Semanis Aspartam

Beberapa hari yang lalu, di kos-kosan mendiskusikan tentang pemanis buatan. Kalau nggak salah karena iklan salah satu minuman berenergi. Lalu tiba-tiba teringat dengan teman yang mengaku manis karena skripsinya soal aspartam. Hmmm.. Sekalian aja kali ya, menulis tentang aspartam.

Aspartam merupakan salah satu dari berbagai jenis pemanis buatan, selain sakarin atau siklamat yang juga banyak dipakai. Rasa manisnya mencapai 180 sampai 200 kali dari gula biasa. Sehingga banyak digunakan di berbagai produk makanan dan minuman. Untuk mencapai tingkat kemanisan yang sama, hanya diperlukan 1% dari jumlah gula. Karena tingkat manisnya yang tinggi ini, banyak yang menyebutnya sebagai biang gula, pun dengan pemanis buatan yang lain. Padahal belum ada satu suara mengenai definisi biang gula yang sebenarnya.

Aspartam ditemukan pada tahun 1965 oleh seorang peneliti bernama Mr. James Schlatter, di G. D. Searle & Company. Schlatter merupakan peneliti yang melakukan riset asam amino untuk pengembangan pengobatan pada ulcer. Saat ia menjilat jarinya untuk mengambil sebuah kertas, ia mencicipi rasa manis yang menurutnya menarik. Sesuatu yang tidak sengaja ini menjadi revolusi yang berkembang besar.

Sejak tahun 1967 telah dilakukan berbagai uji komprehensif untuk keamanan pangannya, dengan pengujian kepada hewan, manusia, dan juga anak-anak. Aspartam disetujui Food and Drug Administration (FDA) pada 1974 namun dicabut beberapa bulan kemudian karena ada pengaduan soal efek karsinogen.

Pada tahun 1981, FDA menyatakan bahwa bahan ini tidak berbahaya apabila dikonsumsi secukupnya dengan batas penggunaan sehari-hari yang ditetapkan. Kala itu hanya untuk makanan padat. Lalu dua tahun kemudian menyusul untuk minuman ringan. Berbagai penelitian dilakukan sampai dinyatakan approved for general use di Amerika pada 1 Agustus 1996. Evaluasi yang dilakukan oleh FDA mencapai 26 kali sebelum keluarnya persetujuan itu.

Persetujuan sudah diperoleh dari FDA di Amerika Serikat, Health Protection Branch (HPB) di Kanada, WHO, dan regulator di lebih dari 100 negara. The Council on Scientific Affairs of the American Medical Association juga mengkonfirmasi keamanan aspartam. Di Eropa bahan ini disetujui pada 30 Juni 1994. Bahkan di Perancis, persetujuan sudah ada sejak 1988. Aspartam telah dinyatakan aman digunakan baik untuk penderita kencing manis, wanita hamil, wanita menyusui bahkan anak-anak. Pengecualiannya hanya satu, penderita fenilketonuria. Menurut FDA, The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA), Americam Medical association (AMA), The American Council On Sience and Health (ACSH) aspartam merupakan bahan makanan yang aman bagi kesehatan, hanya berpengaruh pada rasa manis.

Di Indonesia, BPOM menyebutkan bahwa aspartam dikategorikan aman berdasarkan Keputusan Codex stan 192-1995 Rev. 10 Tahun 2009. Codex Alimentarius Commision (CAC) adalah Lembaga Internasional yang ditetapkan FAO/WHO untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin terjadinya perdagangan yang jujur.

Aspartam merupakan pemanis sintetis non-karbohidrat, spartyl-phenylalanine-1-methyl ester, merupakan bentuk metil ester dari dipeptida dua asam amino yaitu asam amino asam aspartat dan asam amino essensial fenilalanina. Aspartam merupakan dipeptida yang dibuat dari hasil penggabungan asam aspartat dan fenilalanina.

Dua komponen ini sering terdapat pada produk alami yang beredar di masyarakat. Dalam makanan yang mengandung protein, contohnya daging, gandum, dan produk yang berasal dari susu. Selain itu, komponen ini juga sering terdapat pada beberapa jenis buah dan sayuran. Fenilalanina sendiri merupakan senyawa yang berfungsi sebagai penghantar atau penyampai pesan pada sistem saraf otak.

