yang menilai, fakta-fakta dan latar belakang yang menyertai, serta ada kepentingan atau tidak.

Itulah sebabnya penilaian, seberapapun objektifnya metode, tetap tidak bebas. Kita memang tidak bisa berkelit bahwa 1+1=2, namun kita bisa mempertanyakan, darimana angka 1 itu berasal, kenapa bukan 3, kenapa bukan 4. So, ketika saatnya kita melakukan penilaian pada yang dilakukan sendiri, mungkin itu adalah hal yang paling mudah. Tidak semata-mata menilai semuanya tinggi. Karena pasti kita bisa memberi nilai pada sesuatu yang pernah kita kerjakan dan hasilkan.

NILAI, seberapapun absurdnya itu, akan tetap memberikan posisi dalam setiap langkah kehidupan kita, dan itu tergantung pada PENILAIAN yang dilakukan.

Hanya sekadar tepian daya pikir 🙂

Lentera Jiwa (by Nugie)

Lama sudah kumencari apa yang hendak kulakukan
segala titik kujelajahi tiada satupun kumengerti
tersesatkah aku disamudera hidupku

kata-kata yang kubaca terkadang tak mudah kucerna
bunga-bunga dan rerumputan bilakah kau tahu jawabnya
inikah jalanku inikah takdirku

kubiarkan kumengikuti suara dalam hati yang slalu membunyikan cinta
kupercaya dan kuyakini murninya nurani menjadi penunjuk jalanku

lentera jiwaku

—–

Yeah, ini lagu lama. Rasanya jaman kuliah punya. Tapi suatu hari di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, ketika aku masih dalam sisa penat kala lelah dari Senja Utama belum usai, abu merapi yang masih terasa, deru Senja Solo Extra yang belum hilang, dan segera memasuki Garuda Indonesia untuk kembali ke ladang, aku mendengar kembali lagu ini.

Simple song. Lagu yang sangat sederhana, tapi memberi makna yang dalam. Karena yang penting adalah membiarkan diri mengikuti suara dalam hati, karena nyata-nyata pasti membunyikan cinta, sekecil apapun itu terdengar. Nurani memang harus diyakini dan dipercaya, karena itu murni teman!! Kita kadang lupa akan hal itu. Kita kadang terbiaskan oleh kepentingan-kepentingan yang sejatinya bukanlah kemauan hati kita, namun dipaksa oleh keadaan.

Itu akan menjadi penunjuk jalanku, lentera jiwaku, karena itu semua adalah kehendak Tuhan 🙂

Semangat!!

Restart

Terima kasih kepada Mbah Google yang membawaku kembali ke dunia yang sangat kucintai ini. Berawal dari sekadar mengetik sebuah keyword, aku menemukan kembali sebuah blog yang penuh dengan kisah-kisah dan refleksi menarik. Sesuatu yang sudah bertahun-tahun hilang dari diriku.

Jadi, mari kita restart.

Ibarat komputer, ketika dia hang, maka langkah tercepat adalah melakukan restart. Dan segera ia akan kembali, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

So, mulai hari ini, aku akan kembali!!

Semangat!!!

Bapak Millennial

%d bloggers like this: