Sedang duduk pasca mengarungi lautan polusi di ibukota, tetiba saya mendapat broadcast di grup WhatsApp. Pesan panjang yang biasanya malas saya baca. Kalau saja broadcast itu muncul di grup FPL Ngalor Ngidul, saya tinggal komentar, “Tulung disimpulke (tolong disimpulkan)”. Masalahnya, ini muncul di grup yang berbeda dan kala membacanya saya kok jadi trenyuh sendiri. Ya, kebetulan saya hobinya memang mengenang.
Broadcast itu berjudul “Sejarah Kami adalah Sejarah Cinta Ibu Kepada Anaknya” ditulis oleh Lutfiel Hakim kalau menurut tulisan pada pesan yang saya terima. Intinya, broadcast ini adalah suara dari pemilik makanan bayi Bebiluck yang belum lama ini didatangi oleh Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang dalam sebuah inspeksi mendadak (sidak) karena produknya tidak memiliki Nomo Izin Edar (NIE).
Saya membaca kisah Pak Lutfiel ini berulang kali karena nggak ada kerjaan, termasuk perihal awal mula makanan bayi, dan perspektif saya adalah broadcast ini merupakan kebenaran, alias bukan hoax layaknya banyak pesan broadcast lain yang menuh-menuhin gawai saya.
Seketika saya bersimpati dengan Bebiluck dan saya yakin banyak pembaca juga berlaku sama. Bagaimana tidak? Dalam usaha menangani makanan bayi yang tergolong risiko tinggi, aneka usaha telah dilakukan. Mulai dari membuka CV untuk penerbitan SIUP, konsultasi dengan Dinas Kesehatan hingga mendapatkan izin PIRT, hingga uji laboratorium Dinas Kesehatan.
Masih dalam tulisan yang sama, ada ahli pangan yang direkrut, badan usaha diganti menjadi PT, melakukan uji laboratorium di TUV Nord, hingga mendapatkan sertifikat halal LPPOM MUI. Sebagai mantan auditor halal internal, saya sedikit-sedikit paham sih dengan soal halal ini, makanya saya langsung cek ke Daftar Produk Halal terkini, dan memang ada nama Bebi Luck atas nama CV. Hasanah Bebifood Sejahtera, pada laman ke-314 file bertipe pdf dalam tabel LPPOM MUI Banten.