Sebagai peptida lainnya, kandungan energi aspartam sangat rendah, yaitu sekitar 4 kCal (17 kJ) per gram untuk menghasilkan rasa manis sehingga kontribusi kalorinya bisa diabaikan.

Menurut Karim et.al. dan Stegink et. al (1996), metabolisme aspartam terjadi pada saluran pencernaan menjadi komponen metanol sekitar 10%, 40% asam aspartat dan 50% fenilalanin. Sedangkan penelitian Creppy et. al (1998) menyatakan, hanya sebagian kecil saja aspartam yang mungkin diserap tanpa dimetabolisasi. Namun tentunya, hal ini masih perlu dikonfirmasikan. Ini menjadi penting karena dari berbagai pemanis buatan, hanya aspartam yang dimetabolisme. Tetapi proses pencernaan aspartam juga seperti proses pencernaan protein lain. Aspartam akan dipecah menjadi komponen dasar, dan baik aspartam maupun komponen dasarnya tidak akan terakumulasi dalam tubuh.

Secara normal, fenilalanina diubah menjadi tirosin dan dibuang dari tubuh. Gangguan dalam proses ini disebut fenilketonuria atau fenilalaninemia atau fenilpiruvat oligofrenia. Gangguan ini menyebabkan fenilalanina tertimbun dalam darah dan dapat meracuni otak serta menyebabkan keterbelakangan mental. Penyakit ini diwariskan secara genetik, ketika tubuh tidak mampu menghasilkan enzim pengolah asam amino fenilalanina, sehingga menyebabkan kadar fenilalanina yang tinggi di dalam darah, yang berbahaya bagi tubuh.

Penyakit ini sendiri tidak pernah ditemukan di Indonesia. Tetapi ditemukan pada orang kulit putih,dengan prevalensi satu per 15.000 orang. Dan itu juga bukan hanya aspartam, tapi juga segala macam makanan yang mengandung fenilalanina termasuk nasi, daging dan produk susu. Karena itu, pada setiap produk yang mengandung aspartam ada tanda peringatan untuk penderita fenilketonuria bahwa produk yang dikonsumsi tersebut mengandung fenilalanina. Coba saja lihat.

Saat ini, lebih dari 500 juta orang di dunia secara teratur memakai produk dengan aspartam. Konsumen yang sadar kalori akan memilih aspartam. Bahan ini dapat menggantikan rasa manis berkalori sampai 99%. Aspartam dapat membantu penderita diabetes untuk meningkatkan kualitas hidup dengan memungkinkan penderita menikmati makanan dan minuman yang manis. Aspartam juga ramah terhadap gigi, sesuai rekomendasi American Dental Association.

Nilai ambang batas/acceptable daily intake (ADI) yang telah disetujui oleh JEFCA untuk aspartam adalah 40 mg/kgBB/hari, yang apabila dikonversikan menjadi sebanyak 18-19 kaleng diet cola pada individu yang mempunyai berat badan 68 kg.

Aspartam adalah produk bubuk kristal yang tidak berbau dan berwarna putih. Kestabilannya sangat tergantung pada waktu, suhu pH, dan aktivitas air. Aspartam sangat stabil dalam keadaan kering, tetapi pada temperatur 30 hingga 80 derajat celsius, aspartam akan kehilangan rasa manisnya, dan berubah menjadi diketopiperazin. Aspartam sangat baik untuk produk yang disimpan dalam pendingin atau dalam keadaan beku.

Saat ini aspartam telah diproduksi dalam berbagai bentuk, seperti cair, granular, enkapsulasi dan juga tepung. Dengan demikian, aspartam dapat digunakan dalam berbagai bentuk dan jenis makanan maupun minuman. Bentuk enkapsulasi bersifat tahan panas sehingga dapat digunakan untuk produk-produk yang memerlukan suhu tinggi dalam pembuatannya, untuk mengatasi pengaruh suhu pada kestabilan aspartam ini.

Aspartam dijual dengan nama dagang komersial seperti Equal, Nutrasweet dan Canderel dan telah digunakan di hampir 6000 makanan dan minuman di seluruh dunia.

