Membaca berulang-ulang posting tentang Kelas Inspirasi (takut dituntut kayak yang lagi heboh sekarang, padahal ya nggak ngapa-ngapain), malah membuat saya ingat kalau hari Minggu kemarin baru saja melakoni perjalanan absurd ke sebuah tempat bernama Muara Gembong.
Tahu Muara Gembong dimana?
Ah, kalau ingat kisah ikan paus terdampar di Karawang, yang lalu bisa bebas tapi kemudian mati, nah kematian paus itu ada di perairan Muara Gembong ini. Singkatnya Kabupaten Bekasi bagian Utara. Saya juga sempat heran, memangnya Bekasi punya pantai? Ternyata ada, dan di peta ya memang ada. Sebuah tempat yang basah dalam arti fisik (mepet kali Citarum–kalo nggak salah), tapi jelas sangat tidak basah bagi Kabupaten, apalagi dibandingkan KAWASAN INDUSTRI yang BANYAK DUITNYA ITU LOH BRO!
Sekilas soal jauhnya Muara Gembong bisa saksikan peta berikut, sepintas malah lebih dekat sama Tanjung Priok tapi lewat laut.
Sumber: Google Maps
Jalurnya sih ambil Pantura Bekasi, sampai Pilar ambil jalan ke utara, lalu ya terus saja sampai jauh akhirnya ke laut. Dan dari daerah Cabangbungin, jangan harap nemu jalan yang OKE. Yang ada jalanan yang bolong-bolong plus persis di sebelah tanggul yang tingginya lebih dari 2 kali tinggi mobil.
Saya bisa sampai ke Muara Gembong ini dalam rangka baksos gereja. Syukur juga saya diajak ke event ini. Selain bisa dapat kenalan baru, saya juga bisa dapat pengalaman baru. Lagipula, saya lumayan suka kegiatan macam ini karena saya bisa merefresh ilmu saya sebagai seorang Apoteker. Sekalian, buat latihan untuk Kelas Inspirasi. Maksud awalnya begitu.
Perjalanan dari Jababeka 2 memakan waktu sekitar 2,5 sampai 3 jam. Untung saya naik mobil yang dibawa sama orang yang rajin jelajah Pantura guna menuju Jogja, Klaten, Bantul dan sekitarnya. Jadi, cukup yakinlah akan selamat sampai tujuan. Kalau naik OOM ALFA? Ucapkan selamat tinggal! Sejak masuk Pilar, jalanannya memang hanya kecil. Jadi ya begitulah keadaannya. Ketika sampai, saya dan tim pelayanan lain kudu menyeberangi sebuah jembatan kayu. Mobil ditinggal di kantor kelurahan (kalau nggak salah). Dari jembatan, kudu jalan lagi beberapa ratus meter sebelum kemudian sampai di sebuah sekolah tempat bakti sosial diselenggarakan.
Poin utama dari baksos kali ini adalah JUMLAH PASIENNYA. Seumur-umur saya ikut baksos, ya baru kali ini dapat pasien lebih dari 500. Kalau nggak salah sampai 560-an. Kaki sudah sampai ngesot-ngesot, ya nggak kelar-kelar juga. Iya, 500-an pasien itu beneran rekor baru dalam hal saya ikutan baksos. Tidak di gempa Jogja, tidak di tempat lainnya. Sungguh saya ingin melambaikan tangan ke kamera hendak menyerah sebelum saya sadar ini baksos, bukan acara televisi soal hantu-hantuan.
Satu hal sih. Saya suka dengan baksosnya gereja karena stok obatnya lengkap dan tidak sekadarnya. Yeah, kan ada baksos yang alakadar. Yang formulariumnya bahkan tidak diupdate, yang stok obatnya adalah barang-barang mendekati ED, yang poly-nya sudah remuk redam sehingga kalau mau kasih ke pasien kudu dibongkar dulu lalu dimasukin plastic clip biar keliatan tetap oke. Baksos yang begitu sih buat saya nggak niat, dan percayalah itu terjadi di CSR sebuah perusahaan farmasi. Baksos niat ya kalau sampai bawa obat yang jumlahnya alamakjang begini. Untuk pasien yang jumlahnya amalakjang juga.
