Kuliah Lagi

Pentingnya Memiliki Asuransi Dari Sudut Pandang Orang Tua

Dari sisi karir di birokrasi, sesungguhnya gelar Apoteker yang saya punya sudah sangat cukup, setidaknya untuk kelak menjadi Eselon II, meskipun ya saya ogah, sih. Ya, Apoteker kalau di birokrasi harganya sama dengan S2.

Dari sisi pengembangan diri, saya cukup bersyukur ada di organisasi yang sedang bertumbuh sekaligus punya sumber daya yang cukup. Dalam 2 tahun terakhir, saya bisa punya sertifikasi Risk Management dan juga sertifikasi Lead Auditor ISO 9001:2015. Khusus yang terakhir ini terasa wow karena dulu di pabrik, bisa dapat sertifikasi macam ini hanya mimpi belaka, soalnya harganya mahal sekali.

Oh, terakhir bahkan saya diikutkan pelatihan yang berbonus free membership setahun jadi anggota the Institute of Internal Auditor (IIA).

Tapi tetap saja saya merasa perlu mengupgrade diri meskipun harus menceburkan diri ke zona yang tentunya tidak nyaman, terutama dengan penurunan income. Setidaknya saya punya mimpi bahwa Kristofer kelak akan cukup bangga punya bapak-ibu minimal S2. Ya, meskipun saya nggak bakal ngejar level S2-nya Mama Isto. Lulusan UCL, coy~

Maka, nyaris 2 tahun yang lalu saya memutuskan untuk merintis jalan agar bisa kuliah lagi. Ambil S2, meskipun saya kadang ingat bahwa pas jobfair di Bandung ada mbak-mbak dari S1 Teknik sesuatu dan S2 Manajamen mencoba ngelamar jadi CPNS untuk formasi S1 Manajemen. Sekadar fakta bahwa banyak juga orang ngambil S2 itu adalah atas dasar daripada nganggur sesudah S1.

Mau kuliah lagi di PNS itu tidak mudah. Prosedurnya panjang dan berliku. Untuk berbagai alasan, saya kemudian menambah sendiri tingkat keribetannya. Ya, saya ingin kuliah tanpa beasiswa dari kantor.

Awalnya, tujuan saya adalah di Singapura, di Lee Kwan Yew School of Public Policy. Pas ke Singapura pun saya menyempatkan diri untuk melihat langsung kampusnya di dekat Botanical Garden. Tua, sih, tapi terasa hawa kerennya. Tim LKYSPP juga getol cari mahasiswa asal Indonesia. Kalau kata Rian Ernest, caleg PSI gagal–serupa Mz Kokok Dirgantoro–scholarship di LKYSPP juga sangat cukup, belum lagi dosen-dosennya yang “nggak kayak di Indonesia”.

Saya lantas mengambil tes TOEFL yang cocok untuk bisa apply LKYSPP, ya semata-mata karena tenggat dan harga, sih. Mereka tidak menyebut standar TOEFL yang pasti, tapi bilang angka yang bisa dipertimbangkan dan ketika TOEFL saya keluar ya masih di bawah tapi tidak jauh.

Kalau saja saya itu adalah istri saya zaman muda, saya pasti nekat apply. FYI, istri saya itu pada apply pertama nggak diterima sama UCL. Tapi karena bisa banding, dia banding dengan argumentasi tambahan (tanpa mengubah pokok masalah) dan kerennya keputusan UCL bisa berubah.

Akan tetapi, saya tentu tyda boleh egois. Saya sekarang sudah bapak-bapak. Ada istri, ada anak. Kalau saya ke SG sana, terus apa ya istri saya yang M.Sc Farmasi Klinis dari England itu kudu resign dan menemani saya ke SG sambil bawa anak? Atau kalau saya tinggal saja di Indonesia, nanti siapa yang bikin susu Isto kalau dia lagi ihik-ihik minta dodot tengah malam? Bukan apa-apa, sejak dia masih piyik itu tugas saya soalnya. Dan kebetulan, kami sepakat tidak pakai ART menginap.

Lebih dari semuanya itu, saya tidak hendak kehilangan masa-masa bertumbuh dari Kristofer. Saya yakin, untuk alasan ini, pilihan saya untuk enggan mencoba lagi mencari beasiswa ke LN, yang sebetulnya cukup dekat untuk diusahakan, adalah keputusan yang tepat.

Screenshot_1956

Maka, dengan bayangan seram kuliah di dalam negeri, saya pada akhirnya harus memilih. Ini juga tidak mudah.

Kalau mau egois, ya tentu saja saya ingin masuk UGM. Presiden RI sekarang lulusan sana, saya juga dulu sudah pernah nyanyi “bhakti kami, mahasiswa Gadjah Mada….” dengan cukup fasih. Bayangan hidup di Jogja yang 10 tahun silam enak itu jelas mengemuka.

Lagi-lagi, saya bukan lagi bujangan. Dengan pertimbangan yang sama, saya akhirnya menihilkan UGM dari pilihan. Opsinya ya tinggal 1: ambil S2 di Jakarta dan sekitarnya, dan di list dari pemberi beasiswa pilihan mengerucut jadi satu saja: Universitas Indonesia.

Tidak usah jauh-jauh, menjadi ‘Anak UI’ itu sudah cukup luar biasa di keluarga saya. Bapak, Mamak, saya, dan 3 adik sejauh ini kuliahnya swasta semua. Jadi, ini untuk pertama kalinya ada di keluarga saya yang kuliah di PTN.

Seluruh proses saya jalani. Bagi PNS yang ingin beasiswa di luar kantor perkaranya jadi tiga macam dan nggak jelas juga mana yang sebenarnya duluan. Pertama, mengurus beasiswanya itu sendiri. Kedua, mengurus prosedur Tugas Belajar yang akan membebaskan kita dari kewajiban bekerja dan digantikan dengan wajib belajar. Ketiga, ya daftar kampusnya.

Hampir 1,5 tahun waktu untuk menyelesaikan itu semua. Dan kini semuanya selesai, saya akan segera menjalani kehidupan baru. Kehidupan yang sudah 10 tahun lebih saya tinggalkan. Ya, menjadi mahasiswa (lagi), belajar (lagi), mengerjakan tugas-tugas (lagi), dan segala dinamika lain yang pastinya akan sangat berbeda dibandingkan sepuluh tahun silam ketika saya lulus Program Profesi Apoteker.

Ya, hari ini sampai dua tahun ke depan, saya akan menjalani studi S2 di Universitas Indonesia. Mohon doa dari teman-teman sekalian. Doa paling sederhana saja, kok, supaya saya bisa lulus pas 2 tahun. Bukan apa-apa, lewat dari 2 tahun, beasiswanya nggak mau bayarin lagi, soalnya. Hehe.

Tabik!

Advertisement

9 thoughts on “Kuliah Lagi”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.