Pada publikasi terbarunya per Februari 2011, the European Food Safety Authority (EFSA) mengkonfirmasi ulang bahwa aspartam pada minuman ringan rendah kalori adalah aman. EFSA melakukan tinjauan pada 2 penelitian yang dipublikasikan di Perancis. Penelitian pertama, dari Italia, menyatakan bahwa ditemukan efek samping aspartam pada mencit, sedangkan yang kedua, dari Denmark, mempertanyakan keamanan minuman ringan rendah kalori pada kehamilan. EFSA menyimpulkan bahwa kedua penelitian ini tidak memberikan alasan untuk mempertimbangkan kembali pernyataan keamanan yang sudah dipublikasikan.

Hasil penelitian Raben, et. al. (2002) menyatakan bahwa terjadi peningkatan signifikan jumlah gula, berat badan, lemak, dan tekanan darah pada grup yang mengkonsumsi gula dengan jumlah ditetapkan. Dan hal ini tidak terobservasi pada grup yang mengkonsumsi pemanis buatan.

Meski penggunaannya jamak dan telah disetujui oleh WHO, aspartam tidak langsung bisa diterima masyarakat. Banyak kontroversi muncul terkait adanya penelitian mengenai produk aspartam dengan beragam hasil yang berbeda.

Penelitian yang menggunakan aspartam bolus 34 mg/kg berat badan memperlihatkan bahwa walaupun hasil metabolisme aspartam dapat melewati sawar darah plasenta, jumlahnya tidak bermakna untuk sampai dapat menimbulkan gangguan saraf pada janin.

Pada 1996, sebuah artikel JW Olney menyatakan adanya kemungkinan aspartam menyebabkan peningkatan insiden dari tumor otak sehingga menimbulkan perdebatan di berbagai media. Pada tahun yang sama, badan-badan kesehatan di berbagai belahan dunia telah memberikan reaksi dengan menyatakan pada publik bahwa berbagai macam penelitian telah dilakukan. Sejumlah penelitian lain masih berlangsung untuk mendapatkan bukti sains yang mendukung.

Bukti dari penelitian yang dilakukan oleh FDA FR (1981-1984), Koestner dan Cornell et. al (1984) serta Flamm (1997) membantah pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada potensi karsinogenik yang menyebabkan kanker pada pemakaian aspartam di tikus percobaan. Perdebatan hasil penelitian Olney juga dikemukakan oleh para peneliti lain, termasuk Levy et. al (1996) yang menyatakan bahwa jika pengumpulan data mengenai insiden tumor otak dan pemakaian aspartam dikumpulkan dari 1973 hingga 1992, hasil penelitian Olney tidak relevan, karena Levy mendapatkan hasil bahwa insiden tumor otak meningkat bukan karena mengkonsumsi aspartam.

Pendapat lain oleh penelitian Lim dkk yang mengikuti perjalanan 285.079 pria dan 1888.905 wanita pengonsumsi aspartam, sejak 1995 hingga 2000, mendapati bahwa tidak ada kaitannya dengan risiko kanker otak dan kelainan pembentukan darah. Studi ini dipublikasikan di jurnal Cancer epidemiology Biomarkers and Prevention pada 2006.

Penelitian pada 2008 yang membantah bahwa aspartam menyebabkan kanker adalah penelitian dari Magnuson dan Williams yang disponsori oleh Burdock Group, sebuah badan peneliti independen yang di-support secara finansial oleh perusahaan Ajinomoto. Bahkan pada 2009, salah satu penelitian yang disokong oleh Italian Association for Cancer Research dan The Italian League Against Cancer menyatakan bahwa tidak terbukti bahwa aspartam menyebabkan kanker lambung, pankreas, dan lapisan rahim (endometrium).

Batasan sudah ditetapkan, tinggal bagaimana kita mengikutinya, juga tetap memberi perhatian pada sesuatu yang kita konsumsi, apakah masih sesuai batasan atau tidak. Selanjutnya, seperti yang teman saya suka bilang, “karena skripsi saya aspartam, maka saya manis”. 🙂

* * *

Aspartam, Si Manis yang Menuai Kontroversi (Senin, 29 Maret 2010 | 14:04 WIB )

Aspartam yang Bikin Resah (Sabtu, 3 April 2010 | 13:45 WIB )

Aspartam

Advertisement

5 thoughts on “Semanis Aspartam”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.