Sudah begini, punya tempat permanen untuk beribadah saja nggak boleh. #TANYAKENAPA
Dari daerah pantai yang kemudian sangat dekat dengan aliran sungai ini, saya belajar tentang hidup. Saya belajar bagaimana pelayanan sebenarnya tidak meminta pamrih. Saya juga belajar banyak, karena saya tahu 500 pasien itu sangat biasa di rumah sakit.
Akhirnya sampai juga di kawasan tempat pabrik-pabrik berdiri. Sampai juga di ladang pencarian penghidupan. Setelah melalui perjalanan absurd. Ya iyalah, wong mobil 121-nya memilih lewat Kalimalang alih-alih Pintu Tol Cikarang Barat. Apapun itu, yang patut disyukuri adalah saya sampai di kamar kos dengan selamat 🙂
Saat mengetik postingini, baju saja masih sama persis dengan yang saya kenakan seharian tadi. Mungkin dengan mengenakan baju yang sama, saya lebih bisa menggambarkan atmosfer gila seharian ini. *alasan malas ganti baju*
Pagi tadi, jam 6 lewat 10 saya landingdi SDN 03 Pagi Palmerah. Ya, hari ini adalah Hari Inspirasi di 58 sekolah di seantero Jakarta. Dan paralel juga berlangsung di beberapa kota lainnya. Saya sendiri tergabung di kelompok 2 bersama kepala suku Pak Muam, Mbak Ita, Dwita, Christian, Rifki, Salita, dan gitaris kondang Mas Jubing. Di kelompok ini juga ada 2 fotografer, Nanda dan Okka. Plus juga Ogie sang videografer. Syukurlah kelompok ini akhirnya lengkap, meskipun kalau mau janjian (kata Dwita) sudah kayak arrange meeting direksi :p
Dan jadwalnya sungguh ‘memihak’ saya. Kenapa? Nama saya ada di jadwal untuk 6 jam pertama. Dan karena di SD tersebut hanya ada 1 kelas per tingkat, itu berarti saya akan menghabiskan jatah masuk kelas di 6 kesempatan pertama. Enam kali 30 menit yang bikin saya nggak sanggup sarapan (atau bahkan minum sekalipun). Saya emang gitu, kalau nervous malah ogah makan atau minum. Ada kecenderungan untuk melakukan vomit 🙂
Baiklah, sekilas akan saya ceritakan tentang enam kali 30 menit yang luar biasa itu.
Kelas 5
Waktu observasi, saya sudah masuk kelas ini. Dan bapak wali kelasnya juga sudah memberitahukan ‘kelakuan’ kelas ini. Pada awalnya, saya mengira ini kelas paling ‘menguras tenaga’ jadi saya bersyukur masuk kelas ini duluan. Ehm, ini sih sekilas pengamatan waktu saya masuk satu-satu pas observasi.
Lalu apa yang terjadi?
Saya keringetan. Dan yang bikin agak malu adalah ketika dua orang anak cewek berdiri dan menyalakan kipas angin karena saya keringetan. Soal keluarnya cairan dari pori-pori ini juga nggak jauh-jauh dari nervous. Karena cairan yang sama juga keluar waktu saya pertama kali ngelatih koor. Hehehehe…
Di kelas ini saya mencoba pakai teori Whoosh yang diberikan pas pembekalan. Biar kayaknya demokratis, saya ajukan ke anak-anak itu, mau Whoosh tipe apa. Eh, mereka kompak memilih Whoosh Chibi-Chibi. Jadi modelnya adalah: Prok Prok Prok (tiga kali tepuk) Chibi Chibi Chibi (ala Chibi pokoknya) Whoosh (sambil menjulurkan tangan seolah memberi tenaga dalam). Dan ironisnya, ah, nanti saja ceritanya 🙂
Konten saya sederhana sekali. Saya hanya memperkenalkan nama saya, lalu pekerjaan saya sebagai apoteker. Saya juga hendak meluruskan pemikiran anak-anak tersebut tentang si pembuat obat. Yup, mayoritas bilang kalau yang buat obat itu dokter. *pelajaran banget buat para farmasis Indonesia untuk semakin memperlihatkan diri kan?* Oya, biar kelihatan pintar, saya coba menantang mereka untuk mengucap nama penyakit dan saya kasih tahu obatnya. Semoga tampak keren. Hahaha..
