Judul macam apa itu?!?!
Judul macam itu ditulis oleh orang yang ngakunya sudah nulis di 3 antologi? Iye.. iye.. Kalau judul saya rada bagusan, saya mah udah nggak nulis di antologi, tapi bikin antologi sendiri. Udah bisa bikin buku sendiri. Udah kaya dari buku. Susah amat.
Tapi intinya gini. Tadi saya nonton berita soal pembunuhan istri oleh suaminya. Berita dan penyebabnya macam-macam. Misal disini, disini, dan disini.
Dalam kejombloan saya, pikiran ini kemudian terusik. Lha saya ini ya, yang namanya mukul wanita itu nggak pernah (paling mentok nepok jidatnya si cici). Buat saya, wanita itu bukan makhluk untuk dikuasai dan dikasari secara fisik, tapi disayangi. Sengegemesin dan sebikinemosinya mereka.
Tentu saja ni disebabkan oleh masa kecil keluarga saya yang baik-baik. Syukur kepada Tuhan. Seingat saja, dari jaman saya bisa mengingat, nggak pernah ada cerita Bapak menyentuh Mamak saya sambil marah-marah. Jadi saya nggak pernah lihat adegan suami nampar istri, nggak pernah adegan suami memarahi istri dengan frontal, nggak pernah lihat adegan istri lempar piring ke suami, dan lainnya. Yang saya lihat adalah rumah tangga yang penuh dengan perjuangan dan penuh dengan kesabaran. Proud to be part of that!
Which is, saya pernah menjadi saksi ketika di pagi buta seorang saudara datang. Saya bukain pintu, dan tidak menduga kalau dia datang. Awalnya saya kira berkunjung, eh ternyata kabur karena takut sama suaminya. Sampai sekarangpun saya masih mendengar bahwa kekerasan itu masih ada. Bahkan sampai saking frontalnya, ada anak mereka yang bilang ke Bapaknya, “kalau sampai kau pukul Ibuku, kubunuh kau!”
Hey, itu anak yang ngomong ke Bapaknya lho! Sangar e rek..
Hidup ini memang sungguh semakin keras. Saya mulai merasakan pembenaran kepada orang-orang yang kemudian nggak tahan lalu bunuh diri. Saking kerasnya, kadang kesabaran pun nggak cukup untuk menghadapinya.
Cuma, dalam kaitan dengan perkawinan. Apakah membunuh istri itu hal yang masuk akal? Bahwa membunuh saja sudah salah, apalagi ini membunuh orang yang kita bawa ke depan Tuhan dan kita minta untuk dipersatukan seumur hidup dengan kita. Ini orang yang bersama-sama dengan kita mengucap segala macam janji di hadapan Tuhan untuk selalu bersama. Dan… dibunuh?
Saya ada di usia ketika teman-teman bergantian menikah (bukan berganti-ganti menikah loh yaaa…)
Saya ada di lingkungan yang memutuskan untuk menikah itu mikir berkali-kali. Bahkan ada nih teman yang akhirnya menikah setelah kena skak dengan pertanyaan, “emang kowe bakal siap kapan?”
Lantas, apakah menikah itu kemudian hanya dimaknai sebagai legalisasi seks di muka agama dan negara? Apakah menikah itu kemudian hanya menjadi hal yang terjadi karena desakan lingkungan? Apakah kemudian menikah itu dilihat sebagai sebuah institusi yang tidak sakral sampai partnernya kemudian bisa dibunuh?
Saya tetap ingin menjadi suami bagi seorang wanita kelak. Dan saya akan belajar dari keluarga tempat saya ditumbuhkembangkan. Meski jelas darah Batak di arteri saya tentu akan buat saya nggak sesabar Bapak saya sih. Saya juga tetap ingin menjadi Bapak yang baik bagi beberapa orang anak.
Tapi pertanyaannya, sama siapa?, siapkah saya? Kalau siap, mana calonnya? Kalau nggak siap, kapan siapnya? Nggak tahu. Tapi entah kenapa, saya meyakini akan mendapatkan jawaban-jawaban itu dalam waktu yang tidak lama. Ini keyakinan saya saja sih. Sangat mungkin untuk keliru.
Yang jelas, keluarga itu adalah sakral, dan mengakhirinya dengan membunuh, apalagi dengan sebab yang sepele, buat saya adalah bentuk pengingkaran terhadap apa yang terucap di hadapan Tuhan. Kalau Tuhan tidak pernah mengingkari janjinya pada manusia, pantaskah kita untuk ingkar?
Jawabannya dalam hidup kita masing-masing *ala Romo Hari*
😀