“Hai! Udah gede anaknya?”
“Iya nih. Masak kecil terus?”
“Hahaha, iya juga ya.”
Aha! Aku melihatmu, dengan anakmu. Ya, kamu, yang bertahun silam adalah cerita lamaku.
* * *
“Hey kamu, yang gemetar waktu mau jatuh. Siapa namanya?” tanyaku pada seorang gadis yang barusan kutangkap, persis di bagian pantatnya. Siapapun tahu, ketika jatuh dalam keadaan terlentang, sejatinya titik tumpu beban itu ya ada di pantat. So, bayangkan beban yang harus kutanggung dari permainan “Trust Me” ini.
“Ngece ya.”
“Haha, nggak kok. Alan. Kamu?”
“Nanda.”
“Oh, dari SMA mana?”
Dan percakapan berjalan selayaknya dua mahasiswa baru pertama kali berkenalan.
* * *
Nandani, Call.
Bukan mau telepon beneran, ini hanya missed call. Pulsa mahasiswa tidaklah cukup untuk telepon, apalagi beda provider.
Aku sudah bilang ke Nanda kalau akan membuat missed call jika aku sudah sampai di depan rumahnya. Setidaknya itu penanda, dan aku tidak harus mengetuk pintu rumahnya. Menurut pengalamanku sebelumnya, mengetuk pintu rumahnya adalah salah satu dari 10 hal sia-sia di dunia selain menegakkan benang basah.
Pintu di lantai dua itu kemudian terbuka.
“Udah lama?”
“Ya kira-kira dari dua abad yang lalu.”
“Ngaco kamu. Ya udah, tungguin.”
Tak lama, Nanda yang barusan keramas itu membuka pintu. Pakaiannya simpel, pakaian rumah. Ia menyambutku seperti biasa. Dan, seperti biasa juga, kami mengobrol banyak di teras lantai 2 rumahnya.
* * *
“Hey, Lan!”
“Apa?”
“Nanda bukan pacarmu po?”
“Bukan, emang kenapa?”
“Pantes, kemarin aku liat dia gandengan sama Doni.”
“Iya, dia pacaran sama Doni kali.”
“Lha itu kamu suka main ke rumahnya.”
“Emang teman nggak boleh main ke rumah temannya? Ada-ada aja ah kamu ini.”
“Oh, okelah kalau begitu,” kata Jane, mengakhiri pembicaraan.
Jane pergi, dan jantungku mendadak sesak. Nanda pacaran dengan Doni?
* * *
Yah, kukatakan dengan indah, dengan terluka, hatiku hampa. Sepertinya luka menghampirinya.
Segala yang terjadi antara aku dan Nanda tampaknya kuanggap berbeda. Ada beda bermakna antara pikiran Nanda dan pikiranku sendiri.
“Kau beri rasa, yang berbeda. Mungkin ku salah mengartikannya, yang kurasa cinta!” gumamku perih sambil melajukan sepeda motorku melewati rumah Nanda, untuk ke delapan kalinya dalam waktu 30 menit. Aku memang hanya mondar-mandir disana dari tadi.
“Tetapi hatiku, selalu meninggikanmu. Terlalu meninggikanmu,” desahku lagi. Ah, kenapa pula aku jadi begini.
Kuhentikan sepeda motorku persis di depan rumah Nanda. Ia sepertinya nggak ada, lantai 2 itu sepi. Berkali-kali kesini, aku paham penanda Nanda ada di rumah atau tidak.
Tapi mendadak perasaanku nggak enak. Maka kulajukan sepeda motorku perlahan.
“Kau hancurkan hatiku,” gerutuku pelan sekali.
Sebuah mobil kemudian masuk dan parkir di depan rumah Nanda. Yak benar, Nanda keluar digandeng oleh seorang lelaki, mungkin ini yang bernama Doni.
“Kau hancurkan lagi. Kau hancurkan hatimu tuk melihatmu.”
* * *
“Lan, mau makan apa? Sini tak masakin.”
“Baek bener kamu, Nda. Uda nggak usah repot.”
“Apa sih yang nggak buat kamu, Lan? Hahaha.”
“Cewek kok gombal.”
* * *
“Kau terangi jiwaku, redupkan lagi. Kau hancurkan hatiku tuk melihatmu.”
Semuanya pedih, semuanya luka, tapi semuanya kukatakan dengan indah.
Aku melanjutkan perjalananku, pulang. Mungkin ini hanya serpihan jalan bagi hatiku untuk melihat sebuah luka dengan indah.
* * *
#cerpenpeterpan
Kukatakan Dengan Indah
@ariesadhar
-*-