Karena mayoritas mereka berasal dari kalangan menengah ke bawah, saya mencoba mengangkat dengan menceritakan kisah saya dulu yang bikin es buat dijual di kantin. Kalau dulu saya bikin es, sekarang saya bisa ikutan bikin obat. Kalau bikin obat, lalu orang sakit yang minum kemudian sembuh, senang nggak? Senang, kata mereka. Sungguh melegakan hati.
Overall, di kelas yang pertama ini saya nggak terlalu ‘dapat masalah’. Masalah terbesar saya ada pada ‘sulap tebak tanggal lahir’ yang saya bawakan sebagai BANG! Iya, jadi masalah karena semua anak minta ditebak tanggal lahirnya. -___-”
Kelas 1
Yak, even emak saya yang guru SD aja menghindari kelas ini ketika pembagian kelas di awal tahun. Saya mulai merasakan tantangan ada disini.
Apa demikian adanya?
BETUL SEKALI! Hahahahaha..
Awalnya biasa saja, nama, pekerjaan, deskripsi pekerjaan, sampai ke Chibi-Chibi Whoosh. Saya bahkan sudah tidak kemringet lagi. Sampai kemudian ketika saya mulai bercerita tentang 4 nilai dasar Kelas Inspirasi (Jujur, Kerja Keras, Pantang Menyerah, Kemandirian), di pojok kanan bagian belakang ada dua anak lelaki yang berantem dan salah duanya kemudian menundukkan kepala di meja. Satunya nangis beneran, satunya nangis pura-pura. Ealah, anak jaman sekarang sudah bisa bersandiwara rupanya. Waktu saya kemudian sedikit habis di urusan berantem ini, soalnya ketika yang di pojokan belum kelar. Eh, sudah nongol lagi prahara di sudut lain kelas ini.
Akhirnya saya tahu kenapa Mamak selalu menghindari kelas 1. 😀
Ya, pada akhirnya recap-nya sih lumayan. Setidaknya mereka mulai tahu apoteker itu adalah si pembuat obat. Mengingat, masalah yang sama juga terjadi di kelas ini. Itu tadi, bagi sebagian dari mereka, yang membuat obat itu adalah dokter.
Oya, mulai dari kelas ini, saya sadar bahwa ‘sulap tebak tanggal lahir’ saya benar-benar sulap pengundang prahara. Soalnya ketika ditanya, siapa yang mau ditebak tanggal lahirnya, semuanya ngacung. Ketika ditunjuk 1, yang lain berebut minta ditunjuk juga. Sambil teriak-teriak pula. Plus, Chibi-Chibi Whoosh saya menuai ‘bencana’. Ketika saya suruh kasih Whoosh, mereka sontak mengelilingi korban Whoosh dan mengobok-obok kepala korban Whoosh. Waduh, ampun Mak!
Kelas 3
Dulu waktu saya kelas 3 itu pas pinter-pinternya, sampai bisa rangking 1. Jadi, itu motivasi saya untuk cukup excited masuk ke kelas 3. Dan kelas ini ternyata cukup kooperatif–menurut saya.
Mungkin cuma di kelas ini kali ya, saya bisa cukup mulus menjalankan BOMBER-B yang diajarkan pas briefing. Masih dengan BANG yang sama, pertanyaan “Siapa yang pernah sakit?” lalu “Kalau sakit dikasih apa?” dan diakhiri dengan “Siapa sih yang bikin obat?”
Ehm, jawabannya masih sama. Dokter. Okelah, itu tugas tambahan saya di Kelas Inspirasi saya berarti. Sesuai sumpah yang saya ucapkan di depan mic tahun 2009 silam. Terutama di bagian “Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.”
