Ini judul klasik, tapi baru saya sadari barusan ini. Iya, emang beneran baru ngeh.
Ngeh apa sih?
Kalau hidup saya sekarang, benar-benar sudah ‘dipengaruhi’ segala hal yang saya kerjakan selama hampir 4 tahun ini. Sebuah masa ketika saya menjadi manusia yang terlibat di bidang perencanaan produksi.
Teori perencanaan produksi itu sebenarnya kan sederhana. Dimulai dari teori (S)-I-P-O-(C). Ada Input, yang di-Proses, menghasilkan Output. Input diperoleh dari Supplier. Dan Output akan diteruskan kepada Customer. Nah, perencanaan adalah menjamin alur itu berjalan baik timbal balik. Jadi apa yang dipasok oleh Supplier itu benar-benar untuk pemenuhan Customer. Dan apa yang diperlukan Customer sesuai dengan yang dipasok Supplier.
As simple as I write, but it’s a f*ckin’ difficulties 🙂
Itu kerjaan saya. Termasuk di dalamnya perencanaan produksi (Master Production Scheduling), perencanaan kapasitas (Capacity Planning), sampai bagian yang dulu paling saya benci tapi nyatanya saya malah menggila ketika jadi bagian itu, perencanaan kebutuhan material (Material Requirements Planning).
Hubungannya dengan kebiasaan?
Nah, ini yang saya mau cerita.
Sejak menjadi ‘orang planning’ hampir pasti saya berpikir terlalu banyak. Iya, karena misalnya ketika hendak berencana ke suatu tempat, saya sudah pikirkan segala halnya. Ketika hendak membeli sebuah benda, saya berpikir benda-benda lainnya yang mendukung.
Misal, ketika saya (dulu) pp Palembang-Jogja. Saya selalu beli tiket Jogja-Palembang terlebih dahulu. Memastikan bahwa saya bisa kembali ke Palembang. Intinya, saya sudah memastikan hendak naik apa aja. Atau ketika saya membolang ke Semarang, itu segala survei sudah saya lakukan via dunia maya dan dunia nyata untuk memastikan bahwa saya nggak akan kesasar disana.
Atau ketika hendak beli laptop dan motor. Percaya atau tidak, saya bahkan sudah beli tas laptopnya terlebih dahulu sebelum punya laptopnya. Saya punya helm, mantel, kanebo, dan gembok jauh sebelum saya punya sepeda motornya. Buat saya intinya (recipe-nya) adalah ‘memiliki sepeda motor’. Supaya aman dan damai, maka komposisinya adalah sepeda motor, helm, mantel, kanebo, dan gembok. Percayalah, di dunia farmasi pun begitu. Paracetamol hanya akan jadi serbuk kurang bernilai ketika nggak ada laktosa, misalnya. Nggak akan jadi obat juga. Punya sepeda motor tanpa punya helm jadinya juga demikian.
Dan saya nggak yakin akan berpikir sedemikian banyak kalau saya nggak jadi manusia planning. Terkadang hal macam ini bikin nambah pikiran, tapi terkadang juga justru sangat berguna.
🙂