Yah, bicara soal masalah di kelas ini, tidak lain dan tidak bukan (masih) disebabkan oleh sulap saya. Dan masih dengan sebab yang sama. Karena saya berhasil menebak dengan benar tanggal lahir mereka via 5 kartu. Seluruh kelas berebutan minta ditebak tanggal lahirnya. Yah, saya semakin berpikir ini ide buruk. Maka saya mencoba kasih trik lain. Mengingat mereka sudah bisa kali bagi tambah kurang, saya coba kasih permainan itu. Gile ya anak sekarang, dulu saya kelas 4 SD aja masih menghafalkan perkalian 1-9. Dan syukurlah permainan memilih angka berapapun dan kemudian dikali-tambah-bagi-kurang hingga menjadi angka 3 itu berhasil.
Saya sih coba bilang bahwa berapapun angka kalian, ujungnya 3 juga. Jadi, apapun cita-cita kalian, pasti nanti ujungnya BISA jadi nyata asalkan bla..bla..bla.. (sesuai 4 prinsip Kelas Inspirasi). Oya, disini ada yang kecil-kecil udah punya penyakit yang mengharuskan dia minum obat lima biji. Penyakit yang menurut saya belum layak dia terima, tapi secara medis memang sangat mungkin terjadi si setiap usia. Untunglah, dia tampak sebagai seorang anak yang kuat.
Rupanya, sedikit ‘kedamaian’ di kelas 3 ini adalah PENGANTAR bagi saya untuk memasuki kelas tersulit di jam berikutnya.
Kelas 2
Begitu masuk kelas ini, anak-anaknya sudah heboh mau istirahat. Dan bahkan ada yang ngumpet di dekat lemari ketika saya masuk kelas. Waduh, padahal kan masih 1 jam lagi? Jadilah, saya mengeluarkan kembali sulap saya yang bergelimang masalah itu. Dan, yah bisa ditebak. Hancur lebur dah! Hahahaha…
Ada yang duduk di meja, ada yang berdiri di kursi, dan ada tingkah antik lainnya di kelas ini. Belum lagi, ditunjang oleh ketua kelasnya yang KEREN ABIS karena sedari kecil sudah memperlihatkan diri kalau punya pengaruh. Saya selalu bertanya siapa ketua di setiap kelas dan saya simpulkan bahwa ketua kelas 2 ini yang paling cocok jadi presiden. 😀
Saya masih menggunakan lesson plan yang sama dengan kelas-kelas lainnya. Tapi sungguh saya semacam mendapat penolakan di kelas ini. Bahkan seorang anak yang badannya agak bongsor dengan beraninya mengacungkan jari tanda mengusir saya segera keluar dari kelas. Buset, anak jaman sekarang bro!
Nah, ketika saya coba angkat dengan Chibi-Chibi Whoosh itu, eh mereka malah memperlihatkan stok tepuk yang mereka punya. Dan sudah bisa ditebak kan, siapa provokatornya. Iya, si ketua kelas! Di balik stress yang saya alami di kelas ini, kepemimpinan anak yang satu ini sungguh mengundang decak kagum. Asli!
Ya pada akhirnya saya hanya bisa bilang kalau saya itu apoteker, yang bikin obat, bikinnya di pabrik. Ya, sekaligus untuk memperbaiki mindset yang mereka punya, selagi bisa.
Dan kalau saya agak merasa terusir tadi, rupanya itu hanya sekadar basa basi, karena, ehm, begitu saya hendak melangkah keluar dari kelas, sontak belasan anak berlari dan memeluk nggondelikaki saya. Ini memang sempat hendak diskenariokan untuk videografi. Tapi yang saya alami ini sungguh-sungguh sama sekali bukan rekayasa. Mereka benar-benar ndlosor di lantai dan memeluk kaki saya sampai bergerakpun tidak bisa. Apa pula maksudnya ini?
Ah, entahlah 😀
Kelas 6
Sebuah lompatan mendasar, dari 2 ke 6. Kelas ini juga dihindari sama Mamak kalau pembagian kelas, tapi saya sih berpikir itu semata soal malas kalau Ujian Akhir Nasional saja. Hehehe..
Lompatan mendasar itu ternyata beneran kerasa. Kalau di kelas lain heboh tiada terkira, di kelas paling tinggi ini malah saya MATI GAYA. Dikasih Chibi-Chibi Whoosh mereka malah memperlihatkan muka yang kira-kira bermakna “apaan sih”. Waduh!
Tapi ada baiknya juga sih. Di kelas yang anteng ini–karena sudah menjelang dewasa–saya malah bisa bercerita tentang cara penyimpanan obat yang baik. Juga bisa bercerita ringan tentang bagaimana mekanisme aksi obat, kok bisa sih obat yang diminum lewat mulut bisa mengobati sakit kepala, juga soal overdosis. Rupanya mereka sudah cukup mengerti.
Oh ya, di kelas ini saya kena batunya. Hehe..
Sulap penuh dilema itu akhirnya ke-gap sama salah seorang anak cewek yang duduk di bagian belakang. Dia dengan jeli mengamati kartu-kartu yang saya tunjukkan dan dengan jeli juga menemukan clue dari sulap icak-icak yang sebenarnya sekadar permainan matematika itu.
Secara konten, saya puas dengan yang saya sampaikan di kelas ini. Tapi melihat antengnya mereka, saya malah jadi kikuk sendiri. Dasar manusia, dikasih yang heboh stress, dikasih yang anteng eh stress juga. 🙂
Kelas 4
Sesudah rehat setengah jam gegara memang mereka istirahat, saya memasuki akhir dari petualangan hebat saya hari ini. Kelas 4, tingkatan yang sekarang jadi garapan Mamak di SD Fransiskus. Tingkatan yang kapan hari itu sempat saya bikin RPP untuk Bahasa Indonesia dan PKN-nya *balada anak guru kalau mudik*
Nah, kata teman-teman, kelas ini cukup bisa dikendalikan. Tapi nyatanya, saya malah kesulitan meng-handle kelas ini. Terbukti dari adanya (lagi) anak yang nangis di kelas ini. Huhuhu..
Secara konten masih sama, pun dengan kesalahan tafsir soal dokter dan apoteker. Ayo farmasis Indonesia, mari kita berbuat sesuatu, profesi kita benar-benar butuh diperkenalkan pada anak-anak seusia mereka.
Nah, untuk BANG, karena terakhir, saya pasang dua kali permainan matematika. Satunya tentu saja sulap saya yang sudah ketahuan di kelas 6 tadi. Dan, ehm, praharanya masih sama. Bahkan ada yang tarik-tarik tangan saya minta ditebak. Yaelah, sesuatu yang sebenarnya mau untuk ice breaking saja malah menjelma jadi sumber keributan, dan terbukti di 6 kelas. Fix tidak direkomendasikan untuk diulang di Kelas Inspirasi manapun. Hahaha..
Lalu permainan angka berapapun yang akan berujung tiga coba saya angkat. Niatnya mengundang partisipasi, jadilah saya panggil dua anak ke depan. Eh, ada 1 anak yang maju, tapi kemudian DISURUH MUNDUR sama teman-temannya. Dan entah kenapa, anak itu mundur beneran, lalu duduk nangis di kursinya dan sejurus kemudian membanting kotak pensil. Belum cukup, dia membanting meja di belakangnya. Oya, posisinya nangis dia adalah menyandarkan kening ke kursi tempatnya duduk.
Saya dan Nanda yang lagi ada di sana untuk foto, sontak hening. Tapi anak-anak lain malah dengan santai bilang, udah biasa. Weleh, ada-ada saja ya. Pada akhirnya permainan saya yang angka 3 ini dikomentarin “alah, paling juga tambah bagi kurang kali kan.”
Nggak apa-apa, yang penting intinya dapat.
Dan petualangan hebat saya hari ini selesai.
Ah masak?
Belum ternyata. Masih ada dampak yang tersisa 😀
Ketika kelas 1 dan 2 pulang, banyak dari mereka datang ke saya dan relawan lain tentunya, menjulurkan tangan, lalu mencium tangan. BUSET! Jarang-jarang saya begini. Maaf-maaf kata nih, saya kan juga mengenal beberapa anak dari level ekonomi baik di luaran, dan mereka TIDAK SESOPAN INI. Hal simpel, uluran tangan dan cium tangan. Sebuah hal sederhana yang masih ada di Indonesia Raya Merdeka Merdeka ini. Tidak lupa, ketika anak kelas 2 pulang, mereka kembali menghambur ke kaki saya, kali ini dua-duanya. Dan–ini dia ironinya–memanggil saya sebagai KAKAK CHIBI-CHIBI.
*tepok jidat*
Oya, si ketua kelas 2 bahkan datang ke saya dan menyebutkan alamat rumahnya plus nama emaknya. “Bilang aja, pasti tahu,” katanya. Ini anak kalau dididik dengan benar, bakal jadi luar biasa. 😀
Acara di kompleks SD 01-05 Palmerah ditutup dengan bernyanyi bersama diiringi Mas Jubing. Hey, kapan lagi nyanyi diiringi gitaris kondang? Ya cuma disini 😀
Mas Jubing ini action (sumber: dokumentasi pribadi)
Ketika ajang nyanyi bareng ini, saya coba masuk ke barisan anak-anak, dan ini beberapa pernyataan mereka yang bikin senyum.
“Kak, aku seneng banget hari Rabu ini.”
“Kak, kapan kesini lagi?”
“Kakak apoteker, bikinin obat dong.”
“Kak, tadi rahasia sulapnya apa?”
Dan beberapa pernyataan lainnya. Satu hal, ketika mereka masih ingat nama saya saja itu sudah bonus. Mereka habis ketemu 6 sampai 8 orang dalam waktu cepat dan masih ingat nama orang-orang itu? Apa nggak bonus itu namanya?
Saya juga mewariskan 5 kartu sulap yang berlumuran problema itu ke salah seorang anak di kelas 5, plus cara memainkan sulapannya. Yah, wong saya juga ngerti permainan ini pas kelas 5 SD gegara baca buku punya tulang kok. Nggak ada salahnya, toh ini juga sekadar permainan matematika.
Puncak dari kehebohan hari ini adalah ketika sesi MENDADAK ARTIS. Mungkin acara ini bisa bikin saya bersiap jadi artis karena sesudah bubaran dan kemudian istirahat, anak-anak itu datang dengan buku/kertas plus alat tulis lalu meminta NAMA, NOMOR HP, TANDA TANGAN, sampai ALAMAT FACEBOOK. Sekarang kapan lagi ada makhluk hidup yang datang ke saya dan minta kelengkapan itu? Saya sering dimintain tanda tangan, tapi itu buat approval dokumen atau approval pengeluaran material. Cuma baru ini dimintain tanda tangan macam artis gini. Dan di akhir dikasih tahu Rifki bahwa di kelas-kelas akhir, sudah ada yang switch cita-citanya jadi APOTEKER. Hahahaha.. *berhasil-berhasil-berhasil-hore*
Yah, posting ini sudah panjang sekali, ngalah-ngalahi 1 bab di Lovefacture. Maka beberapa kesimpulan hari ini:
1. Saya akan segera menelepon Mamak dan bilang bahwa mengajar SD itu SULIT, JENDERAL!
2. Satu hari cuti untuk hal semacam ini, sama sekali tidak ada RUGINYA.
3. Setiap orang itu boleh dan malah harus punya MIMPI. Tugas kita-kita ini untuk MENYALAKAN MIMPI itu.
4. Kita memang perlu berpikir BESAR, tapi akan lebih baik kalau kita memulai dengan KECIL, tapi SEKARANG.
5. Mereka lahir kira-kira ketika saya SMA/Kuliah, jadi intinya saya sudah tua *loh*
6. Mari bergerak, untuk MEMBANGUN MIMPI ANAK INDONESIA!